Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tuhan dan orang tsembaga

Ajaran agama akan bersih & terang jika bersua dengan impian manusia yaitu kedamaian di dunia yang rusuh, suatu hidup tanpa permusuhan. orang tsembaga di papua nugini punya cara lebih damai dalam permusuhan.

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SAYA tak pernah bisa mencintai Tuhan dari Perjanjian Lama." Itu kata-kata Rabindranath Tagore kepada Romain Rolland di Jenewa, tahun 1930. Mereka tengah berbicara tentang Jenewa dan harapan perdamaian, dan "Tuhan dari Perjanjian Lama" agaknya tak mendekati imajinasi Tagore tentang Yang Mahamulia yang dinyanyikannya dengan menggetarkan dalam Gintanjali: "Kau telah memberiku bangku di rumah-rumah yang bukan rumahku. Kau telah membuat yang jauh jadi dekat dan seorang asing jadi saudaraku." Bagi Tagore, "Tuhan dari Perjanjian Lama" adalah Yahwe yang "cemburu", "pejuang" yang mengajarkan perang, Tuhan yang mengguntur dan mengancam. Sekali kau masuk ke dalam sebuah negeri yang akan kau duduki - demikian pesan Yahwe kepada bangsa Israil dalam Ulangtutur - "maka haruslah engkau sungguh-sungguh menjatuhkan kutuk pembasmian atas mereka." Tak jelas, itukah sebabnya bangsa Israil yang lahir kemudian mempunyai seorang rabbi penuh api seperti Rabbi Kahane. Kahane memang berseru, dengan pengikut yang berduyun seperti semut merah, untuk menumpas orang-orang Palestina dari wilayah Tepi Timur yang diduduki Israel. Namun, suara galak di dunia ini tak cuma berpusar di sana. Di negeri yang dicintai Tagore sendiri, India, bahkan seorang yang luhur budi seperti Gandhi ditembak. Sebuah bangsa, sebuah kaum, tampaknya tak selalu bisa dinilai hanya dari apa yang diajarkan oleh penyair dan nabi-nabinya, oleh Kitab Suci dan para penatar P-4-nya. Salah satu cerita yang sangat saya sukai sejak kecil dalam riwayat Nabi Muhammad ialah ketika beliau melepaskan begitu saja seorang yang hampir saja membunuhnya, yang pedangnya terlepas, ketika Nabi berkata bahwa - dalam kesendirian di depan ancaman itu - yang melindunginya hanya Allah. Salah satu cerita dalam Kitab Usfriah yang menyenangkan ialah tentang Umar r.a. yang melepaskan burung dari sarang. Ajaran agama memang bisa tampak terang dan bersih ketika ia bersua dengan apa yang sebenarnya dimimpikan manusia: semacam kedamaian di dunia yang rusuh, sebuah hidup tanpa permusuhan. Dan itu adalah kedamaian dalam compassion, "rahman dan rahim". Khususnya, kepada sesama, bukan karena sesama itu menyenangkan, atau indah, atau diperlukan, melainkan karena sesama itu sebuah isyarat Tuhan di bumi: burung yang dibeli Umar dan dilepaskannya ke angkasa itu mengandung sebekas Sentuhan Yang Mulia, dan karena itulah ia punya martabatnya sendiri. Tapi Anda tahu bahwa kita juga menyaksikan orang membunuh dan perang berkepanjangan. Di perbatasan Iran dan Irak kini yang dipajang tinggi adalah dendam dan hasrat penaklukan. Di Sri Lanka kini - di tengah permusuhan orang Tamil dan Sinhala - yang berlangsung ialah sesuatu yang justru dikhawatirkan Sang Budha: "Tak pernah di dunia ini benci berhenti oleh benci benci berhenti oleh cinta." Yang menarik ialah bahwa di sebuah masyarakat yang tak pernah mendengar petuah agung dan penataran, di pedalaman Papua Nugini, orang menemukan cara yang lebih damai dalam bermusuhan. Inilah cara suku Tsembaga. Di suku ini, perang biasanya terjadi karena sebuah pembunuhan. Klen pihak si korban tentu saja bersumpah untuk membalas dendam, tapi ada aturan tertentu, ada protokol yang ketat, untuk itu. Sebuah tantangan harus dikirimkan. Sebuah tempat pertempuran ditentukan. Tapi perang tak boleh segera dimulai. Beberapa hari lamanya waktu dihabiskan untuk mengunjungi medan itu dan membersihkannya dengan harapan emosi pun mulai mendingin. Dan bila pertempuran siap, orang cuma boleh membawa lembing dan panah yang tanpa bulu. Masing-masing tak boleh segera menggempur: mereka hanya berteriak-teriak mengancam. Kalau ini tak kunjung memuaskan, dan perundingan gagal lagi, perkelahian yang benar-benar baru berlangsung. Senjata yang dipakai diganti dengan kampak. Tapi sebelum kedua pasukan maju, harus dilakukan upacara korban dua ekor babi - yang tentu saja mahal. Dalam upacara ini para prajurit memakan daging yang sangat diasinkan, dan tak boleh minum: dengan akibat semangat tempur menurun. Dan bila perang tetap tak bisa diurungkan, dukun kedua pihak pun menulis daftar pendek tentang siapa saja yang boleh dibunuh. Penyimpangan dari daftar ini akan bikin marah para roh halus. Sementara itu, tiap kali ada seorang yang gugur, gencatan senjata dinyatakan. Sebelum perang dimulai lagi, korban dua ekor babi harus diulangi. Maka, perang pun, dengan manajemen rasa dendam yang seperti itu, tak akan jadi pilihan yang sering - hanya karena kesadaran akan batas, sesuatu yang tak ada pada orang-orang dengan bedil modern dan dengan perasaan yakin tentang keadilan diri sendiri. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus