DI mana ada uang, korupsi pun datang. Salah satu yang menikmati kebijaksanaan reformasi Deng Xiaoping adalah industri militer Cina. Tak mengherankan, begitu pabrik mulai beruang, para pegawainya yang kebanyakan tentara pun terlibat korupsi, demikian kabar dua pekan lalu. Berkembangnya industri militer Cina tampaknya tepat waktunya. Yakni ketika dunia ketiga, mulai dari Asia, Afrika sampai Amerika Latin, membutuhkan senjata untuk berbagai alasan. Omzet terbesar datang dari perang Iran-Irak (1980-1988), karena Cina tanpa peduli moral dan politik menyuplai senjata kepada kedua pihak. Lebih dari US$ 8 triliun diraup Cina dari medan perang ini. Larisnya peluru kendali Ulat Sutera, jet tempur, dan kapal perang Cina agaknya menyusul kelarisan mesin jahit, traktor, dan generator buatan Cina. AS dan Uni Soviet (ketika masih ada) mengejek mutu teknologi hasil industri militer Cina ketinggalan 15-20 tahun. Mungkin justru karena itu cocok untuk negara Dunia Ketiga: mengoperasikannya mudah. Selain, harganya lebih miring daripada produk negara maju. Serempetan reformasi Deng ke industri senjata pertama kali melucuti ''seragam militer'' sejumlah pabrik menjadi pabrik sipil. Tak jelas berapa banyak pabrik yang disipilkan itu. Dari sekitar 400 pabrik senjata di Cina, hanya 160 yang benar-benar direncanakan sebagai pabrik senjata. Bisa jadi di luar yang 160 itulah yang disipilkan: memproduksi truk, sepeda, dan barang barang lain. Mungkin, karena peralatan dan keterampilan buruhnya dikhususkan untuk industri militer, beberapa pabrik yang disipilkan malah tekor. Akhirnya diputuskan untuk dikenakan seragam militer kembali. Dari 160 pabrik senjata yang berjalan baik, tujuh di antaranya terbesar, dikoordinasikan oleh Kantor Industri Pertahanan Nasional, Komisi Iltek Pertahanan Nasional, dan Kantor Iltek dan Persenjataan. Koordinasi pusatnya adalah Komisi Militer Partai Komunis Cina. Awal dari industri senjata Cina adalah penjiplakan. Tepatnya, menjiplak teknologi dari Soviet atau negara Barat, dengan cara membeli senjata yang dimaui, lalu dibedah dan dianalisa, baru kemudian ditiru. Pada tahun 1978, dimulai lebih dari sekadar menjiplak: memagangkan ribuan teknisi militer di beberapa pabrik senjata Eropa Barat: Perancis, Inggris, Jerman Barat, Swiss, dan Denmark. Cina juga menjalin kerja sama gelap dengan Israel untuk mengembangkan tank dan teknologi peluru kendali. Itulah awal industri senjata mulai menanjak dan bermutu. Dihasilkanlah produk yang layak jual: tank berbagai jenis, truk lapis baja, sampai jet tempur Shenyang F-7 dan F-12 yang mirip MiG-21 dan MiG-23 Soviet. Di laut, Cina membangun enam kapal perusak sampai kapal selam konvensional dan yang bertenaga nuklir. Kini tujuh industri besar militer menghasilkan devisi rata- rata US$ 2 triliun setahun. Biasanya penjualan tak langsung dari pabrik ke langganan. Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) diberi hak terbesar melakukan penjualan, dengan alasan uang itu diperlukan untuk mengembangkan militer Cina sendiri. Maka Tentara di awal tahun 1980-an membentuk perusahaan sendiri. Akibatnya ternyata positif. Terjadi persaingan antara pabrik senjata yang dikuasai oleh TPR dan yang dibawahkan kementerian lain. Tentu, pabrik TPR menang. Pelayanannya lebih baik karena bisa membantu pemasangan dan latihan pengoperasiannya. Dua tahun belakangan ini, setelah tragedi Tiananmen yang menempatkan Cina dalam sorotan dunia internasional, omzet penjualan senjata menurun. Cina terpaksa menjadi anggota Non-Proliferation Treaty dan Missile Technology Control Regime, hingga tak bisa leluasa memproduksi, apalagi mengembangkan, persenjataan nuklir. Mestinya bukan karena omzet ekspor senjata menurun bila kini Cina aktif memodernisasi persenjataan Tentara Pembebasan Rakyatnya. Suatu upaya yang dinilai oleh tetangga-tetangganya, Jepang dan Korea misalnya, sebagai hal yang perlu diwaspadai. Dengan personel berjumlah lebih dari 3 juta tentara Deng, dua tahun lalu merencanakan mengurangi jumlah itu hanya menjadi satu juta Cina termasuk memiliki pasukan besar. Apalagi bila pasukan itu memiliki persenjataan modern. Dan cara Cina mempersenjatai pasukannya tidak dengan membeli produk negara lain. Tentara Pembebasan Rayat memilih cara yang murah dan bermanfaat ganda: melakukan tawar-menawar untuk membeli teknologinya saja dari pabrik-pabrik senjata di Barat. Maka, bukan saja kemudian tentaranya terpenuhi kebutuhannya, tapi juga Cina bisa menjual kelebihannya ke negara lain, sekalian mengurangi ongkos gudang, katanya. Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini