Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YERUSALEM - Fadi al-Wahash hanya bisa pasrah saat memandangi buldoser milik militer Israel menghancurkan sekitar 100 rumah warga Palestina di dekat tembok pemisah di Yerusalem Timur, kemarin. Salah satu rumah yang dihancurkan di Desa Sur Baher, Wadi al-Hummus, Tepi Barat, wilayah pendudukan Palestina, adalah milik pria berusia 37 tahun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya membangun rumah ini dari batu satu per satu. Saya telah bermimpi untuk tinggal di rumah ini. Sekarang saya kehilangan segalanya," kata dia kepada Reuters dengan suara tersendat. "Saya memiliki izin untuk membangun dari Otoritas Palestina. Saya pikir saya sudah melakukan hal yang benar."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buldoser dan ratusan tentara mulai menghancurkan bangunan di Sur Baher setelah memaksa penduduk keluar pada pukul 02.00, waktu setempat. Ketika fajar menyingsing, para pekerja sudah menghancurkan beberapa rumah, sementara ratusan tentara dan polisi Israel menyisir bangunan-bangunan lain di daerah itu.
Menteri Keamanan Dalam Negeri Israel, Gilad Erdan, mengatakan ada 700 polisi dan 200 tentara yang dikerahkan. "Meskipun ada perintah dari komandan militer, penduduk di sana membuat undang-undang sendiri dan membangun ratusan bangunan ilegal," ujar dia.
Aksi pasukan Zionis itu difilmkan dan difoto oleh para aktivis Palestina, Israel, dan komunitas internasional. Para aktivis telah dimobilisasi untuk mencoba menghentikan pembongkaran rumah-rumah tersebut. "Mereka telah mengevakuasi warga dari rumah mereka dengan paksa dan mulai menanam bahan peledak di rumah yang akan dihancurkan," tutur Hamada Hamada, pemimpin komunitas setempat.
Penghancuran rumah-rumah di dekat tembok pemisah Israel itu tetap dilakukan meski menuai protes dari Palestina dan komunitas internasional. Militer Israel menganggap rumah-rumah di dekat tembok pemisah yang menyilang di Tepi Barat itu berisiko terhadap keamanan negara Yahudi tersebut.
Pada awal 2000-an, Israel mendirikan penghalang di antara beberapa bagian Israel dan Palestina di Yerusalem, sebuah langkah yang menurut pemerintah Israel efektif menurunkan serangan bunuh diri. Namun Palestina dan komunitas internasional menyebutnya sebagai "tembok apartheid".
Pembongkaran ini adalah putaran terakhir dari perselisihan berlarut-larut tentang masa depan Yerusalem-rumah bagi lebih dari 500 ribu warga Israel dan 300 ribu warga Palestina, juga situs-situs yang disakralkan oleh agama Yahudi, Islam, dan Kristen. Langkah ini juga menjadi penggusuran terbesar di Yerusalem sejak 1967.
Mahkamah Agung Israel pada bulan lalu memutuskan mendukung militer untuk menggusur sekitar 100 rumah warga Palestina dengan tenggat paling lambat kemarin. Warga Palestina mengatakan penggusuran ini akan menetapkan preseden bagi kota-kota lain di sepanjang rute tembok pemisah, yang membentang sejauh 720 kilometer di sekitar dan melalui Tepi Barat yang diduduki Israel.
"Para pembuat petisi membawa hukum ke tangan mereka sendiri ketika mereka mulai dan melanjutkan membangun bangunan tanpa menerima izin khusus dari komandan militer," kata dia.
Pengadilan mengatakan konstruksi yang dekat dengan tembok pemisah dapat memberikan perlindungan bagi penyerang dari Palestina.
Palestina menuduh Israel menggunakan risiko keamanan sebagai alasan untuk memaksa warga Palestina keluar dari wilayah itu. Tindakan tersebut dinilai sebagai bagian dari upaya jangka panjang untuk memperluas permukiman rezim Zionis. Berdasarkan hukum internasional, semua permukiman Yahudi yang dibangun di tanah Palestina adalah ilegal.
Menurut Perjanjian Oslo 1993, sebagian besar bangunan di wilayah Wadi al-Hummus, yang terletak di Desa Sur Baher, berada di bawah kendali Otoritas Palestina. Sur Baher, sebuah desa Palestina di tepi Yerusalem Timur, diduduki Israel setelah perang 1967.
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengancam akan mengadukan masalah ini ke Pengadilan Kriminal Internasional. "Ini adalah kelanjutan dari pemindahan paksa penduduk Yerusalem dari rumah dan tanah mereka, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Shtayyeh. REUTERS | AL JAZEERA | DEUTSCHE WELLE | SITA PLANASARI AQUADINI
Tembok Ilegal Berusia 15 Tahun
Di wilayah pendudukan Tepi Barat, tembok pemisah yang panjang dan kokoh menembus lanskap, memotong komunitas Palestina, dan ladang pertanian.
Tembok yang mulai dibangun oleh Israel pada 2002 di puncak intifada kedua itu digambarkan oleh para pejabat Israel sebagai tindakan pencegahan keamanan yang diperlukan untuk melawan terorisme. Adapun Palestina mengecam tembok itu sebagai mekanisme Israel untuk mencaplok wilayah negara tersebut karena dibangun jauh di dalam Tepi Barat dan bukan di sepanjang Garis Hijau 1967.
Selasa pekan lalu menandai peringatan 15 tahun sejak Mahkamah Internasional (ICJ), badan peradilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengeluarkan keputusan yang menyatakan tembok pemisah Israel ini ilegal.
Meski keputusan itu tidak mengikat, ICJ menegaskan tembok itu melanggar hukum internasional dan menyerukan agar tembok itu dibongkar. Mahkamah juga memutuskan Israel harus membayar ganti rugi atas kerusakan yang disebabkan.
Sebulan setelah keputusan ICJ ditetapkan, Majelis Umum PBB membuat resolusi yang menuntut Israel mematuhi badan hukum tertinggi PBB.
Namun Isam Abdeen, pengacara untuk kelompok hak-hak Palestina Al Haq, mengatakan hanya sedikit tindakan telah terwujud di lapangan sejak saat itu. "Masih kurang ada kemauan untuk mengimplementasikan resolusi internasional," kata dia kepada Al Jazeera dari Kota Ramallah.
"Masalahnya bukan pada keputusan ICJ, hukum internasional, atau resolusi Majelis Umum, melainkan budaya impunitas berkelanjutan yang membebaskan Israel, kekuatan pendudukan, dari hukuman," ujar Abdeen.
Lima belas tahun kemudian, tembok itu terus menembus komunitas Palestina, mengambil alih sumber daya alam di Tepi Barat yang diduduki, dan telah mencaplok tanah Palestina, termasuk daerah-daerah tempat permukiman Israel dibangun. AL JAZEERA | SITA PLANASARI AQUADINI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo