Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar gembira itu tiba pekan lalu. Isinya, Kepolisian Pakistan membekuk kembali lima lelaki tersangka pemerkosa Mukhtaran Mai. Mereka dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Lahore pada Maret lalu. Perdana Menteri Pakistan Shaukat Aziz kemudian meminta Kepolisian Pakistan menyelidiki lagi para pelaku yang telah bebas merdeka. Kasus ini menjadi bintang di dunia pengadilan Pakistan selama dua tahun terakhir. Polisi bergerak. Para tersangka dirantai lagi di sel penahanan. Mahkamah Agung Pakistan menyatakan siap menggelar kasasi.
Mai adalah wanita yang berani menyeret pemerkosanya ke pengadilan, suatu kasus yang jarang terjadi di negeri itu. Tragedi itu bermula pada 22 Juni 2002. Petang hari itu Mukhtaran Mai terseok-seok keluar dari kebun kapas. Telanjang bulat, wanita itu menyeret tubuhnya menuju rumahnya yang berjarak satu kilometer dari kebun. Air matanya berlinang menahan sakit dan malu; 300-an penduduk desa menatap Mai di sepanjang jalan. Ayahnya menyambar sehelai kain untuk menutupi aurat anaknya. Mai tiba di rumahnya dalam kondisi luluh-lantak lahir dan batin. Dia diperkosa empat pria suku Mastoi di Desa Meerwala, Provinsi Punjabsekitar 240 kilometer di selatan Islamabad.
Sehari-hari Mai, 33 tahun, bekerja sebagai guru mengaji anak-anak. Dia berasal dari suku Gujar, kaum penghalau ternak yang masuk kasta rendahan di Pakistan. Pendidikannya rendah, tak khatam sekolah dasar. Statusnya janda. Pemerkosaan tiga tahun silam itu seakan menyempurnakan nasib buruk Mai. Dia disiksa secara seksual selama satu setengah jam di kebun kapas. Pelakunya bersorak-sorai sambil berjoget sehabis memerkosa. "Mereka layak dihukum mati," tutur Mai di kemudian hari.
Pemerkosaan ini, masya Allah, rupanya buntut dari suatu pengadilan panchayat (pengadilan adat). Ceritanya, Abdul Shakoor, adik Mai yang berusia 13 tahun, dipergoki berduaan di suatu kamar bersama Salma Naseem, adik perempuan Abdul Khaliq dari suku Mastoi. Suku ini kaya, berkuasa, berkasta tinggi. Dewan Desa Meerwela sepakat memulihkan kehormatan suku Mastoi lewat pengadilan adat. Sengketa yang diselesaikan secara kekeluargaan itu memutuskan: Abdul Shakoor harus menikahi Salma, dan satu kakak perempuannya harus diperistri pria Mastoi.
Tak puas dengan keputusan itu, kaum Mastoi mendesak Dewan Desa untuk mengirimkan lima "algojo" untuk merusak Mai. Maka, tragedi itu pun terjadi. Namun, orang tua wanita itu menekan agar dia tutup mulut saja demi menutupi aib keluarga. Maklum, dalam masyarakat tradisional Pakistan, korban pemerkosaan selalu diisolasi oleh lingkungan sosialnya. Seorang wanita lain yang diperkosa sepekan setelah Mai, misalnya, mencoba bunuh diri. Lebih dari 151 perempuan dari kasta rendahan menjadi korban pemerkosaan serta pelecehan seksual sepanjang 2004 (lihat Hancur Wajah Karena Pupuk).
Teman-teman Mai kemudian mendorong wanita itu untuk bangkit dan bertahan. Para imam desa turut menyokong. Di mimbar masjid-masjid, mereka mendesak pemerintah Punjab agar menyeret para pelaku ke pengadilan negara, bukan pengadilan rakyat yang sesat. Mai pun melaporkan kasusnya ke Kepolisian Punjab. Empat belas pria ditangkap karena perkara ini. Salah satunya kakak Salma, Abdul Khaliq.
Mulai disidangkan oleh Pengadilan Negeri Punjab pada Agustus 2002, kasus ini disiarkan pula oleh sejumlah media internasional. Enam terdakwa divonis hukuman gantung. Delapan tersangka lain dibebaskan. Mai menerima ganti rugi dari pemerintah sebesar US$ 8400 (setara Rp 77,2 juta lebihini jumlah yang amat besar bagi kalangan bawah Pakistan). Uang itu digunakan untuk mendirikan sekolah yang mengajarkan pengetahuan hak dan martabat perempuan. Dua dari 200 muridnya adalah anak dari salah satu pemerkosanya.
Kasus itu membuat Mai tersohor. Dia menjadi ikon perempuan Pakistan yang berani melawan secara terbuka kelaliman terhadap wanita. Wajahnya menghiasi berbagai media massa. Mai diminta berbicara di berbagai forum, dari Bombay, India, hingga ke Madrid, Spanyol. Situs web tentang dirinya dibuka. Mereka yang bersimpati mengirimkan dia santunan dari dalam dan luar negeri. Uang itu dia pakai untuk membangun desa-desa di Punjab. "Ini cita-cita hidup saya," katanya.
Para pemerkosanya naik banding. Maret lalu, Pengadilan Tinggi Lahore memenangkan pengadilan banding bagi enam terdakwa. Lima dibebaskan dan satu orang dihukum penjara seumur hidup. "Amat menyakitkan," kata Mai setelah vonis banding itu dibacakan. Mai terbang ke Ibu KotaIslamabaduntuk mencari dukungan sembari mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Jaksa penuntut umum Ramzan Khalid Joya menyatakan, Kepolisian Punjab tak serius menyidik sehingga kasus ini kalah di pengadilan tinggi. Kritik mengalir dari mana-mana. Aktivis hak asasi manusia di Islamabad, Khalida Parveen, mengatakan, "Pemerintah telah mempermainkan publik."
Gencarnya upaya Mai membuat Presiden Pakistan Pervez Musharraf sempat melarang dia pergi ke luar negeri karena khawatir mencoreng citra Pakistan. Tapi Islamabad mencabut larangan itu setelah Amerika "mencemaskan" keputusan Musharraf . Lalu bola bergulir cepat. Polisi membekuk lagi para tersangka. Mahkamah Agung siap menggelar kasasi. Dan Mukhtaran Mai bersama jutaan perempuan Pakistan menantikan dengan berdebar akhir dari episode "Tragedi Kebun Kapas".
Eduardus Karel Dewanto (BBC/Washingtonpost/Khaleed Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo