Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari Kekuatan Kata 'Amandla' Nelson Mandela (1918-2013)

9 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leila S. Chudori*

Amandla" adalah kata bahasa Xhosa dan Zulu. Ia berarti "power", kekuatan. Kata ini biasa diserukan kelompok anti-apartheid dalam berbagai acara. "Amandla" (baca: amanza) lazim dibalas dengan teriakan "awethu" (kepada kita). Pada 1990, kata "amandla" inilah yang saya sampaikan kepada Barbara Masekela—pengacara Nelson Mandela—setelah saya hampir saja putus asa tak kunjung mendapatkan kepastian mewawancarai Mandela. Untuk menembus begitu saja tentu tak mudah. Selain karena Mandela menginap di Wisma Negara yang penjagaannya luar biasa ketat, ia selalu dikelilingi anggota rombongannya yang tingginya dua kali lipat tinggi saya. Ternyata amandla memang mengandung kekuatan. Masekela, yang tampak dihajar kesibukan mengurus jadwal Mandela, memandang saya dengan serius. Lalu, dengan bersemangat, dia menjawab, "Awethu! Baik, saya beri waktu satu jam untuk wawancara dengan Mandela."

1 1 1

Kata "amandla" saya kenal ketika saya menempuh pendidikan di Lester B. Pearson College, Kanada, salah satu dari jaringan United World Colleges yang memberikan beasiswa kepada 200 murid dari 60 negara (saat saya bersekolah di sana pada 1982-1984, Presiden United World Colleges dijabat Pangeran Charles. Puluhan tahun kemudian, Nelson Mandela yang memegang jabatan ini hingga akhir hayatnya).

Murid-murid dari negara Afrika di sekolah ini memperkenalkan tari Gumboot—tarian para buruh di kawasan pertambangan emas. Karena para buruh bekerja siang-malam tanpa boleh berbicara, di waktu istirahat mereka menciptakan cara berkomunikasi dengan menjejakkan sepatu bot mereka dalam bentuk tarian, yang kelak disebut tari Gumboot. Tarian yang populer hingga mencapai area kumuh lokasi kediaman warga kulit hitam Afrika Selatan itu jadi salah satu simbol perlawanan. Mungkin itu hanya sebuah "tarian" yang diperkenalkan di panggung sekolah kami, tapi gelora amandla dan diskusi apartheid yang terus-menerus diselenggarakan melekat di benak saya, bahkan jauh setelah saya meninggalkan Kanada dan kawan-kawan saya dari negara Afrika yang menginginkan kemerdekaan Afrika Selatan.

1 1 1

Kunjungan Nelson Mandela ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 1990 adalah perjalanan diplomatiknya yang pertama dan terpanjang sejak ia dilepas setelah 27 tahun dipenjara. Meski saat itu belum menjadi kepala negara, Mandela dipersilakan menempati Wisma Negara, sehingga wartawan sukar sekali mendapatkan akses wawancara khusus. Sesudah menempuh prosedur formal, seperti menulis surat permohonan wawancara dan melobi Departemen Luar Negeri, saya mencoba cara terakhir: mengikuti semua acara Mandela selama tiga hari.

Saya mengikuti perjalanan rombongannya ke Bandung, karena Mandela ingin sekali melihat Museum Asia-Afrika. Bagi dia, Presiden Sukarno adalah salah satu tokoh yang menginspirasi negara-negara Asia dan Afrika untuk berdiri menentang kolonialisme. Itulah sebabnya Mandela sangat heran karena saat itu ia tak menemukan foto Sukarno di museum tersebut. "Mana foto Sukarno?" katanya dengan langkahnya yang panjang-panjang mencari-cari. Tak ada yang bisa menjawab. Wajah Mandela tampak kecewa.

Meski satu pesawat saat pergi ke Bandung, saya belum berhasil juga mendapatkan jawaban kapan bisa mewawancarai Mandela. Barbara Masekela selalu memberi jawaban yang sama, "Belum ada jawaban. Nanti saja kamu ikuti pidato di Hotel Borobudur." Saya mulai gelisah. Akhirnya, dalam perjalanan pulang, saya memberanikan diri mendekati Masekela di pesawat. Di kepala saya, terbayang kawan-kawan saya dari Kenya, Ethiopia, Nigeria, Swaziland, dan Ghana. Begitu membicarakan Afrika Selatan, tiba-tiba mereka jadi satu. Kepal tangan mereka satu. "Amandla!" demikian saya berkata kepada Masekela dengan sedikit nekat. Baru kali itu ia memandang mata saya dengan senyum mengembang. "Awethu!" jawabnya.

1 1 1

DI ruang VIP Wisma Negara, siang itu, pada hari terakhir kunjungannya, Nelson Mandela menerima saya bersama Barbara Masekela. Ia memang tampak agak lelah, tapi matanya bersinar. Kami membuka pembicaraan dengan kata "amandla" dan diskusi tari Gumboot. Kemudian dengan bersemangat Mandela membicarakan Xanana Gusmao, yang saat itu masih dipenjara. Masekela meminta saya agar tidak menulis bagian Xanana karena, "Beliau (Mandela) berterus terang kepada Presiden tentang apa yang dia rasakan soal dipenjaranya Gusmao." Saat itu, Mandela menyatakan Xanana Gusmao seharusnya dilepas. "Tahanan politik di negara mana pun akan memperlihatkan ada yang tidak beres. Penjara seharusnya untuk para pelanggar kriminal, bukan untuk mereka yang berbeda pandangan politik."

Itu tahun 1990. Itu adalah periode ketika budaya telepon dari Cilangkap dan Departemen Penerangan masih hidup serta bergelora. Banyak kutipan dahsyat yang harus disimpan untuk sebuah masa yang merdeka. Kini pernyataan yang sungguh menyihir itu masih melekat di benak saya dan baru bisa saya tulis dengan leluasa.

Mandela menjawab pertanyaan saya dengan fasih dan terstruktur rapi. Sikap dan jawabannya memperlihatkan, meski dipenjara dan disiksa selama 27 tahun, dia tak punya waktu dan energi untuk menyimpan dendam. Dia sangat bersemangat membangun Afrika Selatan yang baru bersama seluruh warganya: hitam, putih, apa pun warnanya; apa pun kepercayaannya. Saya tidak melihat sedikit pun jejak kemarahan. Dia memang mengakui tetap memelihara sayap militer Kongres Nasional Afrika (ANC) sebagai lembaga defensif seandainya terjadi lagi serangan yang brutal seperti sebelumnya.

Dengan tenang Mandela juga menceritakan bagaimana dia menolak dibebaskan dari penjara rezim apartheid pada 1985. Dia menolak karena rezim itu menawarkan pembebasan dengan syarat Mandela harus menghentikan perjuangan bersenjata. Selain itu, ia menolak karena kawan-kawan seperjuangan lainnya—Mandela menyebut mereka dengan sebutan kamerad—tak dibebaskan. "Buat apa kalau saya dibebaskan sendirian? Mereka semua pejuang," ujarnya serius.

Bukan hanya pada 1990, bahkan hingga kini rasanya sulit sekali mencari tokoh dunia yang konsisten memperjuangkan perdamaian dan persamaan hak sekaligus membuang dendam sejauh-jauhnya seperti Mandela. Saya rasa kata "amandla" bukan sekadar sebuah kekuatan perlawanan rakyat, melainkan sebuah kekuatan cinta. Saya rasa Mandela tak akan bisa tergantikan.

*) Wartawan Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus