Perdana menteri Jepang, kata orang, sekadar wayang yang digerakkan oleh dalang di belakang layar. SUATU hari, belum lama, di sebuah restoran Prancis di Tokyo. Tampak tiga orang menikmati hidangan malam. Noboru Takeshita, Shin Kanemaru, dan Ichiro Ozawa. Mereka bukan hanya sekadar makan enak, tapi rupanya sedang merundingkan kira-kira siapa yang layak menggantikan Toshiki Kaifu sebagai perdana menteri. Mereka memang bukan sembarang bos. Kata orang Jepang, merekalah dalang politik Jepang masa kini. Akhirnya mereka sepakat menunjuk Kiichi Miyazawa, satu di antara tiga calon kuat yang berlomba-lomba mengusik kantor pribadi Ichiro Ozawa, pelaksana keputusan-keputusan Kanemaru. "Mungkin ada yang protes, tapi terpilihnya Miyazawa merupakan hal yang wajar," kata Kanemaru pada pers, Jumat pekan lalu. Tapi protes macam apa yang bisa membatalkan keputusan Kanemaru? Bila ia, hanya dengan mengangkat telepon, bisa menyuruh Kaifu mundur? "Seperti seekor katak yang tak berdaya di depan seekor ular," kata seorang pengamat politik Jepang tentang Kaifu yang menerima telepon itu. Shin Kanemaru, 77 tahun, yang disebut-sebut dalang utama itu, oleh majalah Inggris The Economist dikarikaturkan sedang memegang mangkuk berisi tiga orang. Salah satu isi mangkuk diambilnya dengan sumpit. Mungkin itulah Miyazawa. Datang dari keluarga pembuat sake, perjalanan Kanemaru menjadi dalang dilatarbelakangi sakit hati terhadap pejabat pajak. Ketika ia menggantikan ayahnya memegang perusahaan sake dan pabrik oksigen, Kanemaru merasa adanya "hambatan politik". Petugas pajak selalu curiga dan mencari kesalahannya, meski ia sudah melunasi kewajibannya. Perlakuan seperti itu menyebabkan Kanemaru ingin menjadi orang pemerintah dan, "Pelan-pelan saya tertarik untuk terjun ke dunia politik," tulisnya dalam riwayat hidupnya, yang dimuat harian Nihon Keizai pada 1988. Beberapa tahun kemudian, pada usia 44 tahun, ia berhasil meraih hampir 70.000 suara, dan menjadi anggota majelis rendah dari Provinsi Yamanashi, barat Tokyo, provinsi kelahirannya. Di tempat kelahirannya, namanya memang populer sebagai pembikin sake. Kemudian Kanemaru masuk jadi anggota faksi Eisaku Sato, fraksi terkuat Partai Demokrasi Liberal, 1958. Sejak itu, ia menapaki tangga karier politiknya dengan perlahan-lahan. Ia pernah diangkat jadi direktur jenderal. Di masa Perdana Menteri Kakuei Tanaka, 1972-1974, ia jadi menteri. Waktu itu, Kanemaru belum begitu menonjol, karena tak berani menentang Tanaka "sang buldoser" yang sangat mempengaruhi kancah politik Jepang. Tapi, begitu Tanaka mundur akibat skandal Lockheed, dan terbaring sakit karena terserang penyakit otak, Kanemaru mulai unjuk gigi. Ia mendukung Takeshita, teman dekatnya, yang kala itu melakukan kudeta mini di dalam faksi Tanaka, dan membentuk faksi Takeshita, Juli 1987. Faksi ini menjadi fraksi terbesar di Partai Demokrasi Liberal sekarang ini. Kesempatan emas tak disia-siakan Kanemaru, ketika anak sulungnya, Yasunobu Kanemaru, menaksir Kazuko Takeshita, putri sulung sahabatnya itu. Akhirnya, Kanemaru pun berbesan dengan Takeshita. Ketika Takeshita terpaksa mengundurkan diri sebagai perdana menteri karena Skandal Recruit, dua tahun lalu, Kanemaru pun jadi ketua faksi. Sejak saat itulah, pemegang 20% stasiun TV dan radio di Provinsi Yamanashi ini memainkan peranannya sebagai godfather politik Jepang dan menguasai Partai Demokrasi Liberal. Masa muda godfather ini tak banyak diketahui. Di antara yang tak banyak itu antara lain, ia pernah ikut wajib militer dan dikirim ke Manchuria, Cina, sebagai tukang telegram. Setelah tamat dari Universitas Pertanian Tokyo, ia menjadi guru biologi di sebuah SMA di Provinsi Yamanashi. Istri pertamanya meninggal karena serangan jantung ketika Kanemaru memulai karier politiknya. Ia kemudian kawin dengan Etsuko, yang memberinya tiga anak. Sebagai penyandang sabuk hitam Judo Dan 7, Kanemaru sangat menguasai teknik Newaza. Kemahirannya mengunci lawan dalam posisi terbaring dianggap oleh sementara politikus Jepang mencerminkan bahwa ia tak punya kebijaksanaan atau wawasan politik apa pun "kecuali sekadar lobi sana-sini". Kegagalannya dalam perundingan normalisasi hubungan Tokyo-Pyongyang, tahun silam, merupakan salah satu bukti bahwa Kanemaru, "Tak punya inisiatif," tulis media massa Jepang. Tapi punya inisiatif atau tidak seorang dalang dalam dunia politik Jepang tetap saja punya kuasa. Sepanjang 36 tahun sejarah Partai Demokrasi Liberal, sudah 25 kali dilakukan pemilihan ketua, dan sepuluh kali di antaranya ketua ditentukan langsung oleh sang godfather. Sebagaimana dalang berkuasa memasukkan wayangnya dalam kotak siapa pun yang kena tunjuk tak pula mampu menolak. Bagi para dalang menjadi perdana menteri Jepang bagaikan menjadi samurai, bila perlu mengorbankan apa pun, termasuk kesehatannya. "Seorang politikus harus berani mengorbankan nyawanya bila perlu," kata Kanemaru suatu ketika, yang dikutip majalah Time. Itu sebabnya, bila tak terjadi apa pun dengan Miyazawa, orang sudah yakin siapa perdana menteri berikutnya. DP (Jakarta) & SO (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini