Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pasal Sensor Masuk Mahkamah

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUGAT-menggugat urusan film tak hanya terjadi di PTUN, tapi juga di Mahkamah Konstitusi. Bedanya, di sini bukan Ekskul yang dipermasalahkan, tapi Undang-Undang Nomor 8/1992 tentang Perfilman. Senin pekan lalu, untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pertama uji materi atas UU ini.

Uji materi itu diajukan sutradara Riri Riza, Nia Dinata, dan Tino Saroengallo, Direktur Jakarta International Film Festival, Rois Amriradhiani, serta artis Shanty. Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 1, 33, dan 34 yang mengatur tentang sensor, serta Pasal 40 dan 41 yang mengatur sanksi hukum dan denda pelanggaran sensor.

Pasal-pasal itu, menurut para orang film ini, tak sesuai dengan konstitusi. Khususnya Pasal 28 C dan F, yang menjamin hak setiap orang memperoleh serta menyampaikan informasi. ”Pasal sensor melanggar hak konstitusional kami sebagai masyarakat film,” kata Riri. Pasal itu, ujarnya, mengekang dan memberangus kebebasan berekspresi. Namun, kata Riri, bukan berarti mereka minta sensor dihapus. ”Untuk mengganti sensor, pemilahan film bisa lewat lembaga klasifikasi film.”

Menurut Tino Saroengallo, klasifikasi sebuah film penting guna menentukan batasan umur orang yang bisa menonton. Ia mengambil contoh film Quickie Express garapan sutradara Dimas Djayadiningrat yang diklasifikasikan sebagai komedi dewasa. ”Kalau ada anak kecil menonton, itu kesalahan bioskop yang mengizinkan,” ujar Tino. Oleh sebab itu, pasal sensor hendaknya dihapus karena bisa diganti aturan hukum yang ada, misalnya memakai undang-undang pidana.

Sensor terhadap film, kata Tino, juga mengaburkan informasi sebenarnya. Ia mengambil contoh film dokumenternya, Student Movement in Indonesia: The Army Forced Them To be Violent. Sebuah adegan di film ini, saat seorang aparat keamanan menendang kepala mahasiswa yang sudah terkapar, terkena gunting sensor. ”Film itu kan apa adanya, menampilkan kekejaman aparat. Kenapa dipotong?” ujar Tino. Karya dokumenter, menurut dia, harus tampil utuh. Tak hanya isinya, judul filmnya pun juga ”dikorting”, tinggal Student Movement in Indonesia. Menurut Tino, jika permohonan mereka kelak dikabulkan, salah satu konsekuensinya, Lembaga Sensor juga akan bubar.

Pengamat film yang juga sutradara, Garin Nugroho, setuju pasal sensor diuji materi. Hanya, kata Garin, penghapusan pasal itu harus disertai penegakan hukum yang tegas dan menyeluruh untuk melindungi publik. Misalnya, jika sebuah film dianggap melanggar etika yang luar biasa, maka ia bisa dituntut ganti rugi besar pula.

Kepala Lembaga Sensor Film, Titi Said, mempersilakan pasal sensor diuji materi. Ia hanya mengingatkan, lembaganya tak hanya menyensor film layar lebar, tapi juga semua tayangan televisi seperti sinetron, dan iklan, termasuk DVD dan VCD.

Menurut Titi, dibanding yang tidak setuju sensor, yang setuju adanya sensor terhadap semua tayangan untuk publik jumlahnya lebih banyak. Pihaknya, kata Titi, telah melakukan jajak pendapat untuk mempertanyakan soal ini. Respondennya dari kalangan ibu rumah tangga, mahasiswa, hingga berbagai anggota ormas keagamaan. ”Hasilnya, 98 persen setuju sensor,” kata Titi.

Dimas Adityo, Bayu Pamungkas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus