PEMILU baru saja usai, Rabu pekan lalu. Rakyat Belanda telah menentukan pilihan mereka: koalisi tengah-kiri. Dipimpin Ruud Lubbers, aliansi Partai Sosial Demokrat dan Partai Liberal berhasil mengantungi mayoritas di parlemen beranggotakan 150 wakil rakyat - sebuah hasil di luar perkiraan semua pihak. Maka, kekallah Lubbers sebagai perdana menteri untuk masa jabatan kedua. Hasil pemilu kali ini mencatat hadirnya John Lilipaly, anggota Partai Sosial Demokrat kelahiran Ihamau, Saparua, Juni 1943. Koran-koran Belanda menganggapnya sebagai "hal yang bersejarah" karena, menurut mereka, untuk pertama kalinya orang kulit berwarna duduk di parlemen. Lilipaly langsung terpilih karena di daerah pemilihan Zeeland ia adalah satu-satunya kandidat. Karena itu, kepada TEMPO, Lilipaly lantas berucap, "Saya bukan wakil (keturunan) Maluku tetapi wakil (distrik) Zeeland." Bersama dengan orangtuanya, anak bungsu dari dua bersaudara ini meninggalkan Indonesia kala masih berusia tujuh tahun. Tidak mengherankan jika Lilipaly mengaku tidak banyak mengetahui lagi negara leluhurnya. Terakhir, ayah tiga anak ini bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai inspektur pendidikan. Karier politiknya dimulai di Partai Progresif. Dua tahun lalu dia hengkang ke Partai Sosial Demokrat. Belakangan, ketika datang tawaran ketiga kalinya untuk menjadi anggota parlemen, Lilipaly mengubah sikapnya. "Saya harus menerima tawaran itu. Untuk mengubah citra kulit berwarna," ujarnya. Komentarnya tentang RMS (Republik Maluku Selatan) yang masih diperjuangkan sebagian warga Maluku di Belanda, "Ini produk tahun 1950-an. Kini waktu sudah berjalan. Saya tak tahu apa maunya masyarakat sekarang. Tapi saya tahu hidup mereka susah. Menurut saya, Maluku Selatan adalah wilayah RI yang terlupakan. Saya harap bisa bertambah baik." Jauh sebelum Lilipaly tiba di negara keju itu, Roestam Effendy telah menjadi anggota parlemen di sana tiga kali berturut-turut. Bekas mertua Artis Rahayu Effendy ini mewakili Partai Komunis Belanda (CPN), yang saat itu dianggap sebagai oposan yang banyak memperjuangkan jajahan Hindia Belanda. Padahal, kehadiran tokoh Pujangga Baru asal Minang di sana sejak tahun 1928 itu sebenarnya untuk belajar. Tahun 1947 Almarhum mengundurkan diri dari dunia politik di sana, "Karena partai itu mendukung perjanjian Linggarjati," katanya kepada Budiman S. Hartoyo dari TEMPO. J.R.L., Laporan Sapta Adiguna (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini