Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG pemeriksaan di lantai dua gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur, itu tampak sepi, Selasa pekan lalu. Yang terlihat di sana hanya dua pengacara dan seorang panitera. Ketiganya tampak berbincang serius. Kedua pengacara itu adalah tim kuasa hukum PT Indika Cipta Media, perusahaan perfilman milik Shankar Ramchand.
Ini untuk ketiga kalinya mereka datang ke PTUN. Kali ini mereka memperbaiki gugatan perkara yang sudah mereka daftarkan pada 17 September lalu. Shankar memang tengah menggugat Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Ia menuntut lembaga bentukan pemerintah itu mencabut keputusannya yang membatalkan kemenangan film Ekskul pada Festival Film Indonesia 2006.
Ekskul adalah film besutan sutradara Nayato Fio Nuala dan diproduksi PT Indika Entertainment. Pada Festival Film Indonesia 2006, film yang mengusung ide antikekerasan di kalangan anak sekolah ini menyabet sejumlah penghargaan: film terbaik, sutradara terbaik, editor terbaik, dan penata suara terbaik. Prestasi yang luar biasa.
Eh, penghargaan tak berumur panjang. Kemenangan ini lantas diprotes gegap-gempita oleh insan perfilman yang bergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI). Mereka ”menelanjangi” sejumlah kebobrokan Ekskul. Menurut Masyarakat Film, Ekskul tak layak jadi juara karena ilustrasi musiknya menjiplak karya orang lain. Karena tuduhan itu, pada 28 Juni lalu Ketua Badan Pertimbangan Perfilman mencabut kemenangan Ekskul sebagai film terbaik dan sutradara terbaik.
Keputusan itu berbuntut panjang. Indika tidak menerima pembatalan tersebut dan menggugat BP2N ke PTUN. Menurut Ferry Firman Nurwahyu, kuasa hukum Indika, Badan Pertimbangan Perfilman telah melanggar hukum karena bertindak di luar wewenangnya dengan mencabut penghargaan itu. ”Yang berhak mencabut dewan juri, bukan BP2N,” kata Ferry.
Dalam gugatannya, Indika menyatakan Badan Pertimbangan Perfilman telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1994 tentang BP2N dan Undang-Undang nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman. Selain itu, Badan Pertimbangan Perfilman juga melanggar pedoman pelaksanaan Festival Film Indonesia. Indika meminta PTUN menghukum Badan Pertimbangan Perfilman Nasional dengan mencabut keputusannya dan membayar ganti rugi.
Gugatan Indika tidak membuat khawatir Ketua BP2N, Deddy Mizwar. Pembatalan yang dilakukan pihaknya, kata Deddy, tidak dilakukan secara tiba-tiba. ”Kami sudah melakukan investigasi berbulan-bulan, konsultasi, dan dialog dengan berbagai kelompok dan lembaga,” kata Deddy, ”termasuk mengumpulkan data selengkap-lengkapnya sebagai bukti.”
Dari data yang ada, ujar Deddy, sutradara dan produser Ekskul sengaja menggunakan lagu orang lain tanpa izin. ”Saya ada buktinya,” katanya. Bahkan dengan temuan tersebut, menurut dia, BP2N tidak hanya berhak mencabut, tapi juga bisa melaporkan produser dan sutradara film Ekskul ke polisi dengan tuduhan mencuri hak cipta orang lain. ”Kami telah menyiapkan laporan, bukti, juga pengacara untuk membawa kasus ini ke polisi.”
Menurut Deddy, produser dan sutradara Ekskul sampai saat ini juga belum mengembalikan Piala Citra yang seharusnya mereka pulangkan. Sikap ini, kata Deddy, makin membuktikan keduanya mengakui karya orang lain sebagai milik mereka. Dihubungi Tempo pekan lalu, Shankar maupun Nayato tak mau berkomentar tentang kasus yang kini masuk pengadilan ini. ”Tanya saja pengacara saya,” kata Shankar.
Direktur Pemasaran Universal Music Indonesia, pemegang lisensi Universal Music, Daniel Tumiwa, menegaskan bahwa Ekskul memang melanggar hak cipta. Menurut Daniel, dari bukti yang ditemukan Universal, Ekskul menggunakan 14 potong lagu milik Universal, di antaranya lagu Elysium karya Gerrard Badelt yang dipakai dalam film Gladiator dan lagu Remembering Munich karya John Williams di film Munich. Keduanya masing-masing dipakai selama 30 detik tanpa aransemen atau dimainkan ulang.
Kantor pusat Universal Music di New York, kata Daniel, telah menegur Indika dan meminta mereka membayar ganti rugi, namun teguran itu tak digubris. Sampai saat ini Indika belum membayar. ”Kami sudah bertemu dua kali, tapi Indika hanya mau membayar jauh di bawah angka yang diinginkan Universal,” kata Daniel.
Menurut Daniel, untuk film layar lebar, produser bisa membayar dari ratusan sampai jutaan dolar per lagu. ”Tergantung format dan pemakaiannya kapan,” kata Daniel. Universal, kata Daniel lagi, juga berancang-ancang membawa kasus ini ke meja hijau ”Itikad Indika tidak baik,” katanya.
Nia Dinata, sutradara yang juga anggota Masyarakat Film Indonesia, menyatakan mendukung langkah Badan Pertimbangan Perfilman yang mencabut kemenangan Ekskul. ”Sebagai penyelenggara FFI, sah saja BP2N mencabut. Di turnamen olahraga pun, kalau ketahuan doping, kemenangannya harus dibatalkan,” ujar sutradara film Berbagi Suami ini.
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo