Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Petisi petisi 50

Sejak zaman kesultanan demak, petisi telah menim- bulkan konflik antara ario penangsang dan adiwija- ya. menurut penangsang, kelanjutan kesultanan de- mak berdasarkan musyawarah dan terbuka.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petisi SOETJIPTO WIROSARDJONO ADIPATI Jipang, Pangeran Ario Penangsang, si cucu Raden Patah, merasa dirinya asing dalam konstelasi kadipaten-kadipaten di bawah penguasa Pajang yang menobatkan diri menjadi sultan baru, Sultan Adiwijaya. Bagaimana tidak. Dulu ia merasa bagian yang sah dari Kerajaan Demak di bawah Sultan Trenggana, yang tak lain adalah pamannya. Sejak kemelut yang menyusul kematian Sultan Trenggana meletus, Ario Penangsang pun mengajukan petisi. Isinya, kematian pamannya supaya dibikin terang karena, di luaran, masyarakat resah dan menuduh kematian Sultan Trenggana tak wajar. Tambahan lagi, ada kemelut sekitar penggantian Sultan. Menurut ketentuan, mestinya putra raja Demak yang tertua, Pangeran Aria. Mengapa justru menantunya, Adiwijaya yang Adipati Pajang, yang naik takhta? Pengumuman versi resmi dari Adipati Pajang yang kemudian menobatkan diri sebagai sultan, dan memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang, sungguh mengandung banyak misteri. Ini, menurut petisi Penangsang, perlu dibongkar. Ia mempertanyakan keserakahan Pangeran Adiwijaya yang memboyong semua pusaka Demak ke Pajang tanpa rundingan dulu dengan seluruh keluarga. Benarkah Pangeran Aria, putra sulung Sultan Trenggana dan ahli waris sah Kerajaan Demak tak mau naik takhta, dan memilih secara sukarela menjadi santri, dan menyingkir ke pesanggrahan musim hujan di Prawata? Bukankah itu semua rekayasa si menantu, Adiwijaya? Memang, ada latar belakang pribadi dan perbedaan antara Adiwijaya dan Ario Penangsang. Maka, sejak Adiwijaya naik takhta, sepak terjang Ario Penangsang sering dinilai kurang berkenan oleh pusat kesultanan baru. Usahanya untuk menegakkan ketertiban daerah pesisir dari perompak yang suka menjarah nelayan tak jarang dianggap menginjak kepentingan para tamtama pusat. Semua usaha Penangsang selalu dinilai sumbang oleh kadipaten lain yang merasa lebih dekat peradaban Jawa. Bahkan gegap-gempita sepak terjangnya yang gagah, cerdas, dan terbuka dinilai lebih mengesankan sikap sombong oleh para abdi Kesultanan Pajang. Kepribadian Penangsang yang energik, sigap, dan pantang menyerah sering menyinggung kehormatan Sultan Adiwijaya yang halus, rendah hati, dan pemalu itu. Maka, tatkala Penangsang menyampaikan unek-unek atau petisinya ke alamat Pajang, kesultanan pun geger. Banyak tamtama, tanpa membaca atau peduli untuk mengkaji isi unek-unek itu, langsung saja turut berang. Bahkan Pemanahan, lurah tamtama Kesultanan Pajang, memanggil siaga semua tamtama, prajurit, nayaka, dan punggawa. Mereka diperintahkan untuk memutuskan segala macam hubungan dengan pangeran dari Jipang yang dinilainya congkak dan telah menghina kekuasaan Kerajaan Pajang itu. Seperti umumnya tamtama, segala gejolak dihadapi dengan pendekatan keamanan dan pertahanan kesultanan. Maka, disusunlah daftar dosa Penangsang. Ia dinilai bersikap menantang Sultan Adiwijaya, selaku penguasa Pajang. Segala aib pribadinya disebarkan lewat desas-desus. Itu dilakukan sebagai balasan balik atas desas-desus yang "menjelek-jelekkan" Adiwijaya. Maka, putuslah komunikasi berbudaya antara dua trah kusumo rembesing madu, patriot-patriot yang merintis pembangunan Tanah Jawa setelah keruntuhan Majapahit. Jangankan berbicara atau berunding, perjumpaan pun harus mereka hindari. Bahkan, ada isyarat untuk memberi perlakuan protokoler tanda ketidaksukaan, dengan mengharamkan punggawa dan tamtama Pajang berhubungan dan bertegur sapa dengan orang Jipang. Segala institusi Kesultanan Pajang harus menutup pintu bagi semua yang berbau Jipang atau ada hubungan dengan Pangeran Ario Penangsang. Itulah likuiditas lembut yang dinilai efektif untuk melawan move Ario Penangsang yang menantang kekuasaan Adiwijaya yang perkasa. Ada dua persepsi budaya yang bertolak belakang dalam menangkap nuansa sengketa antara Penangsang dan Adiwijaya ini. Menurut persepsi budaya pesisir, yang menjadi latar belakang Penangsang, tatanan kekuasaan baru Kesultanan Demak dan kelanjutannya haruslah berdasarkan norma-norma terbuka, musyawarah, dan memisahkan secara tegas hal-hal yang hak dari kerancuan tindakan dan cara-cara yang batil. Sebaliknya, Adiwijaya yang berlatar belakang peradaban pedalaman menilai petisi dan cara-cara penyampaian masalah yang dilakukan Penangsang sungguh kurang ajar, menyinggung dimensi peradaban yang paling dasar dalam budaya Jawa. Perkara sedumuk batuk senyari bumi. Sayang, pengertian budaya Jawa mengenai harga diri ini sulit dipahami oleh Penangsang, patriot pesisir yang ditempa oleh kerasnya sejarah kehidupan pantai yang gersang, tough, dan pahit. Sebagai trah Raden Patah, Ario Penangsang dibesarkan oleh kultur Islam yang lugas, terbuka, egaliter, dan tak hipokrit. Apalagi ia selalu dekat dengan kiainya, Sunan Kudus, yang juga pernah menjadi guru Sultan Adiwijaya tatkala muda. Maka temperamen Penangsang yang blak-blakan malah seperti dibanggakan oleh gurunya yang ingin mengajarkan peradaban baru Tanah Jawa purna-Majapahit. Sebaliknya Adiwijaya, tatkala telah matang, lebih dekat dengan Sunan Kalijaga, yang lebih adaptif dan akomodatif ajarannya. Kalijaga adalah arsitek, budayawan, dan seniman yang kemudian menjadi ulama. Ia dinilai Adiwijaya lebih arif dalam menghadapi realitas budaya Jawa. Temperamen Jawa yang halus harus ditampung melalui transisi budaya yang elegan. Karena itu, segala gebrakan yang mengganggu harmoni dan nilai-nilai budaya mapan di Demak yang telah digabungkan ke Pajang dinilai mengancam keutuhan dan kelangsungan cita-cita Raden Patah, kakek moyang kedua protagonis tersebut, yang hendak mengubah Tanah Jawa menjadi pusat peradaban baru. Karena itu, biarpun Adiwijaya masih tetap hormat pada Sunan Kudus, dalam sikap dan kebijaksanaan kebudayaannya ia memilih Sunan Kalijaga sebagai acuan. Maka, tatkala show down sudah sampai batas nadirnya, perjumpaan dua kubu itu tak terelakkan. Pertumpahan darah yang terjadi, menurut saya, bukan penyelesaian sebenarnya dari episode Penangsang-Adiwijaya. Bahkan, cara conflict resolution semacam itu memalukan ahli warisnya yang memimpikan sikap yang makin arif, mampu memetik hikmah "sengketa Pajang" ke penciptaan ketenteraman dan tatanan yang sama sekali baru. Yang dibutuhkan kemudian adalah orientasi peradaban baru yang lebih adiluhung. Yang lebih menjamin pemuliaan peradaban Nusantara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus