PARASNYA sedap dipandang. Tapi tak cuma itu. Ia tenang, ramah, sopan, jujur, tidak ruwet. Dan ia Rajiv Gandhi. Perdana menteri India yang disumpah sekitar sepuluh jam setelah ibunya, Indira Gandhi, terbunuh pada 31 Oktober 1984, ini mungkin nasib mujur India. Setelah hampir dua tahun memimpin "negara demokrasi terbesar di dunia", hampir semua orang India sepakat: Rajiv lebih baik dibanding mendiang ibunya. Ia tidak otoriter. Ia mau mendengarkan pendapat pihak lain. Latar belakangnya memang tak mencorong, sebagai superstar, apalagi dalam kegiatan politik. Pada dasarnya, ia memang seorang pilot, yang hanya terpaksa masuk ke bidang politik karena "garis" keluarga. Pun teman-temannya di masa lalu tak sekalipun mendengar Rajiv omong politik. Ia berbeda dengan Sanjay, adiknya, bintang keluarga yang bakat dan ambisi politiknya telah tampak sejak awal. Rajiv muda pemalu. Orang masih ingat seorang pelajar, yang duduk menundukkan kepala di perjamuan makan malam di Doon School, untuk menghormati kunjungan PM Jawaharlal Nehru, yang juga kakck Rajiv sendiri. Di dalam kelas, ia duduk di deretan bangku belakang. Sekali ia melanggar peraturan sekolah -- dengan mencuri buah leci dari pohon yang tumbuh di sekitar sekolah itu tapi umumnya ia menghindari hal yang berbahaya. Ia disukai, tapi tidak populer. Ia bukan bintang kelas. Pada 1960, ia gagal masuk perguruan tinggi Inggris yang tersohor itu, Cambridge, dan baru diterima pada gelombang kedua. Tak berapa lama ia masuk Imperial College di London. Baru setahun ia pindah lagi ke Trinity College, Cambridge, untuk kursus teknik mesin. Ibunya, di tanah air, khawatir, sampai-sampai menyurati dan meminta si adik, Sanjay, untuk menjaga si kakak. Karena hanya mendapat uang pas-pasan selama berada di Inggris, Rajiv bekerja di sebuah pabrik cs, lalu di toko roti. Di sini ia berprestasi: ia pernah dapat piala sebagai pemanggang roti paling bermutu. Ia juga jadi penjual es krim. Tapi dibandingkan dengan adiknya? Sanjay lebih berhasil dalam bisnis sampai bisa memperoleh sebuah mobil. Sang adik memang lebih bisa segala-galanya ketimbang Rajiv. Juga lebih congkak dan gemar kekuasaan. Sebagai abang-adik, hubungan Rajiv dengan Sanjay memang tak erat. "Rajiv dan Sanjay seakan hidup di lingkungan dan teman-teman yang berbeda," tulis majalah India Today. Sekembali dari Cambridge, Rajiv, yang sejak semula mencintai dunia penerbangan, masuk Delhi Flying Club. Lisensi pilot untuk pesawat perorangan dan pesawat komersial dengan mudah diperolehnya. Tak lama kemudian ia jadi pilot Air India. Tapi nasib berkata lain. Sanjay, si bintang harapan, mengalami kecelakaan pesawat di tahun 1980. Si adik meninggal. Rajiv tak jadi naik tingkat di dunia penerbangan: ketika keluar dari Air India, segera setelah kematian sang adik, Rajiv baru saja dapat lisensi untuk menerbangkan Boeing. Boeing dan segalanya kini ia tinggalkan, karena ia harus pegang kemudi lain. Rajiv menyadari dirinya sebagai penerus harapan ibunya yang kini tak punya Sanjay. Ia masuk dunia politik, memenangkan kursi di parlemen, dan diangkat sebagai ahli strategi senior di Partai Kongres yang memerintah. Walaupun banyak yang khawatir Rajiv tak akan mampu memikul tugas, para pemimpin Partai Kongres memilih Rajiv sebagai perdana menteri. Alasan sebenarnya cuma ini: mereka takut, jika mereka tak bertindak cepat, akan timbul kekacauan karena PM Indira terbunuh. Rajiv sering membandingkan kemudinya kini dengan kemudinya yang lama. "Banyak persamaannya jika Anda membayangkan India sebagai pesawat terbang raksasa," tutur Rajiv kepada majalah Newsweek. Yang paling tak menyenangkan menjadi perdana menteri, kata Rajiv, ialah tak lagi punya waktu cukup untuk melakukan yang diinginkan pribadi. "Dan waktu untuk keluarga tak lagi cukup," ujar Rajiv. Satu lagi yang membuat Rajiv merasa tak bebas: ancaman pembunuhan atas dirinva dan keluarganya. Tapi bapak yang berumur 42 tahun ini lebih memikirkan keselamatan dan perkembangan kedua anaknya, yang masih remaja, Rahul dan Priyanka. "Mereka tak lagi bisa tumbuh secara alamiah sebagaimana layaknya anak-anak," katanya. Sebelumnya, kedua anaknya sekolah di dalam rumah (setelah ayah mereka mcnjadi PM mereka keluar dari sekolah umum) dan teman-teman mereka didatangkan pula ke sini. Terakhir, Rajiv mengirimkan kedua anaknya ke sekolah yang diurus Vatikan di Moskow untuk melanjutkan pelajarannya. Di Moskow kecil kemungkinan ada teroris, dan sekolah Katolik itu cukup bermutu. Tidak kerakyatan? Mungkin juga. Salah satu kritik mengatakan, kepemimpinan Rajiv hanya mewakili kepentingan kelas menengah yang cuma 10% dari 750 juta penduduk India (lihat Gandi di Simpang Jalan). Banyak yang khawatir, kebijaksanaannya untuk menumbuhkan semangat perdagangan bebas hanya akan menambah tajam kesenjangan si kaya dan miskin. Dari dalam partainya sendiri, timbul berbagai kritik secara sembunyi: ejekan yang lucu dari singkatan-singkatan. Huruf I, pada nama partai Kongres, misalnya, mereka sebut singkatan dari kata "Italia". Ini jelas ditembakkan ke Sonia, nyonya perdana menteri, wanita Italia yang digosipkan telah mengambil alih peranan Indira dalam urusan partai. Di samping itu juga muncul kata "AIDS", yang kepanjangannya menjadi Aquired In Doon School atau "Didapat dari Doon School" -- sekolah Rajiv, sekolah anak para elite India. Ini untuk mengejek para pembantu terdekat sang PM, yang kebanyakan memang berasal dan alma mater itu. Tapi siapa pemimpin yang tanpa dikritik, digosipkan, dan dibikin lucu? Semua itu ternyata tak mengubah banyak sikap Rajiv. Hanya saja, sejak percobaan pembunuhan atas dirinya pada 1 Oktober lalu, penjagaan di kantor perdana menteri yang terletak di South Block, New Delhi tampak diperketat. Setiap tamu yang masuk harus melalui metal detector. Kamera harus dijepretkan lebih dulu, juga tape recorder harus dibunyikan. Selasa sore, pukul 17.30 waktu setempat Kajiv, yang petang itu mengenakan baju khas India berwarna abu-abu, menerima wartawam TEMPO Soesanto Pudjomartono dan wartawan Kompas Widodo untuk wawancarai khusus. Wawancara yang direncanakan hanya setengah jam, diperpanjang Rajiv menjadi 45 menit. Rajiv didampingi sekretaris persnya, Mani Sangkarraya. Berikut ini petikannya: Ada kecenderungan dalam masyarakat India tak sabar dengan proses demokrasi. Banyak yang kemudian memakai kekerasan dan teror untuk menyelesaikan masalah keagamaan, sosial dan politis mereka. Bagaimana Anda menghadapi masalah ini, terutama yang menyangkut agama dan bahasa? Apakah Anda bisa menyelesaikan masalah ini secara demokratis, tanpa membahayakan persatuan dan kesatuan India? Saya merasa demokrasi kami sangat kuat. Contoh paling baik adalah di Punjab. Pada waktu terorisme mencapai puncaknya di sana, kami bisa menyelenggarakan pemilihan secara damai, dengan jumlah pemilih yang mencapai rekor. Saya kira terorisme terjadi, karena mereka tidak mendapatkan peluang dalam proses demokrasi ini. Mengenai terorisme yang terjadi di India jelas ada keterlibatan dari pihak di seberang perbatasan (baca: Pakistan -- Red.). Kami mempunyai informasi kuat bahwa mereka memberi bantuan serta dukungan terhadap kelompok teroris ini. Bisakah Anda memberi penjelasan tentang adanya keterlibatan dari seberang perbatasan itu? Salah satu petunjuk adalah fluktuasi bursa valuta asing, dan desas-desus yang beredar di Karachi bahwa Rajiv telah terbunuh pada 1 Oktober lalu. Di samping itu, kami mempunyai innformasi dari sumber-sumber sendiri, yang tak bisa saya jelaskan saat ini. Apakah ini akan mempengaruhi hubungan Pakistan-India? Tentu saja akan mempengaruhi. Saya sudah sering membicarakan masalah ini dengan Presiden Zia ul-Haq, tapi tidak terjadi perubahan apa-apa. Keterlibatan Pakistan membantu separatis Sikh berlangsung terus. Apakah Anda percaya bahwa Pakistan sedang mempersiapkan bom atom nuklir? Apakah India harus bersiap-siap pula? Kami tidak akan mempersiapkan bom nuklir sampai kapan pun. Kami memang pernah melakukan penelitian nuklir untuk perdamaian pada 1974, tapi itu pun tidak kami teruskan. Tapi, jika Pakistan membuat bom nuklir, itu tentu akan mengubah situasi di anak benua ini. Apakah situasi sekarang mendorong India untuk membuat bom? Kami tidak melakukan apa pun. Anda dulu segan terjun di bidang politik. Tapi, kini Anda mempunyai kekuasaan besar. Apakah kekuasaan ini mengubah Anda? (Ia ketawa). Mudah-mudahan tidak. Apakah Anda merasa tidak senang dengan kedudukan sekarang? Saya merasa senang, karena jabatan ini tidak mengubah saya. Jika mengubah, saya akan merasa tidak enak dengan diri sendiri. Apa arti kekuasaan buat Anda? Tidak berarti apa-apa, kecuali membuat tanggung jawab lebih besar. Itu sebabnya saya merasa biasa saja. Hubungan India -- RI dulu sangat erat. Tapi sekarang biasa-biasa saja. Mengapa? Hubungan kita sekarang memang agak dingin. Saya berharap bisa membangun kembali keeratan hubungan seperti dulu dengan kunjungan saya ke Indonesia. Saya sangat mengharapkan itu. Apa saja yang bisa dilakukan dalam hubungan Indonesia-India? Banyak sekali yang bisa dilakukan. Kita mempunyai banyak persamaan mengenai apa dan bagaimana kita seharusnya membangun dunia ini. Kita juga mempunyai masalah yang sama: banyak agama, banyak komplikasi, dan daerah yang terpisah-pisah. Dan, kita bisa melakukan banyak hal di bidang ekonomi, politik, dan lainnya, yang selama ini belum sempat kita garap. Apa yang akan Anda sampaikan dalam pembicaraan khusus dengan Presiden Soeharto pekan depan? Saya akan membicarakan lebih lanjut apa yang telah kami bicarakan sewaktu Presiden Soeharto mengunjungi New Delhi, dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini