SERANGAN Ramadan yang ramai diperbincangkan Juni lalu ternyata cuma berkobar dalam halaman surat kabar. Satuan tank Iran memang masih dipusatkan di timur Basra, tapi tak juga kunjung menerobos perbatasan Irak. Meskipun begitu, duta keliling Iran Mohammed Baqueri masih menjanjikan suatu "serangan besar" kepada para wartawan di Kuwait, Sabtu berselang. Tentu tidak dikatakannya pabila serangan itu akan dilancarkan. Akhir-akhir ini Iran masih saja berusaha mempertahankan citranya yang galak, meskipun kondisi dan situasi tampaknya sudah tidak memungkinkan. Ikhtiar perdamaian, yang diusahakan tujuh negara Islam dalam rangka mengakhiri perang Iran-Irak, telah lula ditolak mentah-mentah oleh Teheran. Sebaliknya, Baghdad bersedia menjalin kerja sama dengan ketujuh negara itu, yang pekan silam mengadakan pertemuan di Jeddah. Adapun tugas sebagai penengah dibebankanpada sebuah komite yang diketuai presiden Gambia Sir Dawda K. Jawara. Sementara itu, di Teheran terjadi kesibukan menyambut tamu.penting yang tak lain dari menlu Jerman Barat Hans-Dietrich Genscher. Dialah tokoh Masyarakat Ekonomi Eropa pertama yang berkunjung ke sana sejak Syah Iran digulingkan tahun 1979. Dalam sebuah keterangan resmi, Bonn menyatakan bahwa sudah tiba saatnya memperluas hubungan dengan Iran, yang memang ingin membina kerja sama lebih baik dengan negara mana saja, di kawasan timur ataupun barat. Genscher hanya dua hari di Teheran, tapi ini dianggap cukup untuk meningkatkan hubungan dagang ke hubungan politik. Dan rupanya tidak hanya Jerman Barat yang berpendapat demikian. Arab Saudi sudah pula mengundang ketua Majelis (Parlemen) Iran Ali Akbar Rafsanjani untuk berkunjung ke Riyad, khususnya pada musim ibadah haji. Undangan ini sedang dipertimbangkan oleh orang terkuat kedua itu. Tak heran jika para diplomat beroleh kesan bahwa Iran mungkin sekali sedang membuka pintunya bagi dunia luar. Pada tahap pertama, agaknya Teheran mencoba mempererat hubungan dengan negara-negara Teluk yang selama ini kecut melihat sepak terjang rezim Khomeini. Di depan para wartawan Jerman Barat Rafsanjani antara lain berkata, "Ada kemungkinan Arab Saudi bisa berperan menghentikan Perang Teluk, misalnya dengan menyetop sama sekali bantuan untuk Irak." Diakuinya, "Negara-negara Teluk mungkin takut terhadap revolusi kami . . tapi iklim yang sehat dapat mengawali hubungan yang baik." Timbul pertanyaan, mengapa Rafsanjani yang selalu dikabarkan suka perang tiba-tiba berbalik membisikkan persahabatan. Apakah rezim di Teheran berubah sikap? Gejala-gejala yang tidak biasa itu telah memancing hasrat ingin tahu dunia luar. Maka, oleh para pengamat berbagai data dikumpulkan, analisa dibuat. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa Iran sekarang dirongrong dua kesulitan: krisis ekonomi dan pertentangan sengit antara kelompok militer yang menolak dan kaum ulama yang menganjurkan perang. Kedua sebab itulah yang membatalkan serangan Ramadan. Dalam harian berpengaruh Le Monde, yang terbit di Paris, disebutkan bahwa dana persenjataan yang amat besar, pengaturan uang negara yang terlalu buruk (banyak perusahaan negara yang merugi terus), dan impor yang semakin meningkat telah menjerumuskan ekonomi Iran dalam keadaan yang teramat rawan. Kerugian akibat perang diperkirakan US$ 164 milyar, kerusakan bidang perminyakan US$ 53,7 milyar, pertanian US$ 40,7 milyar, dan industri US$ 8,2 milyar. Untuk bisa terus bertahan, Iran memerlukan US$ 80 milyar. Dari mana jumlah sebesar itu akan diperolehnya? Satu-satunya sumber yang diandalkan ialah ekspor minyak bumi. Pendapatan minyak tahun ini, yang ditargetkan US$ 18 milyar, agaknya sulit dicapai. Target tahun lalu sebesar US$ 23 milyar cuma terpenuhi US$ 18 milyar, apalagi tahun ini, saat perairan Teluk menggawat dan kapal tanker takut merapat karena ancaman pengeboman oleh Irak. Menurut harian The Financial Times, London, biarpun sekarang minyak Iran dijual US$ 20 per barel tetap tidak laku. Bagaimana Teheran tldak khawatir, apalagi cadangan devisa cuma tinggal sekitar US$ 3-US$ 4 milyar sedangkan defisit mencapai US$ 7,9 milyar selama lima tahun rezim Khomeini berkuasa. Dalam usaha mencegah kesulitan ekonomi yang lebih parah, kaum pedagang bazaari mulai didekati. Mereka diberi kebebasan bergerak, pembatasan perdagangan luar negeri dicabut, liberalisasi ekonomi mulai diterapkan. Dibuat pula rencana pembangunan lima tahun yang belum menunjukkan hasil positif kecuali volume impor yang pernah meningkat sampai US$ 22 milyar. Belum lagi defisit yang telanjur membesar. Mungkin karena itu pembelian jet tempur masih tertunda. Akibatnya, serangan Ramadan dibatalkan, karena pihak militer tidak bersedia melancarkan serangan di darat bila tak ada perlindungan dari udara. Serangan infanteri, kata mereka, akan sia-sia, karena dengan mudah di patahkan oleh tentara Irak yang jauh lebih lengkap persenjataannya. Apa daya? Pemerintahan Khomeini menghadapi pilihan yang sulit: perang dan ekonomi berantakan atau mengaso dulu sembari menyusun kekuatan. Melihat gelagatnya, pilihan jatuh pada yang terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini