Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa Mesir atas Sungai Nil terusik. Ethiopia tak hanya menggugat landasan legal Mesir menguasai Nil, tapi juga merencanakan megaproyek infrastruktur yang bakal mengerdilkan aliran air sungai itu ke hilir. Minggu pekan lalu, tim dari kementerian luar negeri dan para ahli bertandang ke Addis Ababa, ibu kota Ethiopia, merundingkan penyelesaian potensi krisis air yang diakibatkan bila bendungan itu jadi. Maklum, sekitar 98 persen kebutuhan air tawar Mesir berasal dari Sungai Nil.
Kairo bakal mengambil langkah apa pun untuk masalah ini. Meski Mesir tidak menghendaki perang, kata Presiden Muhammad Mursi, kedaulatan air menjadi harga mati. "Keamanan ketersediaan air Mesir tak bisa dilanggar sama sekali," ucapnya dalam Konferensi Nasional bagi Pelestarian Hak Mesir pada Air Sungai Nil, Senin pekan lalu.
Awal Juni lalu, Ethiopia mulai mengalihkan aliran Sungai Nil Biru—salah satu induk Sungai Nil—untuk pembangunan dam pembangkit listrik senilai US$ 4,7 miliar. Dengan proyeksi produksi listrik mencapai 6.000 megawatt, pembangkit listrik ini merupakan yang terbesar di Afrika.
Mesir sebenarnya tidak keberatan terhadap proyek-proyek di lembah Sungai Nil. Namun ada syaratnya. "Asalkan tidak mengganggu hak-hak sejarah dan legal Mesir atas Sungai Nil," kata Mursi. Kebutuhan air bersih penduduk Mesir, yang berjumlah sekitar 85 juta jiwa, bergantung pada pasokan air Sungai Nil.
Dasar Mesir mengklaim Sungai Nil adalah keputusan di masa kolonial hasil perjanjian dengan Inggris, yang memberi kuasa Mesir atas sebagian besar aliran Nil. Namun ikatan Mesir dan Nil sudah terentang sejak zaman purba. Sejarawan Yunani, Herodotus, pada abad kelima Masehi sudah menyatakan, "Mesir adalah anugerah Sungai Nil."
Peradaban Mesir memang terbangun berkat Sungai Nil sejak berabad-abad lalu. "Mesir dibesarkan oleh Nil," ujar Mursi. Tanpa Sungai Nil, niscaya Mesir hanya jadi gurun gersang. Air sungai membuat lembah-lembah Mesir menjadi subur sebagai hasil sedimentasi di sepanjang daerah aliran sungai.
Orang-orang Mesir kuno bertani berkat pasokan air sungai berlimpah. Menurut mitos, aliran air yang tak henti adalah cucuran air mata Dewi Isis—dewi kesuburan, dewi bumi yang menyusuri Sungai Nil sambil menangis untuk mencari jenazah anaknya yang gugur dalam pertempuran. Produk-produk pertanian pun berlebih sehingga bisa dijual ke Mesopotamia dan Yunani di kawasan Laut Tengah. Perahu-perahu dagang lalu-lalang melintasi Sungai Nil. Peradaban pun berkembang.
Air Sungai Nil berasal dari gletser yang mencair dari Pegunungan Kilimanjaro, Afrika Timur. Mengalir dari selatan ke utara hingga Laut Tengah, panjang Sungai Nil mencapai 6.650 kilometer. Ada sembilan negara yang dilintasi, yakni Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania, Rwanda, Burundi, Sudan, dan Mesir.
Di antara negara-negara itu, Mesir paling dominan menguasai Nil. Berbekal traktat kesepakatan dengan Inggris pada 1929, selama puluhan tahun Mesir memiliki hak veto atas semua proyek di hulu sungai. Kemudian, pada 1959, Mesir menandatangani perjanjian dengan Sudan untuk penguasaan 90 persen air Nil oleh kedua negara.
Belakangan Ethiopia aktif menggugat penguasaan Sungai Nil. "Ethiopia tidak pernah menganggap perjanjian 1959 dan 1929 sebagai hukum yang mengikat karena tidak termasuk pihak dalam kesepakatan itu," kata juru bicara pemerintah Ethiopia, Shimeles Kemal.
Kamis pekan lalu, parlemen Ethiopia meratifikasi Perjanjian Entebbe mengenai pemanfaatan air Sungai Nil, yang ditentang keras oleh Mesir dan Sudan. Pada 2010, enam dari sembilan negara Lembah Nil meneken perjanjian di Entebbe, Uganda, yakni Ethiopia, Tanzania, Kenya, Uganda, Rwanda, dan Burundi.
Kesepakatan tersebut menjadi dasar peluncuran proyek dam raksasa Ethiopia. Pada 28 Mei lalu, melalui sebuah upacara, Ethiopia meluncurkan megaproyek The Grand Ethiopian Renaissance Dam atau Dam Milenium, bendungan ambisius untuk pembangkit tenaga listrik di hulu Sungai Nil yang dipersiapkan sejak 2009 dan ditargetkan rampung pada 2017.
Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Ethiopia, pengalihan anak sungai utama Nil dijamin tidak akan berdampak bagi negara-negara lain yang bergantung pada pasokan air sungai itu, termasuk Mesir dan Sudan. "Aliran sungai akan kembali ke jalur utamanya begitu pembangunan selesai."
Pernyataan ini tentu tak begitu saja dipercaya. "Pengurangan apa pun akan berimbas pada kehidupan rakyat Mesir," ujar Duta Besar Mesir untuk Ethiopia, Mohammad Idriss.
Dari sisi struktur geografisnya, kekhawatiran Mesir beralasan. Aliran air Nil sebagian besar dicurahkan dari titik sungai yang berada di kawasan Ethiopia. Di hulunya, mata air Nil berada di wilayah Rwanda dan Burundi, yang disebut sebagai Sungai Nil Putih.
Di Khartoum, ibu kota Sudan, aliran tersebut bersatu dengan air terjun Sungai Nil Biru dari pegunungan Ethiopia. Selanjutnya, di utara Khartoum, aliran ini membentuk induk Sungai Nil. Setelah mendapat tambahan dari Sungai Atbara, Sungai Nil mengalir berkelok-kelok melalui dataran tinggi Sudan utara, lanjut sampai Mesir, hingga bermuara di Laut Tengah.
Dengan struktur seperti ini, "gangguan" aliran air dari hulu pasti berimbas ke daerah bawah. Kajian tim ahli dari sepuluh negara—enam negara-negara Sungai Nil dan empat negara di luar—memang belum membuahkan hasil final akan dampaknya. "Dam hanya mengurangi air Nil selama pengisian bendungan," kata Duta Besar Amerika Serikat untuk Ethiopia, David Shinn.
Yang akan dibangun adalah dam setinggi 170 meter dan lebar 1,8 kilometer, yang menampung air hingga 65 juta meter kubik. Volume air sebesar ini disodet langsung dari induknya. Proses pengisian air hingga pengoperasian pembangkit listrik bisa memakan waktu lima-enam tahun.
Bagi Mesir, yang berada di bagian hilir, potensi pengurangan pasokan air ini menjadi masalah serius. Perdana Menteri Mesir Hesham Qandil menyebut gangguan ini sebagai masalah keamanan nasional. "Ini adalah masalah hidup atau mati," ujarnya dalam pidato di depan majelis tinggi parlemen.
Mesir mengoptimalkan air Nil untuk kebutuhan nasional. Pada 1970, pemerintah mendirikan bendungan Aswan untuk pengolahan air dan sekaligus mendukung pertanian. Bendungan ini kemudian dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik selain untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari.
Komoditas pertanian, seperti zaitun, gandum, dan kapas, menguasai hampir 70 persen dari pendapatan kotor nasional Mesir. Tahun ini hasil gandum Mesir diproyeksikan sebesar 9,5 juta ton atau setara dengan 70 persen kebutuhan nasional. Pada 2017, pemerintah Mesir bertekad pemenuhan kebutuhan gandum 100 persen dari dalam negeri. Rencana ini bisa berantakan bila pembangunan dam di Ethiopia menghambat air Nil ke lembah-lembah pertanian Mesir.
Negara lain yang langsung kena imbas dam Ethiopia adalah Sudan. Lokasi dam berjarak 40 kilometer dari perbatasannya. Namun, berbeda dengan Mesir, Sudan mendukung proyek tersebut. "The Grand Renaissance Dam akan menguntungkan kita semua," kata Menteri Penerangan Sudan Ahmed Belal Othman kepada Sudan Tribune.
Pasokan air untuk dam di Sudan memang akan berkurang. Namun Sudan mengharapkan dampak positif lain berupa potensi berkurangnya banjir dan tambahan daya listrik yang dibeli dari Ethiopia nantinya.
Sikap Sudan ini didukung Uganda. Presiden Yoweri Museveni menyayangkan kecemasan berlebihan Mesir. "Afrika tak akan mengganggu Mesir, seharusnya demikian juga sebaliknya," ucapnya.
Bagaimanapun rencana pembangunan The Grand Renaissance Dam telah memicu ketegangan kawasan. Sejumlah politikus Mesir, misalnya, sudah menyarankan "jalan belakang" untuk menghambat proyek, contohnya dengan mendukung pemberontak Ethiopia atau menyebarkan rumor rencana serangan.
Sedangkan negara-negara di pinggiran utama Sungai Nil, yakni Ethiopia, Sudan, dan Mesir, masih terus menjajaki dialog. Beberapa agenda pembicaraan, terutama antara Mesir dan Ethiopia, sudah dirancang. "Kedua pihak harus saling bicara karena keduanya membutuhkan air Sungai Nil," kata Ketua Komisi Uni Afrika Nkosazana Dlamini-Zuma.
Harun Mahbub (AFP, BBC, Bloomberg, Nazret, Sudan Tribune, VoA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo