Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cina Pasang Rudal di Laut Cina Selatan

Berdasarkan laporan intelijen Amerika Serikat, militer Cina memasang misil antikapal dan antipesawat di kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan.

3 Mei 2018 | 20.05 WIB

Foto satelit yang dirilis Asian Maritime Transparency Initiative, pada 23 Februari 2016, memperlihatkan Tiongkok kemungkinan sedang membangun instalasi radar di pulau-pulau di kepulauan Spartly di Laut Cina Selatan. Kepulauan Spratly menjadi sengketa antara Tiongkok, Filipina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Brunai.  REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Perbesar
Foto satelit yang dirilis Asian Maritime Transparency Initiative, pada 23 Februari 2016, memperlihatkan Tiongkok kemungkinan sedang membangun instalasi radar di pulau-pulau di kepulauan Spartly di Laut Cina Selatan. Kepulauan Spratly menjadi sengketa antara Tiongkok, Filipina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Brunai. REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Cina memasang rudal jelajah penghancur kapal dan sistem antipesawat di tiga pos militer Laut Cina Selatan. Dilansir Reuters, Kamis 3 Mei 2018, berdasarkan laporan intelijen Amerika Serikat, instalasi ini menjadi rudal Cina pertama di Kepulauan Spratly yang menjadi sengketa sejumlah negara.

Cina tidak memberikan pernyataan terkait pemasangan rudal, namun militer Cina memang sudah lama memberikan perhatian khusus di wilayah Laut Cina Selatan.

Parade angkatan laut Cina di Laut Cina Selatan terlihat dari satelit pencitraan, 28 Maret 2018. CNN - Planet Labs


Klaim terhadap Laut Cina Selatan sangat penting bagi sejumlah negara yang bersengkata mengingat kawasan ini menjadi rute perdagangan dunia yang penting.

Adapun jenis rudal yang dipasang adalah YJ-12B yang memiliki kemampuan menghancurkan kapal dengan jarak 295 mil, dan rudal antipesawat HQ-9B yang mampu mencegat drone, pesawat, dan rudal dari jarak 160 mil.

Baca: Cina Bangun Pangkalan Kapal Selam di Laut Cina Selatan

 
"Cina mungkin bisa membangun pangkalan dan memperluas pengaruh militer di Pasifik dan tinggal membutuhkan pasukan untuk mengisi pangkalannya," ujar laksamana Philip Davidson, Kepala Komando Asia Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat.

Instalasi ini menjadi isyarat yang bisa memperburuk konflik antarnegara di Laut China Selatan, yang melibatkan Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan.

Baca: Cina Latihan Siaga Perang di Laut Cina Selatan

 

Terumbu karang Subi Reef diduga sebagai pangkalan milik Tiongkok paling utara di Kepulauan Spratly, hanya berjarak 25 km dari wilayah berpenduduk di Filipina. REUTERS/Asia Maritime Transparency Initiative

Beberapa saat sebelum kabar intelijen ini beredar, Filipina membeli kapal dengan sistem rudal pertamanya sebagai bagian dari program modernisasi alutsista. Rudal Spike ER produksi Israel dipasang di kapal patroli multiguna dengan jarak efektif 5 mil, seperti dikutip dari channelnewsasia, Kamis 3 Mei 2018.

Komandan senior angkatan laut Filipina mengatakan kapal ini untuk patroli di kawasan Laut Cina Selatan dan mencegat gangguan bajak laut di perairan selatan.

Filipina mengalokasikan anggaran 2,41 miliar dolar AS untuk mengembangkan persenjataan kapal tempur, pesawat tempur, helikopter, pesawat pengintai, drone dan sistem radar untuk lima tahun ke depan.

Baca: Cina Bangun Pangkalan Kapal Selam di Laut Cina Selatan

Presiden Cina, Xi Jiping, menginspeksi latihan perang Angkatan Laut PLA di Laut Cina Selatan, Kamis, 12 April 2018. CNN -- Xinhua

Berbagai langkah militer ini bisa memicu ketegangan konflik Laut Cina Selatan. Pada KTT ASEAN ke-32 di Singapura pada 28 April lalu, menteri luar negeri ASEAN sepakat untuk menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan.

"Kesulitannya adalah apakah kesepakatan mengikat atau tidak, sekali kita memiliki dokumen yang mengatur soal batas wilayah yang disepakati dan bagaimana kesepakatan itu diterapkan," ujar perdana menteri Singapura, Lee Hsien Loong, seperti dikutip dari channelnewsasia.

Lee menegaskan sengketa di Laut Cina Selatan memang sesuatu yang sulit dan membutuhkan waktu, namun dengan perjanjian hitam di atas putih, setidaknya ada kemajuan dalam usaha penyelesaian sengketa. Selain itu, ASEAN mesti mengikutsertakan pihak eksternal untuk mempercepat penyelesaian konflik Laut Cina Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus