Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Houghton, Johannesburg, terdengar sebuah kabar yang tak terlalu mengejutkan tapi membuat seluruh dunia berkabung. Nelson Rolihlahla Mandela meninggal setelah berbulan-bulan digerogoti infeksi paru.
Mandela wafat pukul 20.50 waktu setempat di rumahnya pada usia 95 tahun. "Sekarang ia beristirahat dalam damai. Kita kehilangan seorang ayah," kata Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma dengan suara parau ketika mengumumkan kabar duka itu di televisi seperti dikutip BBC. Begitu kabar ini menyebar ke penjuru Afrika Selatan pada Kamis malam pekan lalu, penduduk Kota Soweto berbondong menuju rumah yang pernah ditinggali Mandela. Di depan rumah tua itu, mereka tak henti-hentinya menyanyi dan menari mengenang pejuang kebebasan yang sangat mereka cintai. Di halaman rumah, mereka menyalakan lilin yang disandingkan dengan bendera Afrika Selatan, karangan bunga, dan foto Mandela bertulisan "Beristirahatlah dalam damai, Madiba"--Madiba adalah nama keluarga Mandela. Hal yang sama dilakukan warga Afrika Selatan di depan rumahnya di Johannesburg.
Mandela tak hanya dicintai dan diangkat oleh rakyat sebagai bapak pendiri negara demokrasi Afrika Selatan. Ia juga menjadi simbol dunia. Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan ia tak membayangkan bagaimana hidupnya kini bila tak meneladankan Mandela. "Ia meraih lebih dari yang dapat setiap orang capai. Hari ini ia pulang ke rumah. Kita kehilangan orang paling berpengaruh, berani, dan sangat baik," ujar Obama di Gedung Putih.
Perdana Menteri Inggris David Cameron berkicau di Twitter, "Cahaya besar telah meninggalkan dunia. Nelson Mandela adalah pahlawan di zaman kita." Cameron akan mengibarkan bendera setengah tiang di tempat kediamannya, Downing Street 10. Bahkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengumumkan hari berkabung nasional selama tiga hari. "Sembilan bulan setelah wafatnya komandan kami (Hugo Chavez), tokoh besar dunia lainnya wafat hari ini. Madiba, Anda akan hidup selamanya!" Maduro berkicau di Twitter.
Mandela adalah sosok revolusioner yang menggetarkan. Sejak awal abad ke-20 hingga 1990-an, di tengah kebijakan pemerintah Afrika Selatan yang membedakan harkat dan martabat manusia berdasarkan warna kulit, Mandela yang paling keras dan konstan berteriak melawan. Perlawanan ini kemudian melemparnya ke balik jeruji penjara 27 tahun bersama kawan-kawannya sesama pejuang anti-apartheid.
Bagi Afrika Selatan, Mandela adalah pejuang perlawanan gerakan anti-apartheid. Bagi dunia, dia menjadi simbol dan contoh untuk rekonsiliasi serta berdamai dengan masa lalu. Dari balik terali yang terkunci, ia malah memikirkan bagaimana cara agar seluruh rakyat Afrika Selatan apa pun warna kulit, agama dan etnisnya bisa mewujudkan rekonsiliasi--sikap yang percaya pada kesetaraan tanpa dendam masa lalu. Mandela berhasil menyebarkan prinsip itu pada 1994 ketika akhirnya ia dilantik menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan.
Mandela terpilih melalui pemilihan umum demokratis pada 1994. Kala itu, ia meminta seorang sipir berkulit putih yang pernah "menjaga"-nya naik ke podium bersamanya. Hari itu, kepada dunia, Mandela memperlihatkan apa yang disebut sebagai pengampunan.
Rolihlahla Mandela adalah nama aslinya. Bocah penggembala itu lahir pada 18 Juli 1918 di sebuah desa kecil bernama Mvezo di Transkei--wilayah yang akhirnya menjadi negara republik tersendiri setelah mendapat otonomi khusus dari Afrika Selatan. Nama depannya, Nelson, bukan pemberian orang tuanya. Nama itu dilekatkan kepadanya saat hari pertama masuk sekolah oleh seorang guru wanita bernama Mdinange. Saat sistem apartheid masih diberlakukan, para kulit putih enggan memanggil nama asli orang Afrika. Alasannya, lidah mereka takut terpelintir gara-gara kesulitan mengeja. Karena itu, mereka menyematkan nama-nama populer orang kulit putih pada bocah-bocah Afrika. Mandela salah satunya.
Ada cerita menarik soal makna Rolihlahla. Dalam bahasa suku Thembu, akar keturunan Mandela, Rolihlahla bermakna menarik cabang dari pohonnya. Namun arti itu sering dipelesetkan menjadi si pembuat onar. Benar saja. Sejak kesadaran Mandela akan demokrasi dan pentingnya kesetaraan antar-ras muncul, di mata pemerintah apartheid Afrika Selatan, ia adalah aktivis pembuat onar.
Kasih sayang dan berpandangan terbuka merupakan bawaan Mandela yang dikenal dunia. Sifat itu diyakini ia warisi dari sang ayah, Gadla Henry Mphakanyiswa--Kepala Desa Mvezo, anggota keluarga klan Madiba, dan bangsawan suku Thembu. Dari tradisi suku dan keluarganya, Mandela kecil belajar menjadi sosok yang halus-lembut--sesuai dengan konsep kehidupan suku Thembu yang dinamai Ubuntu.
Mandela mengawali perjalanan panjang pembebasan nasib pribadi dan bangsa Afrika Selatan dengan perkawinan. Gara-gara dipaksa menikah oleh walinya, lulusan Kolese Fort Hare itu--tempat ia mengenal aksi protes terhadap pemerintah kulit putih--kabur dari rumahnya menuju Johannesburg.
Di kota terbesar di Afrika Selatan itu, Mandela bekerja sebagai juru tulis di sebuah kantor pengacara. Ia lantas meneruskan kuliah di University of South Africa dan University of Witwatersrand mengambil jurusan hukum. Dari tempat-tempat itulah ia kemudian aktif di Kongres Nasional Afrika (ANC) pada 1944.
Gara-gara aktif di organisasi demokratik itu, Mandela kemudian akrab dengan kehidupan pergerakan. Beberapa kali dalam rentang 1956-1961, ia diadili serta dituduh hendak menjatuhkan pemerintah yang sah dan menggantikannya dengan paham komunisme. Sejak itu, ia wira-wiri masuk bui.
Pada 1960, ANC dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan harus bergerak di bawah tanah. Pada masa ini Mandela kemudian banyak bersembunyi. Tiga tahun kemudian, ia ditangkap. Pengadilan menghukumnya penjara seumur hidup. Namun, di balik terali penjara Pulau Robben, penjara Pollsmoor, dan penjara Victor Vester, reputasinya tak kunjung padam. Bahkan kian menanjak. Apalagi, selama ditahan, Mandela konsisten menolak menukar kedudukan politisnya dengan kemerdekaan pribadinya.
"Seluruh hidup saya dedikasikan untuk rakyat Afrika. Saya telah berjuang melawan dominasi kulit putih dan kulit hitam. Saya selalu percaya demokrasi yang ideal adalah membiarkan masyarakat berkehendak bebas, hidup berdampingan dalam harmoni, dan dengan kesempatan yang sama. Untuk itulah saya akan selalu berjuang, untuk itu pula saya siap mati," kata Mandela dalam pleidoinya.
Akhirnya Mandela dibebaskan pada 18 Februari 1990. Setahun kemudian, ia terpilih sebagai Presiden ANC. Pada 1993, bersama Presiden Frederik Willem de Klerk, ia dianugerahi Nobel Perdamaian atas perjuangan mereka menghentikan secara damai rezim apartheid serta meletakkan dasar baru dan demokratis bagi Afrika Selatan. Pada 1994, ANC menang dalam pemilu demokratis pertama di Afrika Selatan dan Mandela menjadi presiden hingga 1999.
Tempo berkesempatan mewawancarai Mandela secara langsung pada Oktober 1990. Saat itu, ia mengadakan kunjungan ke beberapa negara, termasuk Indonesia, delapan bulan setelah ia bebas dari penjara. Ahad malam setelah berbicara di depan 400 undangan di sebuah forum internasional di Hotel Borobudur, Jakarta, sehari sebelumnya, kepada Leila S. Chudori di ruangan VIP Wisma Negara, lelaki jangkung yang kala itu dijuluki Presiden Soeharto sebagai "Pendekar kebenaran dan Pembela Kebenaran" tersebut bersedia bercerita. Meski tampak capek--begitu kesan yang ditangkap Leila—didampingi pengacaranya, Barbara Masekela, Mandela yang berbalut jas abu-abu memaparkan seputar perjuangannya.
Dalam jawaban pertama menanggapi pertanyaan Tempo soal pendirian sayap militer di kalangan internal ANC, dengan jujur ia menjawab bahwa perjuangan bersenjata yang dipilih ANC melalui pendirian sayap militer diputuskan dengan penuh keengganan. Sebab, prinsip awal perjuangan organisasi penentang keras apartheid itu adalah perjuangan tanpa kekerasan.
"Ketika rezim Afrika Selatan sudah sangat brutal dengan memaksa penduduk keluar dari rumahnya, kami merasa harus menahan serangan itu. Kami dihadapkan pada situasi yang tidak bisa ditoleransi lagi," ujar Mandela kepada Tempo.
Mandela juga mengkonfirmasi, pada 1985, ia sempat ditawari pembebasan dengan syarat menghentikan aksi perjuangan bersenjata terhadap rezim berkuasa. Namun ia menolak dengan tegas tawaran itu. Sebab, kata dia, kala itu tahanan politik bukan ia seorang. Tahanan lain juga merupakan pemimpin kulit hitam berpendidikan tinggi yang sangat dihormati. Ia tak mau dibebaskan sendirian.
"Saya diskusikan dengan para kamerad saya, dan kami putuskan menolak tawaran," ucapnya. Ini menunjukkan bahwa Mandela bukan hanya tak ingin berkompromi soal apartheid. Dia juga tak sudi bebas sendirian sementara teman-temannya tetap dikurung.
Mandela tak pernah mengklaim dirinya pemberani. Dalam buku yang ditulisnya sendiri pada 1994, Long Walk to Freedom, ia mengaku kerap dicengkeram rasa takut, baik dalam kehidupan saat perjuangan maupun dalam kehidupan sosialnya selepas dari bui. "Saya merasa takut lebih sering daripada yang saya ingat, tapi saya menyembunyikannya di balik topeng keberanian. Pria pemberani bukanlah orang yang tidak memiliki rasa takut, melainkan dia yang berhasil menang dari rasa takut," katanya.
Lima tahun setelah menjabat presiden, Mandela pamit. Ia memohon izin kepada publik untuk meninggalkan segala hiruk-pikuk dunia. Kakek 17 cucu dan 14 cicit ini memilih menyepi, menyingkir ke pinggir kota, dan memilih hidup tenang bersama keluarga besarnya.
Pada akhir 2012, akibat penyakit infeksi paru-paru, Mandela dilarikan ke sebuah rumah sakit di ibu kota Afrika Selatan, Pretoria. Selepas itu, kondisi kesehatannya terus merosot hingga ia mengembuskan napas terakhir pada Kamis malam pekan lalu di tengah keluarganya. Selamat jalan, Mandela.
Sapto Yunus, Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo