Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa pekerja sibuk memotong pelat besi di haluan kapal Surabaya Express pada Selasa pekan lalu. Bahtera yang bersandar di dermaga Desa Tanjung Jati, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, itu sudah tak utuh lagi. Bagian buritan dan lambung kapal berbobot 3.114 gross ton tersebut habis "dimutilasi".
Desa Tanjung Jati selama ini memang kondang sebagai tempat pemotongan kapal tua. Namun kapal yang dijagal siang itu semestinya dirawat baik-baik. "Kapal tersebut bukti kasus yang kami tangani," ujar Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Surabaya Roy Rovalino, Selasa pekan lalu. "Kapal dipotong tanpa pemberitahuan."
Roy menuturkan, kapal tersebut awalnya milik Direktur PT Sejahtera Bahtera Agung, Eddy Gunawan Tambrin, yang terbelit skandal penggelapan agunan kredit di Bank Mandiri Cabang Pemuda, Surabaya. Sudah setahun Surabaya Express nyanggrok di dermaga Tanjung Jati. Sekali dalam sebulan, jaksa mengecek kondisinya. Sampai pemeriksaan terakhir, kapal masih utuh.
Pada 22 September lalu, kejaksaan menerima surat dari Kepala Desa Tanjung Jati. Lurah memberi tahu bahwa kapal sepanjang 95,67 meter tersebut dipotong-potong. Ketika ditelusuri, kata Roy, pemotongan Surabaya Express ternyata atas perintah Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) I Medan.
Kepala Desa Tanjung Jati Abdul Latif membenarkan cerita itu. Ia mengaku pernah ditelepon jaksa agar melaporkan pemotongan kapal tersebut ke polisi. Namun Latif menolak karena ia tahu "jagal" kapal itu utusan Tentara Nasional Indonesia. "Kalau yang potong orang biasa, saya mau melaporkan. Ini negara lawan negara, nanti susah," ujar Latif.
Komandan Pangkalan Angkatan Laut Batuporon, Bangkalan, Letnan Kolonel Marinir Purwanto, tak menampik kabar bahwa pemotongan Surabaya Express atas setahu korpsnya. Kapal itu, menurut dia, merupakan aset TNI Angkatan Laut. "Saya diperintah mengamankan aset yang berada di wilayah saya," katanya Rabu pekan lalu. Purwanto mengaku tak tahu kapal itu sitaan kejaksaan. "Silakan tanya Lantamal Medan, kami mendapat perintah dari sana," ujarnya.
Cerita ini bermula ketika Eddy Gunawan Tambrin mengajukan kredit ke Bank Mandiri Surabaya Kantor Cabang Pemuda pada Februari 2010. Kala itu, Eddy mendapat pinjaman Rp 172 miliar dengan agunan 15 unit kapal motor perusahaan. Kredit tersebut konon akan dipakai untuk ekspansi bisnis PT Sejahtera Bahtera Agung, yang bergerak di bidang ekspedisi hasil tambang.
Pada Juli 2010, Eddy meminta Bank Mandiri melepas lima unit kapal motor miliknya. Dia beralasan kapal akan dijual untuk menambah modal. Sisanya untuk mencicil kredit. Bank Mandiri pun setuju. "Ternyata uang hasil penjualan tak pernah disetor ke Bank Mandiri," kata jaksa Roy Rovalino.
Belakangan, menurut Roy, terungkap bahwa tiga pegawai Bank Mandiri Pemuda diduga bersekongkol dengan Eddy. Mereka ditengarai menerima suap agar Eddy bisa menjual kapal agunan.
Bank Mandiri kemudian memasukkan kredit PT Sejahtera Bahtera Agung ke kategori kolektabilitas 5 alias macet. Eddy lantas menyurati bank pelat merah tersebut pada Mei 2012. Ia meminta penjadwalan ulang pembayaran sampai 2020. Bank Mandiri kembali sepakat. Sampai medio 2013, Eddy masih membayar cicilan. Utangnya di Bank Mandiri menyusut jadi Rp 93,7 miliar.
Pada akhir 2013, Eddy kembali berulah. Ia menjual sisa sepuluh unit kapal motor jaminan utang—seharga Rp 90 miliar—tanpa setahu Bank Mandiri. Pembelinya seorang pengusaha asal Surabaya. Namun Eddy pun tak pernah mendapat uang tersebut. Padahal empat unit kapal telah dijual lagi oleh si cukong.
Menurut Roy, penjualan agunan itulah yang dipermasalahkan jaksa. "Kami tak mengurus kredit macetnya karena itu perdata," ujar Roy.
Perkara ini sudah sampai di meja hijau. Pada awal Mei lalu, Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan Eddy terbukti melakukan korupsi karena menguntungkan diri sendiri dan merugikan negara.
Majelis hakim menghukum Eddy tujuh tahun penjara dan memintanya membayar kerugian negara Rp 36,4 miliar. Hakim juga meminta jaksa menyita enam kapal milik Eddy. Salah satunya Surabaya Express, yang harganya sekitar Rp 3,9 miliar. Jaksa telah menyita surat-surat kapal tersebut. Namun jaksa tak pernah menguasai fisik kapal. Mereka menitipkannya ke pelabuhan.
Eddy mengajukan permohonan banding atas putusan itu. Pada 16 September lalu, Pengadilan Tinggi Surabaya memenangkan Eddy. Hakim menyebut Eddy memang bersalah soal penggelapan agunan. Namun hakim menganggap perkara itu bukan termasuk kategori korupsi, melainkan pidana umum. Eddy, yang diterungku di Rumah Tahanan Medaeng sejak Agustus 2014, hari itu juga bebas.
Akhir bulan lalu, jaksa mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. "Masalahnya, proses hukum belum selesai, TNI AL sudah memotong kapal," kata Roy.
Kapal sitaan lainnya kini tak jelas rimbanya. Terakhir jaksa mendapat informasi bahwa kapal-kapal milik Eddy yang masih utuh terpantau di Medan, Makassar, dan Papua. Namun belum lama ini jaksa mendapat kabar bahwa kapal sitaan di Medan karam karena menabrak sesuatu.
Adapun kapal sitaan dengan nama lambung Tanto Citra "hilang" sejak Senin pekan lalu dari Pelabuhan Biringkassi, Sulawesi Selatan. Kepala Pelaksana Harian Syahbandar Kabupaten Pangkep Agung mengatakan kapal tersebut ditarik tanpa koordinasi dengan mereka. "Saya tak tahu siapa dan akan dibawa ke mana," ujarnya.
Seorang pegawai Pelabuhan Pangkep menuturkan, kapal yang sehari-hari dipakai untuk mengangkut pasir besi itu ditarik dari pelabuhan pada Ahad malam. Pekerja yang tak mau disebutkan namanya ini melihat kapal TNI Angkatan Laut mengiringi Tanto Citra keluar dari pelabuhan.
Kepala Dinas Penerangan Lantamal VI Makassar Kapten Suparman Sulo membenarkan kabar bahwa Tanto Citra punya "masalah" dengan TNI Angkatan Laut. "Ini urusan Lantamal I Medan," katanya melalui pesan pendek.
Berdasarkan penelusuran jaksa, TNI Angkatan Laut mengambil alih keenam kapal sitaan untuk ganti rugi. Ceritanya, salah satu kapal milik Eddy pernah bertabrakan dengan kapal patroli cepat milik TNI, yaitu KRI Matacora-823. Kapal patroli ini pernah diturunkan dalam pencarian puing Malaysia Airlines MH370 pada awal 2014.
Pengalihan kepemilikan keenam kapal dari Eddy ke Angkatan Laut tercatat dalam akta notaris tanggal 8 September 2015. Jaksa Roy dan kawan-kawan telah mengadukan Eddy dan notaris asal Surabaya itu ke polisi dengan tuduhan pemalsuan dokumen.
Kepala Dinas Penerangan Lantamal I Belawan-Medan Mayor Laut Sahala Sinaga membenarkan kabar insiden tenggelamnya KRI Matacora-823. "Kapal rusak berat karena ditabrak pada pertengahan tahun lalu," ujar Sahala. Namun Sahala mengaku tak tahu-menahu soal pengambilalihan dan pemotongan kapal. "Saya perlu koordinasi dulu."
Tito Suprianto, kuasa hukum Eddy, bercerita panjang tentang tubrukan bahtera milik Eddy dengan TNI Angkatan Laut yang berujung pada pengambilalihan kapal milik kliennya itu. Namun dia meminta ceritanya tak dikutip. "Masalah ini menyangkut keamanan negara," kata Tito beralasan.
Syailendra Persada (Jakarta), Edwin Fajerial (Surabaya), Mustofa Bisri (Bangkalan), Badauni A.P. (Pangkep), Salomon Pandia (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo