PENJAJA sayuran bermunculan kembali di jalan-jalan, suatu tanda
bahwa kota Kwangju kembali tenang. Tapi penduduk rupanya masih
enggan untuk keluar rumah. Sementara itu kendaraan militer terus
berseliweran hampir di setiap bagian kota, dan mencari mereka
yang dicurigai terlibat dalam aksi penyerbuan ke gedung-gedung
pemerintah.
Kwangju selama seminggu dikuasai 'kaum pemberontak'. Tidak bisa
dengan berunding, operasi militer akhirnya dilaksanakan untuk
menguasai kota itu kembali pekan lalu.
Tapi di Mokpo, kota pelabuhan 60 km dari Kwangju, demonstrasi
masih ada. Sekitar 20 ribu orang turun ke jalan meneriakkan
slogan anti-pemerintah. Demonstrasi itu berlangsung tanpa
kekerasan, meskipun militer berada di sana.
Setelah operasi keamanan di Kwangju, militer Korea Selatan
rupanya lebih memperkokoh kekuasaannya dalam pemerintahan.
Umpamanya, Presiden Choi Kyu-hah akhir pekan lalu mengumumkan
Komite Khusus Bagi Tindakan Keamanan Nasional terbentuk.
Beranggotakan 14 jenderal aktif. 3 jenderal pensiun dan 8
pejabat sipil, komite itu bertugas mengkoordinasikan semua
tugas Komando Keadaan Darurat Perang dan Kabinet.
Jenderal Chun Doo-hwan, 48 tahun, yang selama aksi mahasiswa di
seluruh negeri itu merupakan sasaran tuntutan supaya dipecat,
malah tambah berkuasa. Ia adalah panglima Keamanan Pertahanan
yang merangkap direktur KCIA (Pusat Intelijen Korea Selatan).
Presiden Choi menunjuk Chun untuk memimpin Komite Tetap, yang
terdiri dari 30 anggota, yang melaksanakan keputusan Komite
Khusus tadi.
Awal pekan ini. Chun mengajukan permohonan pengunduran diri dari
jabatannya di KCIA. Mungkin ia brmaksud memberi kesan seolah
memenuhi sebagian tuntutan mahasiswa. Namun sebelumnya ia telah
mengangkat lebih dari 20 orang staf -- yang dikenal sebagai
'orangnya' -- dalam posisi penting KCIA.
Dengan penunjukkan Chun sebagai ketua IKomite Tetap itu, timbul
semacaul kekhawatiran di kalangan kaum posisi dan mahasiswa
bahwa kekuasaan sipil akan semakin berkurang. Mereka juga
khawatir, militer akan menunda jadwal pemilihan umum yang semula
direncanakan pertengahan tahun depan. Proses liberalisasi
politik -- sebagaimana yang selama ini dijanjikan Presiden Choi
-- tampaknya akan semakin jauh. Apalagi dengan berlakunya
'keadaan darurat perang', semua kegiatan politik, termasuk
sidang Majelis Nasional, dinyatakan terlarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini