Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar dua ribu orang bertahan di Lapangan Tahrir, Kairo, Senin pekan lalu. Tembakan gas air mata dari pasukan keamanan Mesir tak membuat mereka beringsut dari lapangan bersejarah itu. Sebagian orang mencoba mendobrak barikade pasukan keamanan, sebagian lagi limbung setelah terpapar gas. Mobil militer berdatangan untuk memblokade lapangan. "Rakyat ingin menggulingkan rezim," teriak mereka bersahutan, seperti dilansir BBC.
Para pengunjuk rasa yang sebagian besar pendukung Presiden Muhammad Mursi—yang dikudeta militer pada 3 Juli lalu—marah karena sebelumnya komite penyusun konstitusi menyetujui rancangan konstitusi baru negara itu. Menurut mereka, rancangan konstitusi itu membuat militer semakin berkuasa.
Salah satu pasal kunci dalam rancangan konstitusi berisi 247 pasal setebal 67 halaman itu menyebutkan anggaran militer tidak ditentukan oleh parlemen, tapi dibahas oleh Dewan Pertahanan Nasional. Dalam dua masa jabatan presiden mendatang, angkatan bersenjata punya hak eksklusif menempatkan personelnya sebagai Menteri Pertahanan. Dengan aturan itu, militer memiliki otoritas mengawasi rakyat sipil. Kekuasaan militer kian besar karena pengadilan militer dapat mengadili warga sipil yang menyerang angkatan bersenjata, personel, dan instalasi militer.
Sejumlah kalangan khawatir pasal ini dapat disalahgunakan oleh militer untuk menangkapi orang yang dianggap membahayakan pemerintah, seperti pengunjuk rasa, wartawan, dan pembangkang. Inilah yang terjadi pada blogger Alaa Abdel-Fattah dan aktivis Ahmed Maher, yang ditahan karena berunjuk rasa tanpa izin polisi. Ahad lalu, penahanan Abdel-Fattah diperpanjang 15 hari, sedangkan Maher dibebaskan.
"Ini hanya memuluskan jalan militer memegang peranan lebih besar sebagai makelar kekuasaan," kata Hossam el-Hamalawy kepada The Washington Post. El-Hamalawy adalah anggota terkemuka gerakan Para Sosialis Revolusioner, yang ikut berperan menggulingkan rezim Husni Mubarak pada 2011. Sekitar 10 ribu warga sipil diperkirakan telah dihadapkan ke pengadilan militer ketika para jenderal berkuasa selama 17 bulan setelah Mubarak jatuh.
Militer juga akan berkuasa hingga pertengahan tahun depan karena komite penyusun konstitusi menolak memasukkan jadwal transisi pemerintahan yang ditetapkan sebelumnya. Menurut jadwal itu, referendum konstitusi akan diikuti pemilihan umum legislatif, baru setelah itu pemilihan presiden pada pertengahan 2014.
Dengan demikian, belum jelas apakah pemilihan anggota legislatif digelar lebih dulu atau sebaliknya. Selama ini Mesir selalu menggelar pemilu parlemen sebelum pemilu presiden. Karena itu, banyak pihak menduga peraturan tersebut dibuat untuk melapangkan jalan Kepala Angkatan Bersenjata Mesir yang merangkap Menteri Pertahanan, Jenderal Abdul-Fattah el-Sisi, ke kursi kepresidenan dalam pemilu mendatang.
"Tampaknya tidak ada partai politik yang siap maju. Bila Jenderal Sisi mencalonkan diri menjadi presiden, dia tentu akan memilih ditetapkan lebih dulu ketimbang parlemen," kata pakar hukum Mesir dari George Washington University, Nathan J. Brown, kepada The New York Times.
Amr Moussa, ketua komite yang beranggotakan 50 orang itu, telah menyerahkan dokumen draf konstitusi kepada Presiden Adly Mansour. Bila Mansour menyetujuinya, ia akan mengumumkan tanggal referendum dalam sebulan ke depan. Kalau dalam referendum mayoritas rakyat mendukung, konstitusi baru itu akan menggantikan konstitusi 2012.
Menurut Moussa, rancangan konstitusi baru telah memenuhi harapan akan kebebasan, demokrasi, dan keadilan sosial yang diperjuangkan warga Mesir. "Ini jalan penyelamatan dari kondisi sekarang. Ini transisi dari gangguan menuju stabilitas serta dari perekonomian yang stagnan ke perkembangan," kata bekas Sekretaris Jenderal Liga Arab itu kepada Democrat Herald.
Tapi pegiat hak asasi manusia Mesir, Amr Abdel Rahman, bersikap mendua terhadap draf aturan baru itu. "Dibandingkan dengan konstitusi lama, ini jelas lebih maju," ujar kepala unit kebebasan sipil Egyptian Initiative for Personal Rights (EIPR) itu, seperti dilansir Deutsche Welle. Namun, bila dibandingkan dengan standar hak asasi internasional, kata dia, konstitusi Mesir masih jauh ketinggalan.
Yang paling menolak keras rancangan konstitusi tentu saja Al-Ikhwan al-Muslimun, pendukung utama Mursi. Kelompok ini menyatakan orang-orang yang menggulingkan presiden berupaya memutarbalikkan konstitusi yang disahkan pada era Mursi tahun lalu. Bahkan kelompok ini menolak pemerintahan sementara dan seluruh proses transisi. Mereka tetap menuntut Mursi dikembalikan ke kursi kepresidenan. Mereka juga akan terus menggelar unjuk rasa untuk membatalkan rancangan konstitusi baru. Mereka akan didukung kelompok sekuler yang tak menginginkan kewenangan militer diperbesar.
Meski banyak yang menentang, sejumlah kalangan menganggap ini merupakan kemajuan dalam kehidupan politik Mesir. Rancangan konstitusi menyatakan presiden hanya boleh menjabat dua periode, sehingga di masa mendatang tak ada lagi seorang presiden yang dapat berkuasa hingga 29 tahun seperti Mubarak.
"Sembilan puluh persen pasalnya menunjukkan ini merupakan sebuah konstitusi untuk negara sipil, modern, dan demokratis. Ini lompatan dalam kehidupan rakyat Mesir," ujar Hussein Abdel-Razik, politikus beraliran kiri yang juga anggota komite.
Bahkan kelompok Islam ultrakonservatif pun mendukung rancangan konstitusi itu. Anggota komite dari Partai Al-Nour, Mohammed Ibrahim Mansour, mengatakan ada keseimbangan dalam rancangan itu antara ajaran Islam dan kebebasan sipil. Ia tetap mendukung rancangan konstitusi meski sejumlah usulan partainya ditolak karena menjurus ke pelaksanaan syariat Islam. Meski demikian, pasal 2 yang masuk konstitusi Mesir sejak 1970-an tetap dipertahankan. Pasal itu berisi ketentuan bahwa hukum Islam tetap menjadi sumber legislasi.
Pendapat Abdel-Razik cukup beralasan mengingat ada sejumlah perbaikan dalam rancangan konstitusi baru. Partai politik tak boleh lagi dibentuk berdasarkan agama, gender, ras, atau wilayah. Dengan aturan itu, Partai Kebebasan dan Keadilan—partainya Mursi—dan partai Salafi, Partai Cahaya, tak boleh ikut pemilu tahun depan.
Partai politik juga tak boleh memiliki sayap milisi bersenjata dan semua kelompok sosial harus terwakili secara memadai di parlemen. "Ini memaksa parlemen mewakili keinginan rakyat Mesir, tanpa memandang agama, usia, dan jenis kelamin," kata Direktur Egyptian Organisation for Human Rights Hafez Abu Saea.
Meski begitu, ada pasal yang bakal menyulut konflik. Dalam rancangan konstitusi disebutkan masyarakat berhak berkumpul dan berunjuk rasa dalam damai. Pasal ini akan berbenturan dengan undang-undang baru yang mengatur unjuk rasa, yang ditetapkan presiden pada 24 November lalu. Peraturan itu mengharuskan orang mengajukan surat izin demonstrasi tiga hari sebelumnya. Aturan itu juga memberi wewenang kepada Kementerian Dalam Negeri melarang pertemuan apa pun yang melibatkan lebih dari sepuluh orang di tempat publik.
Pakar politik dari Cairo University, Hassan Nafea, mengatakan referendum akan menjadi ujian sesungguhnya bagi rancangan konstitusi. Ia tak yakin konstitusi akan disahkan berdasarkan suara mayoritas pemilih karena rakyat Mesir sudah terpecah-belah. "Orang tidak akan memilih berdasarkan apakah konstitusi baik atau buruk, tapi berdasarkan dari kubu mana berasal," kata Nafea, seperti dikutip surat kabar terbitan Libanon, The Daily Star.
Ini bukan pertama kali rakyat Mesir akan menggelar referendum untuk menyetujui konstitusi. Setahun lalu, 64 persen rakyat Mesir menyetujui amendemen konstitusi 2011. Kala itu, anggota komite penyusun didominasi kelompok Islam. Konstitusi inilah yang kemudian dibekukan pemerintahan sementara setelah Mursi dikudeta oleh militer.
Sapto Yunus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo