ADAPUN lambang pemersatu di kalangan Protestan adalah Dewan
Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), yang 25 Mei kemarin merayakan
HUT-nya ke-30. Di gedung Graha Purna Yudha, Jakarta, di hadapan
hadirin yang memenuhi sekitar separuh tempat duduk, salah
seorang ketua DGI Dr. P.D. Latuihamallo menyampaikan pesan agar
seluruh jemaat merasa terpanggil menjadi "senjata-senjata
kebenaran dan keadilan".
Tema keadilan, seperti juga hak asasi, tentulah bukan
satu-satunya yang perlu ditekankan, meskipun masalah sehubungan
dengan itu sering disinggung beberapa tahun terakhir ini. Dalam
pesan HUT itu juga diingatkan tugas pemberitaan injil dengan
bijaksana. Juga perlunya penuangan kesadaran 'keesaan' dalam
kegiatan yang nyata.
Dan kesadaran keesaan Gerejalah memang yang merupakan tema pokok
DGI. Ada masanya ketika gerak oikoumene itu dipahami sebagai
cita-cita ketunggalan eklesiastik alias konfesi. Misalnya di
tahun-tahun 50-an, segera sesudah organisasi ini berdiri dengan
hanya 18 Gereja. Tetapi Protestantisme adalah Gereja-Gereja yang
lahir dari induk sendiri-sendiri (di Eropa Barat dan kemudian
Amerika) yang tak saling kenal. Keesaan eklesiastik menjadi
terasa muluk.
Karena itu orang kemudian lebih banyak memikirkan rasa
kebersamaan dalam tindakan. Pada dasawarsa 60-an misalnya Gereja
anggota yang sudah menjadi semakin banyak itu menyadari perlunya
pembenahan bersama dalam hal kesaksian alias pengabaran injil.
Seentara pada dasawarsa terakhir, masalah pelayanan
kemasyarakatan mendapat tekanan lebih besar. Ada misalnya yang
disebut 'motivator pembangunan'. Mereka ini dicetak untuk
disebarkan ke berbagai desa, khususnya ke lingkungan jemaat yang
bukan dari Gereja yang sama. Dengan begitu mereka bahkan lebih
efektif sebagai 'agen keesaan'. Dan masalah pelayanan itu pula,
dalam berbagai bentuknya, yang direncanakan mendapat porsi besar
dalam Sidang Raya (diadakan 4 tahun sekali) ke-9 di Tomohon,
Sul-Ut.
Pindah Gereja
Tentu, keesaan eklesiastik bukan pula hal yang tak boleh
dibayangkan. Dr. Soritua Nababan, sekjen-DGI, menunjukkan kepada
TEMPO bahwa dengan berkembangnya cita-cita oiko llmene tersebu,
perpindahan seorang Kristen misalnya dari satu Gereja ke Gereja
lain yang berbeda konfesi menjadi mudah. Lain dari itu juga ada
kebaktian oikoumenis, yang menerima jemaat tanpa pandang aliran.
Dan jangan dilupakan dilakukannya konsultasi teologi antar
Gereja.
Disayangkan oleh Nababan, konsultasi tersebut sudah sekian lama
terhenti- "karena tantangan pembangunan yang lain". Lebih dari
itu tidak pula bisa dikatakan, bahwa pikiran-pikiran oikoumenis
yang maju dengan cepat terserap di bawah. Di lapisan ini masih
cukup besar pertentangan atau persainan antar Gereja -- antara
lain sejalan dengan masalah kultur maupun suku, yang di
sana-sini terjalin dalam tata ibadat. Bahkan banyak dari mereka
yang belum tahu jelas apa sebenarnya DGI.
Dan memang, organisasi ini hanya mencakup sebagian Gereja yang
ada: 50 Gereja-anggota sekarang, dari sekitar 270 Gereja di
tanah air, dengan perkiraan umat 71 juta. Tapi, dalam usianya
yang 30 tahun, DGI memang satu-satunya gabungan yang sudah
merebut wibawa. Dan tentunya salah satu kawan bicara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini