MALAM itu, 12 Pebruari 1976 sekitar pukul 21 di rumah SS, Ketua
Rukun Kampung I, Kampung Panyairan, berkumpul tak kurang dari 63
penduduk kampung yang terletak di Desa Cihanjuang Kecamatan
Cisarua, Kabupaten Bandung. Untuk meronda? Bukan, tapi untuk
merusak sebuah kebun kembang kol (bloemkool) kepunyaan Ong Kong
Beng, penduduk Kotamadya Bandung, di Kampung Parongpong, masih
dalam desa yang sama. Sudah biasa bahwa seorang yang tinggal di
kota kembang mempunyai kebun pada jarak 35 km ke arah utara.
Biasanya tanah sewa dari orang lain. Dalam hal Ong tanah yang
ditanaminya kabarnya punya orang berpangkat juga. Ukuran 2,25
hektar tentu amat cukup untuk kebun kembang kol yang sungguhan,
sementara rakyat di situ rata-rata hanya menanam pada tanah yang
ratusan meter saja.
Tapi kenapa kebun Ong yang berada di kampung yang bersebelahan
dengan penduduk itu yang menjadi sasaran? Menurut para petani
tersebut, kebun Ong akan menimbulkan bahaya besar bagi kehidupan
mereka. Dengan membanjirnya bunga kol akibat kebun Ong yang
luas, harga tanaman tersebut akan jatuh. Maka diputuskan, kebun
yang sehentar lagi akan dipetik hasilnya itu harus dimusnahkan.
Tok.
Rupanya kebun Ong ini sudah lama menghantui mereka. Penduduk
setempat, terutama yang 63 itu terus-terusan gelisah, tidur tak
nyenyak, makan tak lalu. Begitu-begitu, mereka ingat juga pada
hukum ekonomi yang paling dasar bahwa harga pasar ditentukan
oleh penawaran dan permintaan. Banyak sayur jatuh harga, sedikit
sayur harga naik. Kegelisahan demikian yang mendorong mereka
bertemu pada malam itu.
Pak Lurah Iba
Mereka tak buang waktu. Malam itu juga dengan dipimpin Ketua RK
yang herusia 34 tahun dan AS, 27, salah eorang Ketua Rukun
Tetangga di kampung itu mereka menuju kebun Ong, yang kebetulan
tak jauh dari rumah si Ketua RK. Yang pergi tak sampai 63, tapi
cuma 47 orang termasuk dua orang pemimpin rombongan tersebut.
Merusak tentu lebih mudah dari menanam. Dalam sekejap tanaman
yang lagi mekar itu hancur. Ada yang pakai arit, parang. golok
dan ada yang cukup dengan kaki. Sekali sepak, maka musnahlah
tanaman itu. Sembilan puluh persen hancur berantakan.
Pekerjaan itu selesai dalam setengah jam. Setelah itu mereka
segera pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya kampung
tersebut heboh. Lurah Cihanjuang terkejut. Sementara itu pada AS
dan SS serta 45 orang lain-lain timbul rasa penyesalan karena
telah merusak milik orang lain. Mereka segera datang ke lurah
untuk "menyerahkan diri" sebagai tanda bersalah dan menyesal.
Pak lurah rupanya iba juga pada petani-petani kecil itu. Merasa
tak berhak bertindak sendiri, lurah membawa mereka ke Komres 841
di Cibabat. Proses verbal dibikin, tapi tak seorang pun yang
ditahan. Mereka hanya disuruh pulang, dengan catatan
sewaktu-waktu harus siap datang ke pengadilan.
Sidang pertama jatuh pada 26 Mei. Para tertuduh yang banyak itu
bersama-sama naik bis ke pengadilan yang terletak di Jalan
Martadinata Bandung. Jaksa Mansur Kartayasa SH menuduh mereka
telah membinasakan dan merusak barang milik orang lain sesuai
pasal 406 KUHP.
Dalam sidang pertama dan kedua (2 Juni), baik tertuduh utama SS
dan AS maupun yang lain mengakui terus terang kesalahan mereka.
Jadi persidangan dapat berjalan lancar dan tertib, biarpun
dengan multi tersangka. SS mengatakan mengapa dia dan
orang-orang lain itu melakukan pekerjaan yang kurang terpuji
itu. "Bila ada yang menanam bloemkool pada tanah yang luas, maka
itu akan merugikan petani sayuran di daerah kami", katanya.
"Nanti harga bloemkool akan jatuh. Dengan demikian maka petani
akan rugi", lanjutnya. SS maupun yang lain mengingatkan akan
hukum "sedikit yang ditawarkan, harga akan tinggi banyak yang
ditawarkan harga akan murah". Mereka membayangkan hasil kebun
Ong yang lebih 2 hektar itu -- artinya lebih 20 ribu meter
persegi -- sedangkan mereka hanya punya tanah ratusan meter
saja. Pengadilan tak sampai membincangkan soal kebenaran teori
dan kekhawatiran penduduk itu.
Hanya SS menambahkan bahwa di daerahnya ada semacam larangan
bagi orang luar desanya untuk menanam sayuran kembang kol,
buncis, tomat dan wortel. Inilah yang dijadikan alasan oleh SS
dkk untuk bertindak. Namun pada akhirnya seperti sudah mereka
nyatakan pada lurah para tertuduh menyatakan penyesalan mereka.
"Kami memang merasa bersalah dalam hal ini,pak. Kami telah
menyesal merusak kebun orang lain", ujar SS, yang kemudian
meneruskan: "Kami minta maaf, dan tak akan mengulang kembali
perbuatan di luar hukum ini".
Saksi Ong, yang kebunnya kena ganyang dan menimbulkan kerugian
setengah juta rupiah itu, tidak berpanjang-panjang. "Kamipun
memaafkan mereka yang telah merusak kebun kami. Setelah, ini
kami anggap persoalan telah selesai", kata Ong yang masih 36
tahun itu. Segera giliran jaksa. Ia minta agar SS dikenai 3
bulan, AS 2 bulan dan 45 lainnya masing-masing 1 bulan semuanya
segera masuk penjara. Tapi hakim tunggal MAS Surbakti SH
berpendapat lain. Ia memvonis lebih ringan: SS 3 bulan dalam
masa percobaan 6 bulan, AS 2 bulan dalam masa percobaan 4 bulan
sedangkan tertuduh lainnya dengan masing-masing 1 bulan dalam
masa percobaan 2 bulan.
Tindakan Spontan
Keputusan tersebut segera diterima, baik oleh para tertuduh,
maupun jaksa -- sementara Ong tak menunjukkan keberatannya.
Dengan orang yag punya kebun itu mereka bersalaman. Rupanya
tanda gembira bahwa antara mereka tak ada apa-apa lagi.
Lebih-lebih lagi, karena menurut berita yang diterima Hakim
Surbakti kemudian, dan oleh hakum ini disampaikan pada TEMPO,
"kini Ong telah berkebun lagi. Tapi bukan bloemkool, melainkan
kentang". Tanaman itu termasuk yang"diperbolehkan" SS dkk. Ong
pun kabarnya lega pula.
Hakim mendasarkan keputusan itu karena para tertuduh mengaku
kesalahan mereka, lagi pula, "karena antara tertuduh dan saksi
Ong sudah saling memaafkan. Inilah yang terpenting". Tentu saja
dengan demikian tidak berarti hakim membenarkan orang-orang yang
main hakim sendiri. Lalu kenapa hanya hukuman percobaan? "Ini
untuk mendidik mereka. Dengan hukuman percobaan, mereka akan
berbuat baik dalam masa percobaan tersebut. Ini sudah cukup",
kata Surbakti pada TEMPO. Bila dijatuhi dengan hukuman badan,
menurut Surbakti "mereka akan dendam kepada Ong dan akibatnya
akan lebih panjang lagi. Maklum "orang dendam". Hakim Surbakti
mengatakan akan bertindak tegas bila mereka main hakim sendiri
lagi. Dan ia berpendapat tindakan penduduk tersebut adalah
"secara spontan, tak ada unsur politisnya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini