Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hukum kembang kol

Pn bandung memutuskan hukuman percobaan terhadap pelaku perusakan tanaman kol di desa cihanjuang, kecamatan cisarua, kabupaten bandung. ini dilakukan karena merasa disaingi pemilik tanaman kol.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu, 12 Pebruari 1976 sekitar pukul 21 di rumah SS, Ketua Rukun Kampung I, Kampung Panyairan, berkumpul tak kurang dari 63 penduduk kampung yang terletak di Desa Cihanjuang Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung. Untuk meronda? Bukan, tapi untuk merusak sebuah kebun kembang kol (bloemkool) kepunyaan Ong Kong Beng, penduduk Kotamadya Bandung, di Kampung Parongpong, masih dalam desa yang sama. Sudah biasa bahwa seorang yang tinggal di kota kembang mempunyai kebun pada jarak 35 km ke arah utara. Biasanya tanah sewa dari orang lain. Dalam hal Ong tanah yang ditanaminya kabarnya punya orang berpangkat juga. Ukuran 2,25 hektar tentu amat cukup untuk kebun kembang kol yang sungguhan, sementara rakyat di situ rata-rata hanya menanam pada tanah yang ratusan meter saja. Tapi kenapa kebun Ong yang berada di kampung yang bersebelahan dengan penduduk itu yang menjadi sasaran? Menurut para petani tersebut, kebun Ong akan menimbulkan bahaya besar bagi kehidupan mereka. Dengan membanjirnya bunga kol akibat kebun Ong yang luas, harga tanaman tersebut akan jatuh. Maka diputuskan, kebun yang sehentar lagi akan dipetik hasilnya itu harus dimusnahkan. Tok. Rupanya kebun Ong ini sudah lama menghantui mereka. Penduduk setempat, terutama yang 63 itu terus-terusan gelisah, tidur tak nyenyak, makan tak lalu. Begitu-begitu, mereka ingat juga pada hukum ekonomi yang paling dasar bahwa harga pasar ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Banyak sayur jatuh harga, sedikit sayur harga naik. Kegelisahan demikian yang mendorong mereka bertemu pada malam itu. Pak Lurah Iba Mereka tak buang waktu. Malam itu juga dengan dipimpin Ketua RK yang herusia 34 tahun dan AS, 27, salah eorang Ketua Rukun Tetangga di kampung itu mereka menuju kebun Ong, yang kebetulan tak jauh dari rumah si Ketua RK. Yang pergi tak sampai 63, tapi cuma 47 orang termasuk dua orang pemimpin rombongan tersebut. Merusak tentu lebih mudah dari menanam. Dalam sekejap tanaman yang lagi mekar itu hancur. Ada yang pakai arit, parang. golok dan ada yang cukup dengan kaki. Sekali sepak, maka musnahlah tanaman itu. Sembilan puluh persen hancur berantakan. Pekerjaan itu selesai dalam setengah jam. Setelah itu mereka segera pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya kampung tersebut heboh. Lurah Cihanjuang terkejut. Sementara itu pada AS dan SS serta 45 orang lain-lain timbul rasa penyesalan karena telah merusak milik orang lain. Mereka segera datang ke lurah untuk "menyerahkan diri" sebagai tanda bersalah dan menyesal. Pak lurah rupanya iba juga pada petani-petani kecil itu. Merasa tak berhak bertindak sendiri, lurah membawa mereka ke Komres 841 di Cibabat. Proses verbal dibikin, tapi tak seorang pun yang ditahan. Mereka hanya disuruh pulang, dengan catatan sewaktu-waktu harus siap datang ke pengadilan. Sidang pertama jatuh pada 26 Mei. Para tertuduh yang banyak itu bersama-sama naik bis ke pengadilan yang terletak di Jalan Martadinata Bandung. Jaksa Mansur Kartayasa SH menuduh mereka telah membinasakan dan merusak barang milik orang lain sesuai pasal 406 KUHP. Dalam sidang pertama dan kedua (2 Juni), baik tertuduh utama SS dan AS maupun yang lain mengakui terus terang kesalahan mereka. Jadi persidangan dapat berjalan lancar dan tertib, biarpun dengan multi tersangka. SS mengatakan mengapa dia dan orang-orang lain itu melakukan pekerjaan yang kurang terpuji itu. "Bila ada yang menanam bloemkool pada tanah yang luas, maka itu akan merugikan petani sayuran di daerah kami", katanya. "Nanti harga bloemkool akan jatuh. Dengan demikian maka petani akan rugi", lanjutnya. SS maupun yang lain mengingatkan akan hukum "sedikit yang ditawarkan, harga akan tinggi banyak yang ditawarkan harga akan murah". Mereka membayangkan hasil kebun Ong yang lebih 2 hektar itu -- artinya lebih 20 ribu meter persegi -- sedangkan mereka hanya punya tanah ratusan meter saja. Pengadilan tak sampai membincangkan soal kebenaran teori dan kekhawatiran penduduk itu. Hanya SS menambahkan bahwa di daerahnya ada semacam larangan bagi orang luar desanya untuk menanam sayuran kembang kol, buncis, tomat dan wortel. Inilah yang dijadikan alasan oleh SS dkk untuk bertindak. Namun pada akhirnya seperti sudah mereka nyatakan pada lurah para tertuduh menyatakan penyesalan mereka. "Kami memang merasa bersalah dalam hal ini,pak. Kami telah menyesal merusak kebun orang lain", ujar SS, yang kemudian meneruskan: "Kami minta maaf, dan tak akan mengulang kembali perbuatan di luar hukum ini". Saksi Ong, yang kebunnya kena ganyang dan menimbulkan kerugian setengah juta rupiah itu, tidak berpanjang-panjang. "Kamipun memaafkan mereka yang telah merusak kebun kami. Setelah, ini kami anggap persoalan telah selesai", kata Ong yang masih 36 tahun itu. Segera giliran jaksa. Ia minta agar SS dikenai 3 bulan, AS 2 bulan dan 45 lainnya masing-masing 1 bulan semuanya segera masuk penjara. Tapi hakim tunggal MAS Surbakti SH berpendapat lain. Ia memvonis lebih ringan: SS 3 bulan dalam masa percobaan 6 bulan, AS 2 bulan dalam masa percobaan 4 bulan sedangkan tertuduh lainnya dengan masing-masing 1 bulan dalam masa percobaan 2 bulan. Tindakan Spontan Keputusan tersebut segera diterima, baik oleh para tertuduh, maupun jaksa -- sementara Ong tak menunjukkan keberatannya. Dengan orang yag punya kebun itu mereka bersalaman. Rupanya tanda gembira bahwa antara mereka tak ada apa-apa lagi. Lebih-lebih lagi, karena menurut berita yang diterima Hakim Surbakti kemudian, dan oleh hakum ini disampaikan pada TEMPO, "kini Ong telah berkebun lagi. Tapi bukan bloemkool, melainkan kentang". Tanaman itu termasuk yang"diperbolehkan" SS dkk. Ong pun kabarnya lega pula. Hakim mendasarkan keputusan itu karena para tertuduh mengaku kesalahan mereka, lagi pula, "karena antara tertuduh dan saksi Ong sudah saling memaafkan. Inilah yang terpenting". Tentu saja dengan demikian tidak berarti hakim membenarkan orang-orang yang main hakim sendiri. Lalu kenapa hanya hukuman percobaan? "Ini untuk mendidik mereka. Dengan hukuman percobaan, mereka akan berbuat baik dalam masa percobaan tersebut. Ini sudah cukup", kata Surbakti pada TEMPO. Bila dijatuhi dengan hukuman badan, menurut Surbakti "mereka akan dendam kepada Ong dan akibatnya akan lebih panjang lagi. Maklum "orang dendam". Hakim Surbakti mengatakan akan bertindak tegas bila mereka main hakim sendiri lagi. Dan ia berpendapat tindakan penduduk tersebut adalah "secara spontan, tak ada unsur politisnya".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus