Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari Cina, Dengan Kecewa

Sejarawan washington university, stanley spector, memberikan ceramah di Jakarta tentang RRT. Sangat kecewa, keadaan di RRT tidak sesuai dengan pemberitaan, diberbagai bidang terjadi kemunduran.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINGGU lalu sejumlah ahli terkenal dari AS mengadakan ceramah-ceramah di Jakarta. Umumnya mengenai RRT, dalam hubungannya dengan situasi internasional di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Mereka adalah Lucian Pye, Robert Scalapino, Stanley Spector dan Ezra Vogel. Tapi yang agaknya paling menarik ialah pembicaraan Prof. Stanley Spector, sejarawan dari Washington University, dalam suatu pertemuan khusus dengan sejumlah wartawan Jakarta Kamis 24 Juni yang lalu. Mahaguru yang pandai berbahasa Mandarin dan beristerikan wanita keturunan Cina dari Shanghai ini baru pulang dari kunjungan ke RRT, selama 6 minggu bulan April dan Mei yang lalu. Itulah kunjungannya yang kedua, setelah kunjungan pertama tahun 1973. Sebagai seorang yang aktif dalam lobbying di PBB unuk memasukkan RRT ke organisasi bangsa-bangsa itu sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu, mengejutkan bahwa Spector pulang dengan banyak kecewa tentang RRT. Agaknya ia jadi orang Barat pertama setelah kunjungan Presiden Nixon yang pulang dari Cina tanpa sejumlah kekaguman dan pujian. Dalam kunjungannya yang pertama ia memang - sesuai dengan permintaan pejabat RRT -- menuliskan sedikit kritik tertutup tentang keadaan Cina. Tapi kunjungannya yang kedua (dan mungkin terakhir) itu memberinya kesempatan buat memasang kuping lebih tajam. Ia dan isterinya memang ditemani seorang pandu dan penterjemah, tapi "pengawasan" terhadap mereka tak bisa dilakukan terus-menerus rupanya, hingga banyak hal yang bisa didapatkannya sendiri. Di bawah ini adalah kisahnya, sebagaimana dilaporkan oleh A. Dahana dan Fikri Jufri dari TEMPO: Uraian Prof. Spector sungguh mengingatkan orang akan buku The God That Failed, kumpulan karangan sejumlah orang kiri yang kecewa dan mengkritik Uni Soviet semasa Stalin. Dikenal sebagai mahaguru yang bersimpati kepada RRT, kunjungan kedua Spector bersama isterinya ke RRT itu telah menghasilkan kesan yang lain. "Saya sungguh tak bisa tidur selama beberapa minggu", katanya dua pekan lalu. "Untuk memutuskan apakah yang saya lihat di sana harus saya ungkapkan keluar". Akhirnya dia berhasil mengatasi 'pergolakan batin' yang dialaminya. Ceritanya berdasar pengalaman selama 6 minggu sebatamu resmi pemerintah di sana sangat diwarnai oleh kekecewaan. Menurut Spector,"adalah keliru beranggapan bahwa semua orang punya kerja dan cukup makan di RRT. Banyak orang -- terutama anak mudanya - menganggur. Mereka tampak suka bergerombol di pinggir dan sudut jalan, ngobrol atau main kartu. Mereka umumnya terdiri dari kaum remaja yang tak tahan bekerja di pedalaman dan lari pulang. Mereka memang tak ditangkap. Tapi karena dianggap melakukan ,'desersi', maka 'orang-orang gelap' (hei-jan) ini-begitu sebutan bagi mereka, tak lagi memperoleh hak apapun: mereka tak diberi kerja, dicabut kartu ransumnya dan benar-benar jadi penganggur. Golongan penganggur yang umumnya terdiri dari anak muda itu tak merupakan bahaya sosial mungkin segera merupakan problim serius". Spector juga mengunjungi beberapa kota dan pabrik. Tapi apa yang dilihatnya itu sungguh terbalik dari kesan-kesan para ahli Cina yang berhasil diundang ke sana. "Tempat-tempat yang saya kunjungi itu umumnya kotor tak terpelihara, mesin-mesin pabrik banyak yang dibiarkan karatan". Penduduk di desa-desa tampak hidup serba kurang dengan pakaian yang serba tambalan", kata Spector pula meskipun ia mengakui keadaan jalan dan transpor di beberapa tempat bertambah baik. Tapi yang agaknya menarik adalan ketika dia diajak mengunjungi sebuah proyek pemboran minyak. Dari seorang ahli dari Texas yang pernah ditempatkan dalam 'pemboran' itu dan ditemuinya di RRT Spector diberitahu bahwa sesungguhnya tak ada minyak di sini. "Ini hanya sebuah contoh dari percobaan pemboran minyak", bisik ahli dari Teas itu: "Buktinya tak ada lumpur di sekitarnya". Spector juga bercerita bahwa setiap orang kota itu diawasi tindak tanduknya oleh 'komite-komite jalan'. Adalah tugas komite-komite itu untuk menerima laporan tentang kegiatan penduduk, kedatangan tamu, terutama tamu asing. Dan komite yang di sini kira-kira sama dengan RW/RT itu juga bertugas mengindoktrinasi penduduk untuk memberikan jawaban yang seragam kepada setiap tamu asing. Jawaban seragam dan berbau klise yang dialami Spector ketika bertemu dengan para kader, pimpinan pemerintahan ataupun partai di sana membuat dia percaya akan sesuatu hal yang mulanya dianggap mustahil: yakni mengontrol sebanyak 800 juta manusia. "Ini ternyata bisa terjadi di RRT", katanya. Setiap orang asing yang datang ke Cina akan sangat merasa bahwa ia orang asing yang mempunyai latar belakang yang lain dari Cina. Di setiap tempat umum, ia selalu dipisahkan dengan orang biasa. Di setiap kunjungan akan selalu diumumkan bahwa ia adalah sahabat rakyat Cina, dan semua orang akan bertepuk tangan. Pergi ke mana-mana selalu disertai seorang pejabat. Sekalipun dia -- apalagi Betty isterinya yang asal Shanghai fasih bicara Cina -- beberapa kali berhasil meloloskan diri dari pengawasan. Pada waktu kembali dari "membolos' itu, ia selalu ditanya pergi ke jalan apa, bertemu dengan siapa, apa yang dipercakapkan dan lain-lain pertanyaan yang menjengkelkan. Di atas sana, di Peking, Mao hampir meninggal. Tidak ada harapan lagi bahwa ia akan aktif kemba,li. Terasa sekali adanya kekosongan kepemimpinan. Pejabat PM Hua Kuo-feng belum dan tidak akan dikokohkan pada kedudukannya. Spector tidak melihat adanya tokoh yang berwibawa sekaliber Mao. Dewasa ini pemimpin negara, partai dan setiap pengambilan keputusan yang penting dilakukan secara kolektif. Chiang Ching (Ny. Mao) dengan aliran radikalnya, kelihatannya punya ambisi besar untuk menggantikan Mao. Ia mengindentifikasikan dirinya dengan Wu Tse-tien, seorang maharani yang hidup di abad 7 Masehi, pada masa Dinasti T'ang (618-907). Maharani Wu tidak mau mengaku dirinya sebagai wanita, dan selalu menyebut dirinya sebagai Kaisar. Ia sangat penuh ambisi, kejam dan hidupnya penuh dengan skandal. Pernah main serong dengan seorang pendeta Buddha. Tapi ia sangat cakap dalam menjalankan dan mengatur administrasi pemerintahan serta menunjuk pembantu-pembantu yang pandai. Para sejarawan tradisionil Cina selalu memandang rendah dan buruk terhadap Wu Tse-t'ien. Spector pernah berkunjung ke sebuah musium yang kabarnya dilindungi oleh Chiang Ching. Ia melihat lukisan Maharani Wu tergantung di suatu tempat yang menyolok. Menurut Spector, Chiang Ching tidak akan bisa mencapai ambisinya untuk menggantikan Mao. Rata-rata rakyat Cina tidak menyukai dia. Khawatir Keadaan di dalam Partai Komunis Cina sendiri dewasa ini penuh dengan ketidak tenteraman. Semua anggota partai terutama kader-kader terkemuka sedang dalam kekhawatiran. Ini terjadi gara-gara "sabda" Mao terakhir, yang antara lain mengatakan bahwa "musuh-musuh ada di dalam partai sendiri". Rakyat biasa tidak mau bicara soal politik dan sekarang tak tertarik untuk masuk anggota partai. Risikonya terlalu besar, walau punya hak-hak yang agak lebih dari pada seorang biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus