Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bukan Saudi yang Dulu

Karena krisis akibat defisit keuangan, Arab Saudi melakukan penghematan besar-besaran. Persaingan antarpangeran memanas.

19 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu secarik memo misterius bertanggal 14 Zulhijah 1436 mampir ke meja kerja Menteri Keuangan. Pesannya yang bertulisan huruf-huruf Arab itu menyebutkan memo tersebut "Sangat Rahasia dan Sangat Segera". Namun yang lebih penting adalah ia menyiratkan sebuah negeri yang tengah mengalami perdarahan serius.

Memo rahasia dari Raja Salman bin Abdulaziz dua pekan lalu itu berbunyi: hentikan pembelian mobil, setop proyek baru, tunjuk dan promosikan pejabat baru, bayar ganti rugi tanah, potong anggaran untuk berlibur ke luar negeri, dan seterusnya. Masa kejayaan, tatkala harga minyak mencapai US$ 110 per barel, telah berakhir seiring dengan melorotnya harga minyak ke angka US$ 50 per barel dalam dua tahun terakhir. Kini tibalah saat untuk berhemat. Buat menutupi defisit yang membengkak ini, Arab Saudi akhirnya harus menarik US$ 70 miliar (sekitar Rp 948,2 triliun) dari dananya di luar negeri.

Steffen Hertog, profesor dari London School of Economy, menilai keadaan ini semacam panggilan peringatan. "Mereka sebenarnya tidak kehabisan uang," katanya, "tapi cuma mengeluarkan terlalu banyak uang." Pengeluaran seperti ini meliputi banyak hal, termasuk keputusan Raja Salman untuk memberikan tambahan sebulan gaji kepada para pegawai negeri tatkala ia naik takhta, awal tahun ini.

Salman, raja yang baru sembilan bulan naik takhta di kerajaan yang didirikan pada 1932 itu, menghadapi tantangan lebih berat dibanding para pemimpin terdahulu. Terakhir ia harus mendongkrak citranya di antara negara-negara Islam yang runtuh bersama ambruknya derek raksasa di Masjid Al-Haram. Insiden 11 September ini menewaskan 111 anggota jemaah haji dan melukai lebih dari 200 lainnya. Kredibilitasnya kian ambles setelah dua pekan kemudian, di hari pertama Idul Adha, terjadi petaka Mina.

Pamornya menurun tajam lantaran keterangan resmi pemerintah lebih menimbulkan kecurigaan ketimbang kejelasan. Menurut media resmi pemerintah, tragedi itu menewaskan 769 orang dan membuat 934 lainnya terluka. Anehnya, beberapa pekan kemudian, mereka menyebarkan sekitar 1.100 foto korban meninggal kepada para diplomat negara muslim untuk proses identifikasi.

Patut dicatat, Arab Saudi di bawah kepemimpinan Raja Salman seperti Indonesia pada 1965—dalam skala yang jauh lebih kecil. Sementara di Indonesia ada Presiden Sukarno yang gering, di tengah persaingan perebutan kekuasaan antara Partai Komunis Indonesia, militer, dan kelompok muslim; di Arab Saudi ada seorang raja yang sakit-sakitan di antara power struggle para pangeran. Serangan stroke pernah menimpa Salman. Dalam kondisi seperti ini, ancaman pengambilalihan kekuasaan bisa terjadi setiap waktu.

Panasnya konflik dalam keluarga kerajaan mencuat ke publik setelah seorang pangeran, salah satu cucu dari pendiri Arab Saudi, Raja Abdulaziz, menulis surat terbuka yang menggemparkan: ia menyerukan kudeta terhadap Raja Salman bin Abdulaziz. Ia beralasan pemimpin 79 tahun itu pada kenyataannya tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan karena sejumlah penyakit yang telah menggerogoti kesehatannya.

Konflik ketat antarpangeran bukan hal baru di Arab Saudi, tapi kudeta tidak umum terjadi. Satu-satunya kudeta di kerajaan itu berlangsung pada 1964, ketika Raja Saud dipaksa turun oleh Pangeran Faisal, yang telah menguasai Garda Nasional dan mengancam menggulingkan kekuasaan. Sebelas tahun kemudian, Raja Faisal ditembak mati oleh seorang keponakannya sendiri.

Seakan-akan tahu bahwa ia tidak bakal lama memerintah, pada bulan ketiga kekuasaannya, Raja Salman membuat keputusan mengejutkan: mencabut gelar putra mahkota dari Pangeran Muqrin bin Abdulaziz, anak bungsu Raja Abdulaziz. Dia kemudian mengangkat Pangeran Muhammad bin Salman, putra sulungnya dari istri ketiga, menjadi wakil putra mahkota—posisi yang sebelumnya diduduki Pangeran Muhammad bin Nayef.

Ada satu hal penting yang disampaikan Raja Salman dengan keputusan kontroversialnya April lalu itu. Dia mungkin ingin memutus rantai generasi kedua penguasa Saudi. Artinya, dialah anak Raja Abdulaziz terakhir dari klan ibu, Hissa as-Sudairi, yang menjadi raja. Sejak Raja Abdulaziz meninggal, semua penguasa Saudi—dari Saud, Faisal, Khalid, Fahad, Abdullah, sampai kini Salman—beribu Hissa as-Sudairi. Berbeda dengan Raja Salman dan putranya, Pangeran Muqrin, penerbang jet tempur yang mengenyam pendidikan di Inggris dan akrab dengan Amerika Serikat. Ia terdepak dari lingkaran para calon karena beribu seorang perempuan Yaman yang tidak pernah dinikahi secara terbuka oleh Raja Abdulaziz bin Saud.

Kendati begitu, keputusan Raja Salman ini jelas bertentangan dengan dekrit yang dikeluarkan Raja Abdullah pada 2006. Jika semua anak Raja Abdulaziz sudah tidak ada lagi, demikian menurut dekrit itu, barulah kekuasaan dipegang oleh salah satu cucunya. Raja baru ini dipilih dari sekian ratus pangeran oleh sebuah dewan berisi pangeran-pangeran senior.

Boleh jadi Raja Salman berambisi menjadikan anaknya itu sebagai penggantinya meski miskin pengalaman. Usianya terbilang amat muda, diyakini baru 30 tahun, walau di dokumen resmi tertulis 35 tahun. Pangeran Muhammad bin Salman sebenarnya pelaksana pemerintahan sehari-hari. Masih ada tambahan dua jabatan mentereng lain di tangannya, yakni Menteri Pertahanan dan Ketua Komite Kebijakan Ekonomi.

Nama Pangeran Muhammad bin Salman, selaku menteri pertahanan, agak tercoreng akibat perang yang berlarut-larut di Yaman. Kemajuan yang diperoleh di medan perang tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. "Perang di Yaman jelas menambah beban ekonomi yang harus ditanggung," kata David Butter, pakar Arab Saudi dari lembaga think tank Chatham House. Ia malah membikin Arab Saudi tidak aman oleh serangan kaum militan Islam. Intervensi militer secara langsung makin membuat Yaman kian bergolak ketimbang terkontrol. Milisi Syiah Houthi ditumpas dengan alasan disokong musuh bebuyutan mereka, Iran, tapi Al-Qaidah dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) makin merajalela.

Krisis akibat defisit dan persaingan memperebutkan takhta di kerajaan itu boleh jadi membuka peluang kudeta.

Idrus F. Shahab (The Guardian, The Washington Post, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus