Jangan naik mobil Beograd di Slovenia, pesan seseorang, karena Anda akan dilempari batu. Maka, wartawan TEMPO pun naik kereta api. "ANDA akan ke Ljubljana? Bersama tentara?" kata resepsionis Hotel Astoria di Zagreb, ibu kota Kroasia, pada TEMPO. Itulah humor orang Kroasia sejak tentara federal Yugoslavia menyerang Slovenia Kamis dua pekan lalu. Dari Hotel Astoria ke stasiun kereta api Zagreb dengan jalan kaki hanya lima menit. Kehidupan di kota ini rupanya sudah dimulai sejak pukul 5 pagi. Beberapa toko sekitar hotel, terutama yang menjual makanan, sudah membuka pintu. "Kami memang suka kerja keras," kata Nyonya Zilic, pemilik toko makanan, Rabu pekan lalu. "Kami baru tutup pukul 9 malam." Kereta ke Ljubljana, ibu kota Slovenia, pagi itu berangkat hanya dua gerbong, bercat putih bergaris vertikal hijau dan hijau muda di tengahnya. Tak banyak orang yang ingin pergi ke kota yang sedang berperang. Jumlah penumpang kurang dari 15 orang: di gerbong dilarang merokok ada tujuh orang, di gerbong merokok kurang dari itu. Di stasiun kota berikutnya, beberapa orang lagi naik. Kereta putih ini kereta bisnis. Penumpang disuguhi secangkir kopi susu dan sepotong sandwich. Kopi terasa dari jagung, dan sandwich begitu rupa rasanya hingga menghilangkan selera makan. Pemandangan dari kereta api sehijau di Pulau Jawa. Kadang-kadang melintasi ladang jagung. Suasana jalan darat, yang berdampingan dengan rel kereta, juga terasa seperti di Jawa. Cuma, yang lewat bukan mobil Jepang, melainkan Zastava, Yugo, Smkoda, Lada. Memasuki wilayah Slovenia, pemandangan di luar berubah jadi bukit-bukit. Kroasia terkenal karena pantai Adriatiknya, sementara Slovenia punya banyak gunung dan pegunungan yang memberikan tempat untuk permainan ski. Kroasia dan Slovenia bagi orang Eropa Barat memang merupakan salah satu tempat favorit untuk rekreasi. Sebagian besar dari sekitar 8 juta turis yang masuk ke Yugoslavia bertujuan ke pantai Kroasia dan gunung Slovenia. Rumah-rumah di bukit di pagi sekitar pukul 7 itu teratur rapi. Kadang-kadang muncul gereja. Mestinya Gereja Katolik, agama mayoritas Slovenia. Mendekati Kota Ljubljana, pemandangan kembali datar. Tampak berseliweran tiang listrik, dari kayu yang tak selalu lurus. Ada tiang besi. Lalu tampak rumah-rumah susun, berlantai tiga atau empat, berwarna-warni. Tak lama kemudian kereta masuk stasiun Ljubljana -- jarak kota ini dari Zagreb memang hanya sekitar 125 km. Stasiun di ibu kota yang sedang perang ini seperti stasiun di Beograd, tak sebersih stasiun di Zagreb. Papan-papan nama berbahasa Slovenia dan Inggris. Suasana stasiun sibuk, seperti tak ada perang. Barulah di luar stasiun ada suasana lain, banyak rintangan di jalan-jalan. Sebuah pertigaan tampak ditutup oleh beberapa bus melintang. Bila ditanyakan pada orang Ljubljana, adakah yang lain dari hari-hari biasa selain adanya rintangan jalan, jawabnya seperti menyindir. Yakni, banyak orang asing lalu-lalang, dengan kartu dari kementerian penerangan Slovenia tertempel di saku kirinya atau tergantung di leher. Itulah kartu pers. Satu lagi, ada beberapa mobil yang ditutup nomor pelatnya dengan plastik yang dicat dengan tulisan press. Itulah mobil wartawan asing yang mereka sewa dari Beograd, dan karena itu berpelat Beograd. Itu perlu ditutup agar tak dilempari batu oleh orang Slovenia. Negara bagian paling utara di Yugoslavia ini, kedua terkecil setelah Montenegro. Cuma sekitar 20.000 km2, sekitar dua pertiga Jawa Tengah. Dan ibu kotanya memang lebih bersuasana Eropa Barat dibandingkan Beograd. Jarak kota ini ke perbatasan Italia atau Austria cuma sejam bermobil. Tapi Slovenia, yang memproklamasikan kedaulatannya 25 Juni lalu, ternyata pada 4 Juli kemarin masih memperingati Hari Partisan -- hari nasional Yugo. Suasana di kota 300 ribu penduduk ini sepi karena libur. "Kami belum sempat mengoreksi hari libur," kata seorang staf di kamar dagangnya. Rasanya, kehidupan memang lebih makmur di Ljubljana daripada Beograd. Yang jelas, tarif taksi jauh lebih mahal: dua kali lipat. Angka terakhir mencatat, pendapatan per kepala di Slovenia (juga di Kroasia) 20% lebih tinggi daripada pendapatan rata-rata penduduk Yugoslavia yang sekitar US$ 3.200 per tahun. Orang Slovenia merasa, mestinya mereka bisa lebih makmur. Sebab, sebagian besar pendapatan yang disetor ke pemerintah federal tak dikembalikan ke Slovenia. "Kami menyumbang seperempat produk industri nasional. Dan untuk seperempat anggaran belanja tentara federal, kami pula yang menanggungnya," kata Matjaz Zinkovec, 40 tahun, anggota parlemen Slovenia urusan luar negeri. "Pokoknya, secara ekonomis pemerintahan sistem federal seperti ini tidak produktif," kata Vojko Venisnik, salah seorang pemimpin Partai Pembaruan Sosial Demokratik Slovenia, di kesempatan lain. Karena merasa diperas secara ekonomi inilah, antara lain penyebab pemisahan diri Slovenia. Sebab yang lain, Slovenia yang mulai makmur pada 1950 -- boleh dikata menjadi wilayah paling makmur di antara negara-negara Eropa Timur -- lebih cepat menyadari perlunya demokrasi. "Telah lama kami tak merasa bebas," kata Zinkovec anggota parlemen Slovenia tadi. "Orang Serbia terlalu mendominasi pemerintahan federal. Lalu kami mengadakan plebisit, Desember lalu. Hasilnya, 90% suara menghendaki Slovenia merdeka." Ada tuduhan dari para jenderal pasukan federal, bahwa orang-orang Slovenia menyerang tetangga mereka yang orang Serbia. "Mereka menyerang wanita dan anak-anak Serbia," kata Mayor Jenderal Blagoje Adzic, Pangab tentara federal. Tuduhan itu tak salah, tapi juga tak sepenuhnya benar. Suatu sore di stasiun Ljubljana, ketika orang-orang menunggu kereta berangkat ke Beograd. Sekelompok orang terdiri dari remaja, anak-anak, dan beberapa orang tua tampak gelisah. Mereka rupanya orang yang punya darah Serbia dan akan pergi ke Beograd, mengungsi. "Saya akan mengungsi ke Beograd, di rumah Kakek," kata Natasa Ilich, 19 tahun, dengan bahasa Inggris yang fasih. "Kemarin tetangga masih baik. Kini mereka seperti memusuhi kami. Seakan-akan semua ini karena ayah saya." Natasa, lulusan sekolah juru rawat, memang salah seorang yang terpaksa sial. Ibunya memang orang Slovenia, tapi ayahnya serdadu federal yang ditugaskan di Ljubljana. Dari ibunya yang sering berkunjung ke barak ayahnya, yang jarang pulang sejak perang meletus, ia tahu bagaimana barak ayahnya dikepung milisi Slovenia. "Ayah dan rekan-rekannya kekurangan air, makanan, dan listrik," tuturnya. Gadis yang bercita-cita jadi dokter ini sangat mencemaskan nasib ayahnya. "Asimilasi di negeri ini tak ada hasilnya," tuturnya pula. "Saya korban asimiliasi itu. Tapi mau apa lagi, ayah saya memang orang Serbia." Dibandingkan dengan Slovenia, orang Kroasia yang sama-sama memproklamasikan kemerdekaannya 25 Juni lalu lebih beruntung. Belum ada serangan berarti ke Kroasia. Baru Minggu kemarin, ada insiden, tapi cepat berhenti karena perundingan di Beograd yang dihadiri utusan dari Luksemburg, Belanda, dan Portugal mencapai kesepakatan perdamaian. Sebenarnya, ketika Slovenia mulai diserang tentara federal, rakyat Kroasia (termasuk medianya) mendesak pemerintah Zagreb agar selekasnya membantu Slovenia. Tapi Presiden Kroasia Franjo Tudjman tak setuju. "Kami baru akan bertindak jika wilayah Kroasia digunakan untuk melakukan penyerangan besar-besaran," katanya. Tapi untunglah, ternyata 40.000 milisi Slovenia cukup bisa menandingi tentara federal. Sejumlah gerbang perbatasan dengan Hungaria dan Austria yang diduduki pasukan federal bisa direbut kembali, dan dipertahankan sampai sekarang. Sebuah helikopter federal ditembak jatuh. Orang Slovenia sendiri cukup kaget dengan kemampuan tentara mereka. "Saya tak menduga kami bisa seampuh ini dalam mempertahankan diri," kata Matjaa Kovacic, wakil menteri luar negeri Slovenia, yang dikutip surat kabar Asian Wall Street Journal. Pemerintah Federal Yugoslavia tentu saja tak mau menerima begitu saja "kekalahan"-nya. Beograd menuding Slovenia mendapat bantuan tentara Austria ketika merebut sejumlah pos di perbatasan. Menurut orang Slovenia, memang mereka sebelum konflik meletus membeli sejumlah senjata, antara lain senapan mesin dari Austria. Lebih dari itu, tidak. Tapi sebenarnya bisa bertahannya Slovenia mudah dimengerti. Meski Beograd memiliki 180.000 tentara, lebih dari 100.000 adalah anak-anak muda di bawah 20 tahun, sebagian adalah mahasiswa yang terkena wajib militer. Anak-anak muda yang belum lama memegang senjata itulah yang dikirim menyerang Slovenia, karena pasukan federal yang ditempatkan di Slovenia kebanyakan sudah dikepung milisi Slovenia di barak masing-masing. Konon, tentara muda federal bertempur dengan setengah hati, karena tak memahami misi penyerbuan ini. Banyak dari mereka, setelah kelaparan dan kehausan, lalu menyerah. Memang, perbekalan pasukan federal tak direncanakan matang. Atau, markas komando hanya memperkirakan, perang akan berlangsung sehari, selesai. Inilah mengapa Slovenia banyak tahanan tentara federal. Sebaliknya, tentara Slovenia, yang berusia 20 sampai 30 tahun, bertempur dengan motivasi tinggi. Sampai akhir pekan lalu, Slovenia tetap di tangan rakyatnya. Asbari Krisna (Ljubljana)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini