LI Peng, perdana menteri Cina, selesai membaca laporan pemerintah, lalu menawarkan voting: apakah laporan itu bisa diterima sidang. Hampir semua anggota yang berjumlah 2.920 orang itu mengangkat tangan tanda akur. Tapi ternyata ada enam orang yang tak setuju dan tiga abstain. Itulah suasana penutupan sidang Kongres Rakyat Nasional (KRN) ketujuh, yang berlangsung dari 23 Maret sampai 13 April lalu. Sekilas, suasana sidang KRN itu biasa saja. Namun, menengok sejarah pemerintahan Cina komunis selama ini, peristiwa Rabu pekan lalu itu merupakan tanda bahwa niat RRC menggelindingkan "liberalisasi" politik dan ekonomi bukan omong kosong. Bila ada glasnost kreasi Gorbachev di Soviet, ada shishi qiushi di Cina yang sering diucapkan oleh Deng Xiaoping. Yang pertama bermakna keterbukaan yang kedua "mencari kebenaran dari fakta". Adapun maknanya, keduanya sama: kritik dan pemisahan antara pejabat partai dan birokrat di kedua negeri totaliter itu mulai bisa diterima. Adanya "oposisi" dan suara abstain dalam KRN itu, misalnya. Juga, Kongres Rakyat tak lagi hanya sebagai "arisan politik", atau "stempel karet", yang tinggal mengesahkan keputusan Partai. Tema KRN ketujuh kini pun mencerminkan itu: "demokrasi, keterbukaan, dan semangat mencari kebenaran dari fakta." Itu semua tentunya bermula dari Kongres Partai Komunis Cina ke-13, November lalu. Disepakati, kala itu, untuk melakukan "liberalisasi" politik dan ekonomi. Kemudian, RUU bisnis pada permulaannya dianggap kontroversial karena memberikan kebebasan kepada para manjer dan administrator untuk menambil keputusan tanpa campur tangan atau tekanan dari kader-kader partai -- disahkan menjadi UU. Dalam KRN kini diterima usul-usul yang memberi keleluasaan kepada pemerintah untuk lebih menggetolkan perusahaan patungan. Di bidang pertanian telah disahkan pula undang-undang yang memberi kebebasan kepada petani untuk menjual-belikan hak atas tanah garapan. Dan yang sangat kuat mencerminkan niat RRC mengadakan "liberalisasi" adalah susunan kabinet baru di bawah PM Li Peng kini. Memang tak banyak muka baru yang muncul. Tapi ada beberapa gejala yang menurut para pengulas punya arti penting. Yakni usia rata-rata anggota kabinet 59 tahun. Kabinet yang lalu rata-rata umur anggotanya 62 tahun. Kemudian, lima dari para menteri itu lulusan universitas alias teknokrat. Dan sebagian besar para menteri kini telah pernah melihat dunia di luar Cina. Gambaran seorang menteri tua yang setia pada Maoisme, turut serta dalam Long March 1935, dan berperan dalam Pembebasan, 1949, telah lewat. Komentar kantor berita resmi Xinhua tentang menteri-menteri RRC sekarang, "Lebih muda, lebih pragmatis, dan lebih antusias menjalankan reformasi." Memang regenerasi belum penuh. Beberapa kedudukan tertentu masih tetap dipegang para tokoh tua. Misalnya saja Jenderal Yang Shangkun, 84 tahun, yang mengambil alih kedudukan presiden dari politikus veteran Li Xiannian. Yang banyak mengundang pertanyaan adalah hubungan antara Partai dan pemerintahan. Ini bersangkut-paut dengan pertalian antara Perdana Menteri Li Peng dan Ketua PKJC Zhao Ziyang, yang tampaknya tak begitu serasi. Hal itu tercermin jelas dalam nada pidato yang berjudul "Laporan Pemerintah" yang diucapkan Li pada hari pertama. Zhao, yang melepaskan kedudukan perdana menteri kepada Li bulan November silam, menginginkan agar laporan itu bernada "optimistis", lebih menekankan kepada prestasi yang dicapai pemerintah pada tahun-tahun lalu. Li sebaliknya mengajak para wakil rakyat untuk lebih memperhatikan aspek-aspek negatif reformasi ekonomi. Ia membuat daftar dampak buruk sebagai akibat transformasi ekonomi yang terlalu cepat seperti inflasi, korupsi di kalangan pejabat, produksi biji-bijian yang menurun terus, dan penanaman modal yang terlalu besar-besaran. Dalam beberapa hal pandangan Li Peng banyak miripnya dengan pendapat Chen Yun, seorang ekonom konservatif yang sekarang sudah mengundurkan diri. Ada beberapa spekulasi tentang didudukkannya Zhao dan Li dalam dua posisi puncak di negara komunis itu. Inilah, konon, taktik Deng untuk tetap berpengaruh, walaupun ia telah setengah pensiun. Dengan mendudukkan dua orang yang bertentangan itu, Deng, kata pendapat ini, bisa berperan terus sebagai wasit. Tampaknya, pendapat tersebut kurang kuat. Seperti diketahui, Deng telah bertekad bahwa ia harus sedikit demi sedikit mundur dari pemerintahan dan politik. Pemimpin yang membuka tirai bambu itu menyadari bahwa tak mungkin ia berkuasa terus-menerus. Yang bisa ditebak, ia agaknya lebih dekat kepada Zhao. Ia pernah berkata, "Kawan Zhao masih memegang peranan utama dalam kebijaksanaan ekonomi." Tapi apa pun analisa para pengamat, tetap Deng-lah yang berperan. Bisa jadi, ia sengaja memasang Li Peng, yang sangat berhati-hati dalam mengambil langkah, untuk mengimbangi Zhao, yang menganjurkan pembaruan dengan cepat. Sebab, dalam soal modernisasi dan reformasi, baik kubu "konservatif" maupun "reformis" bersuara sama. Yang menjadi pertentangan hanyalah soal cepat atau lambatnya pelaksanaan. Yang mungkin belum diperhitungkan Deng (atau sudah tapi belum tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah) adalah kekuatan mahasiswa dan kaum intelektual Cina. Misalnya, sementara KRN ketujuh berjalan lancar, di luar Balairung Agung Rakyat sekumpulan mahasiswa dari Universitas Beijing, Universitas Rakyat, dan Sekolah Tinggi Keguruan telah melakukan aksi protes. Mereka membawa poster dan meneriakkan slogan agar pemerintah lebih memperhatikan dunia pendidikan yang telah lama ditelantarkan. Boleh ditunggu, kebijaksanaan "liberalisasi" dalam dunia pendidikan bila memang Li dan Zhao berniat mewujudkan shishi qiushi dalam semua bidang. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini