Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mendadak membatalkan pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas, yang sedianya berlangsung di Ramallah, Tepi Barat, Senin tiga pekan lalu. Padahal saat itu Otoritas Palestina sudah telanjur mengundang banyak wartawan untuk meliput kedatangan Kerry ke Ramallah. Setelah mereka menanti dua jam, konfirmasi batalnya kedatangan Kerry baru diterima. Wartawan lalu diminta meninggalkan kantor kepresidenan Palestina.
Beberapa media Israel, seperti dilansir Turkish Press, menyebutkan pertemuan itu batal akibat molornya pertemuan Kerry dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Baitul Maqdis, Yerusalem Barat, yang berlangsung sampai empat jam. Kerry memang awalnya dijadwalkan mengunjungi Palestina dan Israel untuk membujuk kedua pihak agar mau memperpanjang masa pembicaraan damai yang akan berakhir pada 29 April.
Perundingan damai kedua negara itu sempat terhenti selama tiga tahun. Perundingan kembali digelindingkan sejak Juli 2013 atas prakarsa Kerry. Namun pembicaraan kali ini lagi-lagi terancam mandek karena kedua pihak sama-sama melanggar prasyarat bagi dibukanya kembali perundingan.
Hanya sebulan sebelum batas waktu 29 April untuk membangun kerangka perdamaian, Israel mengingkari komitmennya. Negara itu tiba-tiba menolak membebaskan 26 warga Palestina-pembebasan gelombang terakhir-yang ditahan sejak sebelum Perjanjian Oslo 1993. Bukan hanya itu, pemerintah Israel juga menyetujui lelang 708 unit rumah dibangun di Yerusalem Timur, yang merupakan wilayah pendudukan.
Saeb Erekat, juru runding Palestina, mengancam akan mengakhiri perundingan jika hingga tenggat 29 April tak tercapai kesepakatan. "Tidak ada artinya memperpanjang negosiasi ini, bahkan untuk tambahan satu jam saja, jika Israel yang diwakili oleh pemerintahnya saat ini terus mengabaikan hukum internasional," katanya.
Menanggapi keputusan Israel tentang tahanan, Palestina mengajukan permohonan sebagai anggota di 15 organisasi internasional yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bergabung dengan beberapa organisasi internasional merupakan salah satu syarat untuk bisa menyeret Israel ke Pengadilan Kriminal Internasional.
Abbas mengumumkan keputusan itu melalui siaran televisi nasional. Menurut dia, pemimpin Palestina dengan suara bulat menyetujui keputusan melamar menjadi anggota di 15 badan PBB dan perjanjian internasional, dimulai dengan Konvensi Jenewa. "Ini bukan gerakan melawan Amerika atau pihak lain, melainkan adalah hak kami. Kami sepakat menangguhkan itu selama sembilan bulan," ujar Abbas, seperti dilansir Al-Jazeera.
Mengenai keanggotaan di Konvensi Jenewa-organisasi internasional yang mengatur perang dan hukum konflik bersenjata-Pierre-Alain Eltschinger dari Kementerian Luar Negeri Swiss menyatakan Palestina telah memberitahukan keinginan bergabung pada 2 April. Swiss telah mendaftarkan Palestina secara resmi pada Kamis dua pekan lalu.
Palestina sebelumnya menahan diri dari upaya menjadi anggota badan-badan internasional dan menunda mencari tindakan hukum bagi Israel selama jangka waktu sembilan bulan perundingan. Penundaan ini merupakan kesepakatan yang dibuhul pada Juli 2013 sebagai balasan atas kesediaan Israel membebaskan 104 tahanan Palestina dalam empat gelombang.
Sebagai penengah negosiasi, Kerry mengatakan situasi itu sebagai saat-saat kritis bagi proses perdamaian. "Kami bisa saja menjadi fasilitator dan mendorong perundingan. Tapi kedua pihak sendiri yang harus membuat keputusan mendasar untuk berunding," katanya seperti dikutip Associated Press.
Juru bicara Gedung Putih, Jay Carner, menuding keputusan Israel menimbulkan hambatan bagi upaya perdamaian. "Keputusan Israel yang menunda membebaskan tahanan gelombang keempat justru menciptakan tantangan," ujarnya.
Washington kini menimbang kembali apakah akan terus menengahi pembicaraan yang disebut oleh juru bicara Gedung Putih sebagai "tindakan tidak membantu" oleh kedua belah pihak dalam konflik itu. Kerry dalam kunjungannya ke Maroko dua pekan lalu menilai sudah waktunya "melihat realitas" bahwa upaya Amerika juga ada batasnya, jika pihak yang berkonflik tak mau bergerak maju.
Jim Phillips, peneliti senior untuk urusan Timur Tengah konservatif, yang berbasis di Washington Heritage Foundation, mengatakan kegagalan tentatif perundingan damai ini telah merusak reputasi Kerry. "Karena dia salah membaca situasi," katanya kepada Deutsche Welle.
Menurut Phillips, Kerry gagal memperhitungkan keadaan bahwa pemerintahan Abbas tidak mencakup Jalur Gaza, yang dikuasai kelompok Islam militan Hamas. "Selama ada Hamas, perundingan bisa gagal karena otoritas Palestina justru melancarkan aksi terorisme, yang membuat Israel menolak konsesi," katanya.
Kerry dianggap berharap terlalu tinggi terhadap keberhasilan proses perundingan sehingga mencurahkan waktu lebih banyak untuk masalah ini, sementara mengabaikan hal dan topik lain yang lebih mendesak. Akibatnya, Ia banyak menuai kritik dari pihak oposisi dan dari politikus di dalam pemerintah Presiden Barack Obama.
Namun Obama tetap mendukung menteri luar negerinya itu. "Saya memuji cara John Kerry menangani masalah ini," katanya. Obama menyerahkan sebagian besar penyelesaian masalah Timur Tengah kepada Kerry dan hanya ikut campur pada bulan-bulan terakhir perundingan untuk menekan Abbas dan Netanyahu ke arah tercapainya kesepakatan.
Otoritas Palestina memang mengaku belum akan menutup pintu perundingan. Abbas mengatakan siap bernegosiasi sampai hari terakhir dari sembilan bulan batas waktu perundingan yang disepakati. Begitu pula Netanyahu, yang mengaku tak akan mengakhiri pembicaraan. Tapi, sebagaimana diakui juru runding Israel, jalan ke arah sana tampaknya bakal sangat terjal. Masalahnya adalah dominasi kaum garis keras di dalam Israel sendiri, terutama di tubuh pemerintah. "Ada orang-orang di kalangan pemerintah yang tak menginginkan perdamaian," kata juru runding Israel, Tzipi Livni, kepada situs Ynet, seperti dilansir media Israel, Haaretz.
Livni menuturkan bagaimana Partai Jewish Home yang dipimpin Naftali Bennett berusaha menggagalkan usaha Netanyahu berunding dengan Palestina. Bennett, yang dalam pemerintahan menjabat Menteri Ekonomi, dan Menteri Perumahan Uri Ariel dari partai yang sama merupakan pendukung kuat permukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki Israel. "Bennett dan Uri Ariel mewakili mereka yang ingin mencegah proses perdamaian," ujar Livni.
Bennett, mitra utama dalam koalisi pemerintahan Netanyahu, pada Jumat dua pekan lalu mengancam akan mundur jika untuk menyelamatkan perundingan damai dengan Palestina ada konsesi pembebasan tahanan. "Perjanjian jika mencakup pembebasan pembunuh berkewarganegaraan Israel merusak kedaulatan Israel. Jika usul itu disetujui, Jewish Home akan mundur dari pemerintahan," kata Bennett dalam pernyataannya, seperti dilansir Reuters.
Menteri Perumahan dan Konstruksi Uri Ariel mendukung pernyataan Bennett. Sehubungan dengan negosiasi antara Palestina dan Israel, dalam sebuah konferensi pers di Yerusalem, dia menyatakan antara Laut Tengah dan Yordania hanya akan ada satu negara, yaitu Israel. Menurut dia, orang Israel tak akan menyerahkan tanahnya dan tempat tinggalnya. "Kami sudah berada di Rumah Yahudi dan kami tidak akan menandatangani surat-surat berisi konsesi dan penarikan tanah Israel," ujarnya.
Ultimatum itu dianggap bakal mempersulit upaya Amerika meneruskan perundingan kedua belah pihak. Partai Bennett menempati 12 dari 68 kursi koalisi yang sekarang berkuasa di Knesset (parlemen). Jika partai ini betul-betul menarik diri, Netanyahu harus mencari mitra lain untuk mempertahankan mayoritas di parlemen yang terdiri atas 120 kursi.
Sampai saat ini belum ada komentar dari pihak Netanyahu. Tapi anggota senior Partai Likud yang dipimpin Netanyahu menepis pernyataan Bennettdan menyebutnya sekadar "gertak sambal".
Rosalina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo