Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Konglomerat Menerpa Koran

Konglomerat hiburan Paiboon Damrongchaitham berupaya mengambil alih dua koran besar Thailand. Dia sahabat dekat Perdana Menteri Thaksin.

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bak sansak tinju, Paiboon Damrongchaitham kenyang dihantam dari kanan-kiri selama dua pekan terakhir—entah lewat kritik langsung, demo, maupun sindiran pedas kartun dan parodi. Di depan kantornya yang megah di Bangkok, sejumlah seniman menggelar sebuah kreasi bagi Paiboon pada pekan lalu. Mereka menutupi wajah dengan potret wajah Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang dipasangi kumis secuil mirip dedengkot Nazi, Adolf Hitler. Di sebelahnya disandingkan gambar wajah Paiboon plus poster bertuliskan ”Tak Ada Kebebasan Pers, Tak Ada Demokrasi”.

Di pojok Bangkok lainnya, sekitar 20 wartawan koran berbahasa Inggris terbesar di Thailand, Bangkok Post, mengenakan kaus hitam sembari mengusung tulisan ”Bangkok Post... Post Today.... Tidak Dijual”. Potret wajah Paiboon muncul selama berhari-hari di halaman depan berbagai koran. Mereka mengecam konglomerat bisnis hiburan ini sebagai hantu demokrasi yang memasung kebebasan pers.

Ihwal perseteruan Paiboon dengan media massa Thailand bermula tatkala pemilik jaringan perusahaan hiburan raksasa GMM Grammy itu memborong saham dua koran terkemuka. Mula-mula dia memborong saham Matichon pada 16 September lalu. Setelah itu, dia belanja saham di Bangkok Post sampai 20 persen. Matichon adalah koran berbahasa Thai dengan tiras 500 ribu per hari, dan Bangkok Post koran berbahasa Inggris terbesar dengan tiras 60 ribu per hari. Langkah Pak Paiboon ini kontan memicu reaksi keras, di Bangkok terutama, selama dua pekan terakhir.

Beberapa pengamat meramalkan, hanya soal waktu bagi Paiboon untuk menguasai saham mayoritas Bangkok Post. Sebagian masyarakat menilai tindakan Paiboon menguasai media besar sebagai ancaman bagi kebebasan pers. ”Meski saya bekerja sebagai pegawai negeri, saya tak ingin melihat koran itu menjadi corong pemerintah,” ujar Bhumivisan Kasemsook, 35 tahun, seorang pembaca setia Matichon dan Bangkok Post.

Paiboon sendiri tak cukup tabah menanggung cercaan dari aneka penjuru. Senin lalu, ia menjual kembali 12 persen sahamnya kepada pemilik lama Matichon sehingga bekas penulis teks iklan ini hanya sebentar menjadi pemegang saham terbesar Matichon. Paiboon gerah karena aksi borongnya dinilai tak lagi sekadar soal bisnis. Dia dituduh punya motivasi politik hanya karena dia konco dekat Thaksin.

Tokoh pers Thailand, Yong Thepchai (lihat, Thaksin Ingin Menguasai Media), misalnya, menilai ini tindakan bermotif politik dan menunjukkan ambisi Paiboon untuk mengembangkan kerajaan medianya. Dalam wawancara dengan Tempo via surat elektronik, Yong juga menyebutkan Paiboon amat dekat dengan PM Thaksin—yang sudah sering dituding mengintervensi media.

Thaksin membantah bahwa ia secara diam-diam mengakali upaya pengambilalihan dua koran itu. ”Saya tolol jika melakukan hal itu,” kata Thaksin, yang mengaku kenal secara pribadi dengan Paiboon. Bantahan itu tak memupuskan kecurigaan publik, meski tak ada bukti kasatmata yang mengaitkan kepentingan bisnis dan politik dua sahabat ini. ”Mereka punya agenda yang sama dalam mengontrol media,” ujar Yong, yang juga redaktur senior koran The Nation. Thepchai punya pengalaman pribadi. Ketika perusahaan komunikasi milik keluarga Thaksin mengambil alih televisi swasta ITV pada 2000, Thepchai yang dikenal kritis dan susah diajak kompromi itu didepak dari kursi pemimpin redaksi.

Hal yang paling dikhawatirkan sebagian pengamat media di negeri itu adalah kelak akan banyak investasi asing yang enteng saja memborong saham berbagai media massa Thailand. ”Saya minta media, akademisi, dan politisi mengajukan rancangan undang-undang tentang larangan penguasaan saham media—sebagaimana undang-undang yang menghukum intervensi terhadap media,” ujar Anusorn Srikaew, pengamat komunikasi Universitas Rangsit.

Saat ini Paiboon menguasai hanya 20 persen saham di Matichon dan Bangkok Post. Tapi Anusorn yakin kebebasan pers di Thailand tetap saja di ujung tanduk. Ini alasannya: ”Grammy punya wakil di dewan Matichon, dan yang bisa saja meningkatkan saham (Grammy) kelak.”

Raihul Fadjri (The Nation, Bangkok Post, The Age)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus