Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bom yang Tak Kunjung Padam

Bom bunuh diri di Musayyib menewaskan lebih dari 100 orang pada pekan lalu. Terjadi eskalasi bom bunuh diri yang sulit diprediksi di Irak setelah hadirnya pemerintahan baru negeri itu.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Al-Khalij, sebuah kampung yang berdebu di Bagdad timur, itu tiba-tiba riuh oleh suara bo-cah yang bersicepat bangun pa-da pagi itu. Orang tua me-reka te-lah mengingatkan kedatangan tenta-ra Amerika di kampung mereka hari itu. Hamza Firas Khuzai, 11 tahun, dan kawan-kawan sepantaran se--gera meng-ham-bur tanpa sarapan di atas sepeda-sepeda mini mereka, menyong-song jip-jip kedatangan Humvee di ujung blok.

Bagi anak-anak seusia Hamza, kata ”ten-tara Amerika” berarti kesempatan un-tuk bermain-main di sekitar pasukan gagah bersenjata api. Di mata anak-anak ini, para serdadu itu terlihat seper-ti jagoan film perang yang menjelma ke alam nyata. Dengan riang mereka ber--canda dengan prajurit-prajurit bule, me-nunggu lontaran permen, kue, atau main-an dari para serdadu Amerika.

Pekik kegembiraan itu tak berlangsung lama. Sekitar pukul 10.00, sebuah sedan Suzuki cokelat meluncur men-de-kati kerumunan anak-anak dan tenta-ra Amerika. Tiba-tiba, suara ledakan mem-bahana ke seantero kampung. Mobil itu hancur berkeping-keping, pecahan kaca dan logam melenting, berham-buran ke segala arah. Tawa riang bocah-bocah lugu itu mendadak-sontak ber-ubah men-jadi tangis ketakutan, jerit nge-ri dan lolong kesakitan.

Demi mendengar ledakan dahsyat itu, Hadi Firas Khuzai menghambur ke luar ru-mah menembus debu dan asap. Dia men-dapati tubuh anaknya,

Hamza Firas, terkulai di antara tubuh-tubuh kecil yang mengucurkan da-rah dengan wajah tersuruk di pasir. Lubang menganga di sisi tubuh Hamza. Ta--ngan kanannya tergantung pada kulit-nya. Warna putih terpapar pada kaki kiri-nya yang koyak menjuntai. Khuzai sege-ra memondong anaknya dan berlari pu-lang. ”Mereka bilang dia masih hi-dup,” ujarnya sambil menggelengkan kepala.

Anak tertua yang tewas dalam insi-den itu baru berumur 13 tahun. Korban ter-muda adalah bayi yang baru berumur empat hari. ”Dia tewas terhunjam ka-ca yang beterbangan,” kata seorang war-ta-wan. Sebanyak 26 anak plus seorang ten-tara Amerika tewas. Tiga orang luka-luka. Hamza akhirnya meninggal be-berapa saat setelah ledakan.

Bocah-bocah itu hanya beberapa dari sekitar 1.500 warga yang mati akibat serangan bom bunuh diri sejak Perdana Menteri Ibrahim Jafari memerintah, 28 April lalu. Serangan paling mematikan terjadi pada Sabtu malam dua pekan lalu di Musayyib, 60 kilometer di selatan Bagdad. Ketika itu, seorang sopir truk tangki turun dari kendaraannya, membuka katup gas, lalu meledakkan di-ri bersama mobil penuh bahan bakar minyak. Seratus orang tewas dan ratus-an orang terluka.

Bencana tak berhenti di situ. Hanya berselang tiga jam sebelum warga Bagdad menundukkan kepala selama tiga menit dan memanjatkan bait-bait doa belasungkawa untuk mengenang pengeboman di Musayyib, bom besar meledak lagi. Kali ini meluluhlantakkan pos rekrutmen tentara di pusat kota Bagdad. Puluhan warga dan tentara cedera. ”Sepuluh orang tewas,” kata seorang po-lisi.

Sejak terpilihnya pemerintahan baru Irak pascapendudukan tentara AS, terjadi eskalasi serangan bom bunuh diri. Hampir tak ada hari di Irak yang tak diguncang bom. Korban kian banyak dan beragam. Sepanjang Juli ini saja sudah lebih dari 550 warga terbunuh di negeri itu. Semua pihak kini kebingungan dan nyaris tak mampu memahami apa yang terjadi.

Jika dulu sasaran terarah ke tentara pendudukan dan aparat keamanan Irak, kini bom tak pandang bulu. Anak-anak, wanita, dan warga sipil kerap menja-di korban. Fasilitas umum dan tempat iba-dah ikut diluluhlantakkan. Presi-den Jalal Talabani berkomentar pedih. ”Se-telah kehilangan alasan melawan tentara pendudukan, teroris kini mengarahkan sasaran ke tempat-tempat ibadah, anak-anak, pasukan Irak, dan fasilitas air dan minyak,” ujarnya.

Siapa teroris yang tega melakukan pe-nge-boman brutal seperti itu?

Pasukan pendudukan Amerika me-nu-ding kelompok Islam garis keras yang berafiliasi dengan Al-Qaidah pimpinan Abu Musab al-Zarqawi sebagai pelakunya. ”Mereka amat kejam dan taktis meski jumlahnya tidak terlalu banyak,” kata Brigjen Angkatan Udara Don Al-ston, juru bicara pasukan koalisi. Menurut perwira itu, mereka umumnya warga Timur Tengah non-Irak.

Upaya pemberangusan telah dilakukan tentara AS dan pemerintah. Bahkan bulan lalu sang komandan dilaporkan sempat terluka dalam serangan be-sar-besaran di dekat tapal batas Suriah. ”Kami sudah hampir dapat menji-nak-kan mereka,” kata Mayjen William G. Webster Jr., komandan tentara AS di Bagdad. Kenyataannya, hingga kini me-reka belum tertangkap. Bahkan serang-an itu dibalas gempuran balik dengan aksi bom yang makin dahsyat. Sayang, tak ada satu pun klaim dari mereka.

Para pengikut bekas presiden Saddam Hussein menjadi tertuduh kedua. Me--reka disebut-sebut masih memiliki ke-mampuan militer yang hebat. Ketika wajah patron mereka ditayangkan di televisi awal bulan lalu, konon, para ten-tara ini marah besar. Ketegangan makin meningkat ketika dakwaan pertama bagi Saddam diumumkan, Ahad lalu. ”Per-sidangan akan berlangsung dalam be-be-rapa hari ini,” kata hakim Raed Jouhi.

Sebenarnya, sebagian warga Irak sang-si apakah pemerintah bisa mengadili Saddam. Selain bakal diganggu, peng-adilan atas mantan diktator itu didu-ga membawa konsekuensi pelik. Me-reka khawatir hari-hari di Irak makin berdarah. ”Mereka harus mengungsi-kan semua pemimpin Irak demi keamanan mereka sendiri. Pembunuhan akan me-ningkat,” kata Abed Jassim, seorang pen-jual minuman ringan di sudut Bagdad.

Namun, para pejabat Irak tetap yakin pengadilan Saddam akan melemahkan se-mangat kelompok perlawanan. Begitu pula harapan pasukan pendudukan ketika menangkap bekas orang kuat Irak itu pada Desember 2003. Mereka yakin penangkapan Saddam akan merontokkan moral kelompok perlawanan. Yang terjadi justru sebaliknya. Aksi kekerasan tambah berkobar.

Di kalangan warga, kontroversi pun ber-munculan. Sebagian menghujat para pengebom, yang lain kini menu-ding Ame-rika Serikat sebagai dalang semua ben-cana. Seusai bencana, pasukan AS ber-upaya menunjukkan simpati. Kenda-raan tempur Amerika berpengeras -sua-ra lalu-lalang menyiarkan imbauan da-lam bahasa Arab agar warga tetap te-nang sehabis ledakan bom. Mereka meng-ung-kapkan kesedihan dan me-ngu-tuk pengeboman seperti halnya orang tua para bocah yang terbunuh. ”Ini bukan kesalahan Amerika,” kata ayah Hamza.

Tetangga Hamza, Wid Hussein, tak se--tuju. Ia menuding Amerika sebagai biang semua tragedi yang menimpa me-reka. ”Ini tanggung jawab mereka,” kata gadis yang kehilangan adik perempu-an-nya itu. Pro dan kontra semacam ini -sudah menjadi santapan sehari-hari warga Irak.

Perang sudah usai. Saddam sudah lama tumbang. Tapi bom demi bom tak kunjung padam melahirkan kematian di seantero sudut negeri itu.

Hanibal W.Y. Wijayanta (The Washington Post, AP, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus