MENJELASKAN yang sudah jelas, barangkali itulah keputusan rapat Politbiro Partai Komunis Cina pekan lalu. Bunyi keputusan itu, kapitalisme tak selalu jelek. Karena itulah Cina akan menempuh jalan kapitalis dan penelusuran itu akan berlangsung selama 100 tahun "tanpa ragu". Itulah yang diberitakan kantor berita Cina, Xinhua. Sejak Deng Xiaoping melancarkan reformasi ekonomi dan menjalankan politik pintu terbuka, tidak lama setelah ia terpilih lagi sebagai sekjen Partai Komunis Cina (PKC), boleh dibilang Cina sudah menjalankan ekonomi kapitalistis. Bahwa itu perlu ditegaskan kembali lewat rapat Politbiro, tampaknya ada latar belakang yang menarik disimak. Menurut kantor berita milik pemerintah itu, Xinhua, rapat badan tertinggi partai itu berlangsung selama dua hari, 9 dan 10 Maret, dipimpin langsung oleh Ketua PKC, Jiang Zemin, tokoh yang dielus Deng Xiaoping untuk menggantikannya. Rincian keputusan rapat, antara lain: Reformasi dan politik pintu terbuka akan dipertahankan terus Ekonomi pasar akan makin berperanan Dan untuk mencapai itu, PKC akan memprioritaskan pembangunan ekonomi dan penggunaan cara-cara kapitalis. Ada halhal yang segera dapat dicium. Penegasan kata "kapitalis" merupakan satu "kemajuan" besar bagi Politbiro, yang kabarnya masih dikuasai mayoritas garis keras itu. Deng Xiaoping sendiri selama ini lebih suka menggunakan istilah yang lebih "halus", yakni kapitalisme dengan karakteristik Cina. Bisa jadi, setelah meninjau selatan, tempat eksperimen ekonomi kapitalistis dijalankan, Deng yakin bahwa memang jalan kapitalis harus ditempuh. Karena itu, dilihat dari perang tanding garis kerasreformis dalam kepemimpinan puncak di Cina sejak terjadinya pembantaian di Tiananmen, pertengahan 1989, ada yang menyimpulkan keputusan Politbiro mencerminkan kemenangan kaum reformis. Pernyataan itu penting, katanya, sebagai prolog menjelang Kongres ke-14 PKC yang akan berlangsung pada musim gugur tahun ini. Dalam forum itulah akan terjadi pertempuran terakhir yang menentukan antara reformisme dan konservatisme. Kemenangan yang sekarang akan menjadi bekal untuk pertarungan nanti. Pengamat lain melihat, sebenarnya kekalahan garis keras seberapa besar dalam rapat Politbiro itu. Desasdesus di Beijing mengatakan bahwa dua tokoh garis keras utama dalam Politbiro, Yao Yilin dan Song Ping, mengajukan protes keras. Keduanya tetap mempertanyakan sampai di mana reformisme dapat ditoleransi agar tidak mengganggu standar kesadaran ideologi. Bahwa akhirnya keputusan mengambil "jalan kapitalis" jadi juga diumumkan, bisa jadi kedua tokoh garis keras itu mengalah untuk sementara, mempersiapkan pertarungan di kongres partai nanti. Walhasil, keputusan Politbiro pekan lalu belum sepenuhnya mencerminkan kemenangan reformis. Hanya, sebenarnya pengaruh kaum garis keras di Cina sudah tidak berarti lagi. Seandainya pun kaum reformis tersingkir pada kongres partai nanti, banyak pengamat menduga Cina tak akan bergeser dari ekonomi kapitalistisnya yang sekarang ini. Reformasi sudah tidak dapat dibelokkan, apalagi dihentikan. Cina tidak dapat memutar lagi jarum jam untuk kembali ke zaman Mao, ketika ideologi dan politik sebagai panglima. Hampir semua orang Cina kini mengumandangkan slogan yang dulu dikatakan oleh Deng Xiaoping: "Menjadi kaya itu mulia." Dewasa ini lebih dari 40% kegiatan ekonomi sudah berada di tangan swasta. Itu disebabkan kebangkrutan banyak BUMN. Menasionalisasikan kembali perusahaan-perusahaan yang sudah diswastakan sama saja dengan bunuh diri. Jadi, keputusan Politbiro memang menjelaskan yang sudah gamblang. Pernyataan itu tampaknya tak ada kaitannya dengan apakah Cina akan kembali ke zaman Mao atau Cina tancap gas di jalan kapitalis, yang kini sudah ditempuhnya. Lalu apa? Seorang ekonom bekas anggota Konperensi Konsultatif Politik di Cina, Qian Jiaju, menulis di surat kabar Singapura, Straits Times. Dia yang meninggalkan Cina sebentar setelah Peristiwa Tiananmen meledak dan kemudian tinggal di Amerika Serikat ini menduga bahwa yang terjadi lebih dari pertarungan membawa Cina kembali ke jalan Mao atau meneruskan jalan Deng, tapi pertarungan antarfaksi. Maksudnya perebutan kekuasaan antara faksi garis keras dan faksi reformis. Inilah masalah sebenarnya di Cina kini. Qian Jiaju melihat sejarah Cina berulang. Dulu, tulisnya, Mao pun menghendaki agar rakyat didorong menghidupkan ekonomi swasta yang dapat menguntungkan ekonomi nasional dan kehidupan rakyat itu sendiri. Maka, dibuatlah model wilayah untuk melaksanakan ekonomi swasta itu, yakni di Distrik Xushui, Provinsi Hebei. Sukses, bahkan Liu Shaoqi, waktu itu Wakil Ketua Partai, menyatakan bahwa perjuangan kelas di Cina selesai. Yang menjadi masalah bagi rakyat Cina tinggal meningkatkan ekonomi rakyat dan produktivitas industri. Namun, Ketua Mao tampaknya melihat semua itu dari kacamata lain. Menurut Qian Jiaju pula, Mao memandang kemajuan Cina sampai waktu itu, pertengahan 1950-an, sebagai upaya dari sorang revisionis macam Liu Shaoqi. Maka, berbagai pembersihan "kaum kanan" dilancarkan Mao. Liu Shaoqi sendiri tak disentuh Mao, malah kemudian ia diangkat menjadi kepala negara. Baru lewat Revolusi Kebudayaan, Liu Shaoqi ditahan dan setahun kemudian meninggal di penjara. Hasil pembersihan "kaum kanan" dan dikembalikannya ekonomi sosialis, tulis Qian Jiaju, adalah 27 juta rakyat mati kelaparan. Bila memang sejarah berulang, mungkin benar. Terlalu dini untuk mengatakan kini kaum reformis telah mengantungi kemenangan berarti. Masalahnya adalah siapa pemegang kekuasaan sebenarnya. Kini orang menduga itulah Deng dan kebetulan dialah yang melancarkan reformasi ekonomi. Maka wajar, saja bila kaum reformis di atas angin. Bahkan, setelah Peristiwa Tiananmen dan sekjen Zhao Ziyang yang dituduh ikut mendalangi demonstrasi dipecat, tokoh reformis itu toh tidak diadili. Maka, bila sampai kongres partai nanti Deng, kini 87 tahun, masih sehat dan berkuasa, tampaknya kaum reformis masih akan di atas angin. Lain soalnya bila sebelum kongres terjadi sesuatu pada Deng, umpamanya meninggal. Perebutan kekuasaan mungkin berlangsung dan siapa yang akhirnya berada di pucuk pimpinan, itulah yang akan mewarnai reformasi atau bukan reformasi Cina. Dan bila Qian Jiaju benar, jalan kapitalis tetap akan ditempuh meski mungkin saja namanya lain. Pertarungan di Cina kini bukan soal ideologi, tapi lebih pada persaingan kelompok, memperebutkan kekuasaan. Seiichi Okawa (Tokyo), ADN, dan BB (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini