UMURNYA 73 tahun, ia seorang wanita dengan nama Shah Bano. Tak seorang pun menyangka bahwa ketika ia bercerai dari suaminya 10 tahun lalu, India akan ribut. Wanita itu membuat sejarah baru bagi India, setelah dia pergi ke Mahkamah Agung untuk diberi santunan. Begitu Hakim Y.V. Chandrachud memutuskan agar Shah Bano mendapat Rp 70 ribu per bulan dari bekas suaminya, India pun gempar. Soalnya, keputusan hakim ltu tldak cocok dengan hukum Islam, meskipun cocok dengan undang-undang negara. Para ulama pun menyerukan "Islam dalam bahaya" dan gelombang protes kaum Muslim terjadi di Bombay, setelah PM India Rajiv Gandhi menyusun RUU yang mengatur santunan bagi wanita yang bercerai. Tak ketinggalan pula, seorang politisi muda Islam, Arif Mohammed Khan, 34, mengundurkan diri dari Kabinet Rajiv sebagai tanda protes. Rancangan UU yang dibuat Rajiv untuk membela kaum wanita yang selama ini dianggap sebagai kaum yang lemah, sebenarnya disiapkan secara berhati-hati. Selain berkonsultasi dengan Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri, Rajiv memantau pendapat kalangan yang diperkirakan akan menentang. Tak hanya itu. Tujuh belas anggota All India Muslim Personal Law Board (AIMPLB) dikerahkan untuk menyusun 'paket' RUU yang nantinya bisa diterima oleh semua golongan. Sebuah seminar soal RUU ini diadakan agar masyarakat India lebih terlibat. Tak mengherankan bila RUU ini mendapat sambutan antusias dari kaum wanita yang selama ini merasa haknya tertindas. "Hanya ada satu orang di pemerintahan ini yang menghayati nasib kami. Dia adalah Rajiv Gandhi," puji Profesor Tahir Mehmood, seorang guru wanita di Fakultas Hukum Universitas Delhi. Prof. Zoya Hasan dari Universitas Jawaharlal Nehru pun menyatakan dukungan serupa. Keduanya membawakan suara wanita Muslim yang baru, tentunya. Toh RUU itu mendapat kritik pedas dari berbagai penjuru. Bekas Menteri Negara Arif Mohammed Khan mengatakan, pemberian santunan bagi wanita yang dicerai berlawanan dengan apa yang tertulis dalam Quran. "Apakah Husein, cucu Nabi Muhammad, memberi 10.000 dirham pada istrinya ketika bercerai?" tanyanya. Suara yang mirip didengungkan kalangan ulama India. "Bagi kami kalau sudah talak dijatuhkan, semuanya selesai," kata Maulana Mohammed Salim Saheb, Rektor Darul Ulum di Deoband. Profesor Sharifunnisa Ansari, kepala jurusan Studi Persia di Universitas Osmania di Hyderabad juga mengatakan, "Dari 10 negara Arab yang saya kunjungi, tak ada seorang wanita pun dibenarkan menerima uang dari bekas suaminya." Inti penentangan ini tampaknya: bagaimana hukum agama sebuah kalangan minoritas, dalam hal ini Islam, tak terdesak dalam sebuah negara yang mayoritasnya bukan Islam, dalam hal ini Hindu. Apalagi ada juga kalangan wanita yang menganggap hukum Islam yang selama ini berlaku cukup adil. Kata Feroze Jahanara Begum, ibu guru sekolah di Uttar Pradesh, "Begitu cerai, suami itu sudah jadi orang lain. Uangnya pun haram." Maka, "kami bersedia mati sahid" untuk menentang RUU itu, kata Rehana Khatun, seorang guru wanita lainnya. Di samping suara sporadis itu, kritik pun dilancarkan partai -- partai politik besar -- termasuk dua partai komunis India. Maka, atas desakan para pemimpin oposisi, RUU itu dipetieskan. Beberapa anggota kongres memberi ucapan selamat pada Arif Khan, sementara 41 anggota parlemen menyatakan dukungannya atas pembatalan RUU itu. Dan Rajiv berdiam diri. "Hal itu merupakan soal intern kaum Islam," ujarnya kemudian, seraya mengingat, konon, dukungan golongan -- sebesar kurang lebih 11,39 persen dari 755 juta penduduk India -- yang cukup besar bagi pemilihan mendatang. Dan Shah Bano? Ia tak jadi memperoleh santunannya. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini