FOTO besar hitam putih Yumdshaagin - Tsedenbal, sekretaris jenderal Partai Rakyat Revolusioner Mongolia (PRRM), dan potret presiden Uni Soviet Konstantin Chernenko, dipampang bersama ketika 70.000 murid sekolah, tentara, buruh dan rakyat Mongolia berparade di ibu kota Ulan Bator merayakan hari kemerdekaannya yang ke-63. Ini adalah lambang ketergantungan Mongolia terhadap Moskow, di kala negeri itu melihat RRC sebagai bahaya menakutkan dari selatan. Perayaan di Lapangan Sukhe Bator, di depan gedung parlemen itu, berlangsung dalam udara agak dingin, 12C, disertai hujan rintik-rintik. Di dekat makam Shuke Bator - pahlawan kemerdekaan Mongolia - berjejer 19 anggota politbiro PRRM. Tsedenbal, 67, yang juga menjabat ketua Dewan Rakyat Tertinggi Republik Rakyat Mongolia, berdiri di antara mereka. Parade ini persis seperti parade merayakan kemenangan kaum buruh 1 Mei di Lapangan Merah, Moskow, tulis koresponden TEMPO, Seiichi Okawa, yang menyaksikan peringatan kemerdekaan 11 Juli lalu itu. Bersama barisan tentara yang hanya memanggul senapan dan kelompok pekerja berbagai unit produksi, muncul pula spanduk "Hidup Marxisme-Leninisme" yang ditulis dalam bahasa Mongolia dan Rusia. Potret para anggota politbiro Partai Komunis Uni Soviet pun turut diarak. Kebutuhan Mongolia akan perlindungan Moskow terasa sejak awal kemerdekaannya. Tahun 1920-an dan 1930-an negeri itu mengundang kehadiran serdadu Soviet untuk berlindung dari ancaman militerisme Jepang. Dengan penduduk 1,8 juta jiwa, Mongolia bagaikan daging yang di jepit dua potong roti - dua raksasa komunis RRC dan Soviet sehingga dijuluki "Negeri Sandwich". Selama Perang Dunia II ia banyak menyuplai Rusia dengan berbagai jenis barang. Istri Tsedenbal pun, seorang wanita Rusia. Sebetulnya, tahun 1956 negeri itu pernah membuka hubungan dengan RRC, lewat suatu perjanjian kerja sama ekonomi. Beijing setelah itu mengirim 20.000 orang Cina ke sana untuk membantu pembangunan gedung dan jalan raya. Tapi pada pertengahan 1960-an, ketika berlangsung Revolusi Kebudayaan, tenaga itu ditarik kembali oleh RRC. Peran Cina kemudian digantikan oleh Rusia. Sekarang sekitar 45.000 orang sipil Soviet bekerja di sana membantu pembangunan. Tapi di samping itu, menurut diplomat Barat, juga terdapat enam divisi tentara Soviet, dua divisi di antaranya ialah pasukan tank. Beijing tak suka melihat ini, dan mendesak agar Moskow menarik pasukan itu. Tapi "Kami meminta kehadiran mereka buat menjamin keamanan kami," kata menlu Mongolia, Mangalyn Dugersuren, kepada TEMPO (Lihat: Berita Tentara di Perbatasan). Sekarang timbul masalah lain dengan Beijing. Berdasarkan perjanjian dengan Jerman Barat, Cina mulai 1986 akan menerima pembuangan 4.000 ton sampah nuklir, dengan biaya US$ 6 milyar, sampai akhir abad XX. Mongolia gusar karena sampah nuklir itu akan disimpan dekat Danau Lop Nor, di bagian utara Provinsi Xin Jiang, daerah perbatasan dengan Mongolia. Masalah ini adalah bagian lain dalam kegelisahan pemerintah di Ulan Bator menghadapi RRC, negeri dengan penduduk 564 kali lebih banyak dari penduduknya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini