BERKEPALA botak, dengan tubuh yang tak dapat disebut tinggi, Mangalyn Dugersuren, 62, menteri luar negeri Repuhlik Rakyat Mongolia, menerima koresponden TEMPO untuk Tokyo, Seiichi Okawa, yang datang ke Ulan Bator pekan pertama Juli ini. Dia seperti seorang ayah yang ramah, tulis Okawa tentang Dugersuren. Pernah menjadi duta besar, menlu (1963-1968), kepala perwakilan Mongolia untuk PBB New York dan kemudian Jenewa, Dugersuren mengunjungi Jakarta 1982. Kepada Okawa dia berkata, pasukan RCC di perbatasan Mongolia adalah ancaman bagi keamanan negerinya. Berikut ini, beberapa petikan: Orang memperkirakan, jumlah pasukan RRC di perbatasan Mongolia dan Uni Soviet dua juta. Kalau tak salah, lebih dari itu. Dan Soviet konon menempatkan pula satu juta serdadu di perbatasan Rusia-RRC dan perbatasan Mongolia-RCC. Benarkah? Saya tak bisa bercerita soal angka. Tapi harap diingat, kami tak punya perasaan anti-Cina. Kami menghormati RCC, tapi kami tak setuju dengan kebijaksanaan para pemimpinnya. Hanya itu. Bagaimana pendapat Anda tentang tuntutan RRC agar Uni Soviet menarik tentaranya dari perbatasan, sebagai syarat untuk normalisasi hubungan Moskow-Beijing? Pasukan Soviet akan mundur, sekiranya nanti tak ada lagi bahaya. Bahaya apa? Bahaya itu ialah RRC. Sejak revolusi kami, 1921, kami punya hubungan baik dan tulus dengan Rusia. Kami banyak mendapat bantuan. Kami pernah mengundang pasukan Soviet, 1920-1978. untuk menghadapi ancaman Rusia Putih dan militerisme Jepang. Begitu juga pada tahun 1930-an. Pasukan Rusia yang di Mongolia tak pernah mengancam tetangga kami, malah memberikan pengaruh baik terhadap situasi di Timur Jauh. Tapi RRC tak mau membicarakan soal ini dengan kami. Mereka langsung mendesak Moskow walaupun Mongolia punya pemerintahan. Tahun 1981 Mongolia mengajukan usul untuk konvensi nonagresi dan penggunaan kekuatan bersenjata kepada negara-negara Asia dan Lautan Teduh. Penjelasan Anda? Tujuannya ialah hidup damai bersama. India, Korea Utara, dan Afghanistan menunjukkan persetujuan. Yang perlu diingat ialah, Asia punya potensi sebagai tempat meledaknya perang nuklir. Jepang yang punya prinsip non-nuklir ternyata sering melanggar prinsipnya itu. Kapal perang nuklir AS sering masuk pelabuhah Yokosuka dan Sasebo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini