Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima pria masuk tanpa basa-basi ke kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pada Rabu malam dua pekan lalu. Dalam rekaman kamera pengawas, tamu tak diundang itu terlihat menjelajahi isi gedung di Jalan Diponegoro 74, Jakarta Pusat, tersebut. "Kepada pengurus yang masih di kantor, mereka mengaku dari kepolisian," kata pengurus YLBHI, Jeremiah Limbong, Kamis pekan lalu.
Menurut Jeremiah, rombongan tak berseragam itu mencari-cari kuasa hukum peninjauan kembali Undang-Undang Kepolisian serta Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada pagi harinya, di Mahkamah Konstitusi berlangsung sidang kelima perkara uji materi tersebut.
Awal Juli lalu, koalisi masyarakat sipil—termasuk YLBHI—menggugat 14 pasal dalam Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Lalu Lintas. Mereka mempersoalkan wewenang polisi menerbitkan surat izin mengemudi dan surat tanda nomor kendaraan.
Menurut pemohon uji materi, tugas polisi adalah melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. Nah, wewenang polisi menerbitkan SIM dan STNK mereka anggap berlebihan serta membuat korps baju cokelat itu tak berfokus mengerjakan tugas utamanya.
Di tengah sidang pemeriksaan saksi ahli pemohon, hakim konstitusi Maria Farida Indrati secara mengejutkan membelokkan jalannya persidangan. "Saya tak melihat pada ahli. Tapi ada perbedaan yang sangat besar dalam tanda tangan di berkas permohonan awal dan revisi," ujar Maria seperti tercatat dalam risalah sidang. Sang hakim konstitusi pun melontarkan tuduhan: "Sepertinya hanya ditandatangani satu orang. Sebab, tanda tangan yang ada jauh berbeda."
Ketika memasukkan berkas pertama permohonan uji materi pada 1 Juli lalu, menurut Jeremiah, tidak semua kuasa hukum menandatangani dokumen tersebut. Kemudian panitera meminta pemohon melengkapinya. Pada sidang berikutnya, barulah semua tanda tangan dilengkapi. Memang ada beberapa guratan yang berbeda di antara kedua berkas tersebut. "Tapi kami semua menandatangani sendiri-sendiri," ujar Jeremiah.
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, yang memimpin sidang, menimpali Maria dengan meminta tim kuasa hukum mengklarifikasi tudingan tersebut. Namun, ketika kuasa hukum akan menjawab, Arief buru-buru mencegah dan meminta saksi ahli melanjutkan keterangan lebih dulu. Baru setelah para ahli bersaksi, Arief membuka kembali urusan perbedaan tanda tangan itu.
Arief terang-terangan meminta polisi—yang saat itu juga hadir—mengusut kecurigaan Maria. "Tapi saya minta polisi obyektif karena mereka termohon dalam perkara ini," kata Arief. "Kalau benar dipalsukan, artinya mencoreng nama baik Mahkamah Konstitusi." Bahkan, menurut dia, pemalsuan tanda tangan bukan delik aduan sehingga polisi bisa langsung bergerak.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian RI Brigadir Jenderal Agus Rianto mengatakan polisi mengusut dugaan tanda tangan palsu ini atas perintah hakim konstitusi. Laporannya tergolong tipe B atau dibuat polisi sendiri. "Ini bukan laporan mengada-ada, tapi atas perintah hakim sidang," ujar Agus.
Selasa pekan lalu, enam kuasa hukum pemohon uji materi mendapat surat panggilan dari polisi. Keenamnya adalah Jeremiah Limbong, Lalola Easter, Julius Ibrani, Prasetyo Utomo, Gregorius B. Djarko, dan Daud Bereuh. Dalam surat panggilannya, polisi menyebut mereka melanggar Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan surat.
Seharusnya keenam kuasa hukum itu diperiksa polisi pada Kamis pekan lalu. Namun mereka memilih tak datang karena menilai ada kesalahan administrasi dalam surat panggilan pertama itu. "Kami juga melihat ada konflik kepentingan dalam pengusutan perkara ini," kata Jeremiah.
Syailendra Persada, Larissa Huda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo