RAJIV Gandhi lolos dari scrgapan maut. PM India itu selamat dari usaha pembunuhan tanpa lecet atau tergores sedikit pun. Tapl ada enam orang terluka, tiga di antaranya polisi. Pelakunya, Karamjit Singh, cuma seorang amatir. Agar bisa menembak Gandhi, Kamis pekan lalu, ia bersembunyi di semak-semak Raj Ghat -- kompleks makam Mahatma Gandhi -- selama beberapa hari. Ketika PM Gandhi, istrinya Sonia, dan Presiden Zail Singh, tiba di tempat itu untuk memperingati hari lahir ke-117 Mahatma Gandhi, Karamjit melepas tembakan satu kali. Ada sumber yang menafsirkan tembakan ini sebagai peringatan. Namun, satuan pengawal khusus Kucing Hitam "mendengarnya" sebagai letupan ban motor yang pecah, atau bisa juga petasan. Tapi, Gandhi, yang pagi itu mengenakan jaket antipeluru, berkata, "Kedengarannya seperti suara tembakan." Sekitar 30 menit kemudian, tepatnya pukul 7.45, seusai upacara, lagi-lagi tembakan menyalak. Seraya menunjuk ke arah suara Gandhi berucap, "Ini benar-benar tembakan. Suaranya dari arah sana. "Barulah satuan Kucing Hitam berlarian ke arah yang ditunjuk Gandhi, tanpa seorang pun berusaha melindungi dan membawa pemimpin India itu ke mobilnya. Tak pelak lagi kecerobohan Kucing Hitam memancing kritik, termasuk dari pihak oposisi. Bayangkan, India hampir kehilangan pemimpinnya, cuma karena satuan pengawal tidak becus. Padahal, sejak kematian Indira Gandhi, Oktober 1984, pengamanan tokoh penting dikabarkan cukup baik. Untuk berkeliling New Delhi, umpamanya, tersedia sejumlah mobil tahan peluru yang dilengkapi ambulans. Kalau PM Rajiv Gandhi itu berpidato pada sebuah rapat umum, maka pengunjung satu per satu diperiksa dengan pendeteksi logam. Jika dianggap perlu, bahkan kotak sampah yang terdapat di sepanjang jalan antara rumahnya dan tempat peristirahatan disingkirkan. Pernah dalam kampanye Partai Kongres (I) ia berpidato di alam terbuka yang dibatasi dinding kacil tahan peluru. Semua itu ternyata tidak mencegah orang seperti Karamjit untuk leluasa keluar masuk Raj Ghat, lengkap dengan senjata. Pihak yang berwenang segera sampai pada kesimpulan bahwa ada yang salah pada slstem keamanan India. Apalagi, dalam tempo 24 jam sesudah percobaan pembunuhan terhadap Gandhi, enam teroris Sikh berusaha membantai kepala polisi Punjab Julio Ribeiro. Mereka menyerobot ke sebuah kamp polisi di luar Kota Jullundur, lalu menerjang ke pavilyun Ribeiro. Tapi dewa penolong berpihak pada kepala polisi itu. Ia hanya tersrempet peluru, istrinya tertembak di kaki, sedangkan satu polisi tewas, tiga lainnya terluka. Tidak kurang mengejutkan adalah pembantaian yang dilakukan dua ekstremis Sikh terhadap tokoh agama Jagjit Singh, Kamis lalu. Pemimpin sekte Nirankari -- yang dianggap sekte bid'ah oleh pengikut Sikh ortodoks -- diberondong peluru dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Mullanpur, Punjab. Tahun lalu, Jagjit sempat terluka parah, juga karena peluru ekstremis Sikh. Sementara itu, 3.000 orang Hindu, Sabtu, dua hari sesudah Karamjit berusaha membunuh Gandhi, terlibat kerusuhan di New Delhi. Sekitar 100 polisi mengalami cedera, antara lain karena bom bakar, pecahan botol, dan batu yang dilemparkan para perusuh Hindu. Khawatir kerusuhan menjalar ke banyak tempat, petugas keamanan di seluruh India Utara, termasuk Punjab, Haryana, Uttar Pradesh, dan Assam, memberlakukan siaga penuh. Terbetik berita, pasukan komando angkatan darat akan ditugasi kembali mengawal Gandhi, menggantikan Kucing Hitam ang dianggap gagal. Pasukan elite perbatasan sebagian juga akan ditarik ke New Delhi untuk tugas yang sama. Empat perwira polisi yang dicurigai kini dibebastugaskan, juga komisioner polisi Gautham Kaul, paman Gandhi, yang menjabat komandan Kucing Hitam. Satuan ini berkekuatan 1.500 orang, berseragam hitam, merupakan gabungan polisi dan petugas dari berbagai satuan keamanan. Siapa Karamjit Singh yang nyaris berhasil membunuh Gandhi? Mulanya, ia mengaku bernama Mohan Desai, berusia 20-an dari Mathura, selatan Delhi. Ia berperawakan tinggi, berkulit cerah, dan berkumis tipis. Masyarakat lega karena calon pembunuh itu bukan orang Sikh. Tapi dari hasil interogasi selanjutnya diketahui bahwa ia Sikh sejati, yang berusaha membunuh Gandhi sebagai balas dendam terhadap kematian sahabatnya Baldev Singh. Sahabat ini tewas dalam bentrok Hindu-Sikh, dua tahun silam di New Delhi. Waktu itu, massa Hindu mengamuk dan menghajar minoritas Sikh, sebagai pelampiasan balas dendam dan amarah atas pembunuhan yang dilakukan sejumlah fanatikus Sikh terhadap Indira Gandhi. Tragedi ini hampir terulang, kalau saja Karamjit itu teroris terlatih, dan tidak menembak dengan pistol kampung seperti yang coba dilakukannya terhadap PM Rajiv Gandhi, Kamis berselang. Pernah mendapat latihan militer dasar, Karamjit percaya bahwa misinya pasti sukses walau cuma mengandalkan sebuah pistol kampung. Biasa disebut "katta", pistol ini banyak dijual di Uttar Pradesh, Bihar, dan Punjab. Harganya Rs 100-200. Katta terbuat dari pistol tua yang larasnya dipotong, diganti pipa besi atau kerangka sepeda. Memakai amunisi pelet timah, "katta" mempunyai jangkauan tembak hanya 6-10 meter. Dengan sepucuk katta dan berbagai tanda bukti lainnya, pihak keamanan untuk sementara sampai pada kesimpulan bahwa Karamjit adalah pejuang tunggal tanpa hubungan dengan kelompok teroris mana pun. Mungkin ia cuma anggota dari kelompok Sikh yang tersesat kena hasutan, atau bisa jadi ia seorang fanatik yang siap berbuat apa saja tanpa menghitung-hitung risiko. Seperti katanya, ia siap mengikuti jejak Shaheed Udham Singh, seorang "pejuang" Sikh yang menunggu 20 tahun agar bisa melampiaskan dendamnya. Yang pasti, Karamjit adalah percikan dari krisis Sikh, yang bagaikan bom waktu tiap saat bisa meledak di Punjab atau di mana saja di India. Orang-orang Sikh tampaknya sudah tidak bisa mundur lagi. Mereka punya sejumlah teroris terlatih, yang disebut "Pasukan Komando Khalistan". Di belakang pasukan ini ada Komite Panthic, beranggotakan lima orang, yang merupakan otak aksi-aksi bersenjata Sikh. Kuat dugaan merekalah yang bertanggung jawab untuk pembunuhan Jenderal Arun Vaidya di Pune, Agustus silam. Vaidya menjabat Kastaf AD, ketika Indira memerintahkan penyerbuan Kuil Amritsar, Juni 1984. Sebulan sesudah kematian Vaidya polisi Punjab berhasil menangkap Manbir Singh alias "Jenderal Hari Singh", 25 tahun, satu dari 38 teroris Sikh kelas satu. Adalah Manbir yang diserahi daftar maut untuk membunuh delapan pemimpin Akali Dal serta membantai tujuh polisi, termasuk Julio Ribeiro. Ia keburu tertangkap, tapi rencana pembunuhan terhadap Ribeiro tetap berlangsung Jumat lalu. Kuat dugaan ada "orang dalam kepolisian" yang bekerja sama dengan mereka. Ribeiro, pada majalah India Today, mengatakan, jaringan teroris termasuk orang-orang mampu yang menyediakan dana, perumahan, dan senjata. Ada dua perwira pensiunan, seorang tuan tanah, seorang pengacara, dan seorang dokter ditahan, karena diduga terlibat aksi teror. Sayap perjuangan Sikh ternyata melebar jauh sampai ke Pakistan. Dugaan pihak intel bahwa Pakistan melatih teroris Sikh sudah terdengar sejak dua tahun silam, tapi keterangan Manbir Singh memastikan hal ini. Lebih mengejutkan adalah pengakuan teroris ini, yang menyatakan bahwa deklarasi Khalistan dibuat atas desakan Pakistan. Polisi Punjab juga mencatat pengakuan 160 pemuda yang menyerahkan diri, sepulang dari negara tetangga itu. Dua tahun silam mereka menyeberang perbatasan ke Pakistan, tapi dijebloskan ke penjara. Di sini, mereka dilatih melakukan sabotase, dalam rangka persiapan membalas penyerbuan Kuil Emas. Sebagian besar ternyata dinilai tidak becus, lalu disiksa, akhirnya dipulangkan kembali ke India. Sulit untuk sepenuhnya menerima kebenaran informasi ini, apalagi ia berasal dari Julio Ribeiro, yang tidak merahasiakan tekadnya untuk menumpas gerakan separati Sikh. Memang, kehadiran Ribeiro di Punjab banyak meredakan badai keganasan Sikh. Sejak Mei sampai Agustus tahun ini, polisi berhasil menewaskan 38 ekstremis, menahan 744 orang, 114 di antaranya adalah anggota enam komplotan teroris paling besar di Punjab. Sekalipun begitu, semua orang tahu bahwa tangan besi tidak pernah akan menyelesaikan masalah Sikh. Karena itu, "Nota Penyelesaian", yang dibuat bersama antara PM Gandhi dan pemimpin Sikh moderat Sant Harchand Singh Longowal, disambut sebagai sukses gemilang, setidaknya bagi pemerintah pusat di New Delhi. Ketika Nota ditandatangani Agustus 1985, Gandhi berkata, "Semoga ini merupakan awal dari tahap baru dalam kerja sama kita membangun negara." Mencakup 11 butir persetujuan, realisasi nota itu targetkan bisa tercapai tepat pada hari kemerdekaan India, 26 Januari silam. Tapi impian itu buyar. Tapi, krisis Sikh, seperti halnya konflik lain pada tingkat daerah, tidaklah sesederhana itu penyelesaiannya. Becermin pada kegagalan Indira, Rajiv Gandhi sebenarnya dapat meredam konflik dengan sikap lebih tegas lebih taktis, hingga tidak semakin kusut dan berlarut-larut. Tapi Mr. Clean Gandhi, yang sangat mencita-citakan perubahan itu, ternyata tidak peka dan kurang sigap. Ketika baru memenangkan mayoritas mutlak dalam pemilu, Januari 1985, ia berpendapat bahwa stagnasi ekonomi haruslah dianggap ancaman ketimbang aksi-aksi separatis dan gejala permusuhan antarkaum. Pendapat itu kini agaknya perlu ditinjau kembali. Mengapa? Kebijaksanaan menaikhan harga bahan bakar minyak cukup menggemparkan rakyat, meski tidak sampai membuat orang berbunuh-bunuhan. Sebaliknya, bentrokan Hindu-Sikh yang terjadi tak lama sesudah pembunuhan Indira Gandhi sedikitnya menelan korban 2.700 orang tewas. Tahun ini saja korban yang jatuh minimal 500 orang. Di India, yang berpenduduk 735 juta, dengan keanekaragaman bahasa, agama, dan budaya, apa yang disebut konflik boleh dibilang sudah merupakan acara tetap. Tapi, gejala perpecahan tidaklah pernah segawat sekarang. Benar, figur Gandhi tetap menjulang sebagai faktor pemersatu, tapi figur ini pun terombang-ambing, sadar atau tidak, antara berbagai kekuatan (Partai Kongres, kaum birokrat sebanyak 9,6 juta orang, dan sejumlah penasihat & pengusaha besar). Dalam pandangan beberapa pengamat, andai kata Gandhi tidak waspada, ia bisa tergelincir seperti ibunya, yang cenderung bersandar pada Partai Kongres dan pada gilirannya dikendalikan oleh partai ini. Mengingat Kongres adalah partai terbesar yang tidak pernah kalah, akan sangat sulit bagi Gandhi untuk menempatkan dirinya di luar partai. PM Jawaharlal Nehru dengan bobotnya sebagai negarawan besar memang mendominasi Partai Kongres, tapi Gandhi, sang cucu? Kharismanya sungguh menyakinkan, tapi kepemimpinannya baru memasuki masa uji coba yang diperkirakan akan sangat berat. Sejauh menyangkut aspirasi minoritas Sikh (10 juta) dan muslim (80 juta) salah atau tidak, sejak dulu mayoritas Hindu, 585 juta pengikut, memang senantiasa dipojokkan. Bertahun-tahun sikap berat sebelah ini mereka diamkan, sampai lima tahun silam ketika raksasa Hindu bangkit dari tidurnya. Dewasa ini badai kebangkitan Hindu -- Hindu Jagara menyapu anak benua India, tanpa bisa ditahan. Ashok Singhal menyambutnya sebagai inkarnasi, tapi Bir Bahadur Singh mencemaskan kemungkinan mayoritas ini terperosok dalam perangkap konflik antarkaum (komunalisme). "Kita harus menempatkan diri sebagai orang India," kata Singh. Tapi ia terlambat. Sentimen Hindu mencapai klimaks ketika PM Indira Gandhi tewas di tangan pembunuh Sikh, Oktober 1984. Sejak itu Indira menjadi lambang kesyahidan Hindu. Sentimen ini dikobarkan aksi-aksi militan Sikh yang di sana-sini diseling bentrok Hindu-lslam, seperti yang terjadi karena dibekukannya UU Wanita Muslim atau pertumpahan darah di Ahmedabad. Di sini tujuh orang tewas hingga konflik antarkaum tidak lagi dapat dicegah. Sukar diramalkan apa yang akan teriadi dengan India apabila komunalisme merongrong negeri itu terus-menerus. Tidak sedikit intelektual India dari semua golongan memperingatkan bahaya yang akan menimpa bangsa besar yang sangat beraneka budaya, bahasa, dan agamanya ini. Ketika ditanya pendapatnya tentang kebangkitan Hindu, PM Gandhi menjawab, Warga Hindu tetap bisa dikendalikan, mereka bukan fanatik." Benarkah? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh perjalanan waktu. Selama 40 tahun merdeka, konsep sekularisme Nehru telah menyelamatkan impiannya akan sebuah nasion India, yang beragam tapi satu jua. Agak paralel dengan kondisi Indonesia, memang, tapi skala kesemrawutannya hampir-hampir tak terlukiskan. Sekarang, Gandhi mengemban tugas mempertahankan impian kakeknya dalam kondisi jauh berbeda dan usia lebih muda. Menjelang tahun 2000, dunia akan melihat bagaimana sebuah bangsa besar bergulat melawan gejala perpecahan yang benih-benihnya sudah mereka semaikan sejak sekarang. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini