Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah Pulau untuk Rohingya

Pemerintah Bangladesh tak bisa meyakinkan pengungsi Rohingya untuk pindah ke Pulau Bashan Char. Masalah keselamatan dan kesinambungan ekonomi.

30 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah alat berat terlihat di proyek perumahan bagi pengungsi Rohingya, di Bahashan Char, Bangladesh, Februari 2018. REUTERS/Stirnger

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bangladesh menyiapkan Bashan Char untuk menampung sebagian pengungsi Rohingya.

  • Tidak ada pengungsi yang bersedia pindah ke Bashan Char karena alasan keselamatan.

  • Dunia internasional didesak memboikot Myanmar untuk mengakhiri krisis Rohingya.

BERHARI-HARI terapung di atas kapal nelayan di Teluk Benggala, akhirnya lebih dari 250 pengungsi Rohingya yang lari dari kekejaman militer Myanmar tiba di daratan Bangladesh, pertengahan Mei lalu. Menurut Dhaka Tribune, para pengungsi ini lalu dibawa oleh Angkatan Laut Bangladesh dan ditempatkan di sebuah pulau di selatan negara itu yang telah dipersiapkan lama untuk mereka: Bashan Char.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 3 Mei lalu, ada 29 orang Rohingya bernasib serupa. Mereka berhari-hari terlunta-lunta di kapal ikan di tengah laut. Niat mereka untuk masuk Malaysia gagal karena ketatnya patroli. Setidaknya lebih dari dua lusin orang dilaporkan meninggal di laut. Mereka akhirnya juga dibawa militer Bangladesh ke Bashan Char.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menempatkan para pengungsi Rohingya di Bashan Char adalah rencana lama Bangladesh yang banyak menemui hambatan. Sebagian pengungsi enggan pindah karena alasan keselamatan dan memilih tetap berdesak-desakan di kamp pengungsian Cox's Bazar. Badan bantuan dan kemanusiaan internasional juga punya kekhawatiran sama jika pengungsi menghuni “pulau baru” itu.

“Karena pulau itu tidak cocok dihuni manusia, lembaga bantuan dan organisasi hak asasi manusia menentang gagasan memindahkan pengungsi ke sana. Pulau ini dapat menghilang kapan saja karena ia tidak ada sekitar 20 tahun yang lalu,” kata Nay San Lwin, juru bicara Koalisi Pembebasan Rohingya, kepada Tempo, Rabu, 27 Mei lalu. “Saya khawatir angin topan yang serius dapat melenyapkan mereka.”

Pengungsi Rohinya saat masih berada di kamp pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh, Maret 2019. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

Bashan Char, yang juga dikenal sebagai Char Piya, adalah sebuah pulau di Hatiya Upazila, Bangladesh. Terletak di Teluk Benggala, hampir 60 kilometer dari pantai, pulau ini membentang 40 kilometer persegi. Menurut Nay San Lwin, pemerintah Bangladesh sudah mempersiapkan bangunan, masjid, dan infrastruktur pendukung lain di sana pada sekitar 2005 untuk bisa menampung pengungsi Rohingya.

Muslim Rohingya mengalami penindasan cukup lama di Myanmar dan mulai mengungsi ke negara tetangganya itu sejak 2000-an. Mereka tidak diakui sebagai warga negara di Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha, serta kerap menghadapi diskriminasi dan kekerasan.

Puncaknya terjadi pada 2017, yang menyebabkan sekitar 700 ribu orang Rohingya lari dari Myanmar setelah militer negara itu, Tentara Arakan atau Tatmadaw, melakukan kekerasan dengan dalih memerangi kelompok bersenjata di Negara Bagian Rakhine. Militer dituduh melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah dalam upaya penumpasan tersebut. Para pengungsi berusaha lari ke Malaysia dan Indonesia, tapi sebagian besar berakhir di Bangladesh dan tinggal di kamp-kamp di Cox's Bazar.

Rencana Bangladesh merelokasi pengungsi Rohingya ke Bashan Char diungkapkan pemerintah pada 2015. Namun baru pada April 2018 pemerintah memberikan pengarahan kepada badan bantuan dan kemanusiaan internasional tentang rencana pemindahan sekitar 100 ribu orang Rohingya itu.

“Kami tidak akan menemukan cara untuk pindah ke tempat yang lebih aman jika pulau itu, yang dikelilingi air, terkena banjir,” ujar Masuda Begum, pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi Jamtoli di Cox's Bazar, kepada Voice of America (VOA). Pengungsi lain, Nurul Kader, mengatakan, “Untuk bertahan hidup, di sekitar kita perlu tanah pertanian dan hutan, yang tidak ada di sana.”

Kekhawatiran para pengungsi itu memang beralasan. Seorang pejabat departemen pertanahan setempat mengatakan kepada VOA bahwa sebagian besar pulau itu terendam pada saat air pasang. Tanah di Bashan Char memang tidak stabil dan butuh waktu setidaknya 20 tahun agar sebagian kecil areanya bisa ditanami.

Pembangunan rumah dan infrastruktur di pulau itu selesai pada 2019. “Jika pergi ke Bashan Char, orang Rohingya dapat melakukan hal yang sama seperti di Rakhine. Mereka bisa memancing, beternak sapi, dan bertani,” tutur Menteri Luar Negeri Bangladesh A.K. Abdul Momen, seperti dilansir Dhaka Tribune. Untuk mengatasi banjir juga sudah ada dua bendungan.

Hanya, kata Nay San Lwin, upaya pemerintah meyakinkan pengungsi agar pindah belum membuahkan hasil. Pemerintah menuding ada peran badan internasional di belakang keengganan pengungsi itu. Selain soal komunikasi di Bashan Char, lokasinya jauh dari tempat tinggal para pekerja kemanusiaan di sekitar Cox's Bazar.

Wakil Direktur Divisi Asia Human Rights Watch Phil Robertson mengatakan badan dunia tidak mendukung karena mereka tidak diberi kesempatan mengkaji keamanan pulau itu. “Tidak ada yang akan mendukung Bashan Char tanpa penilaian nyata apakah itu aman, manusiawi, berkelanjutan, dan dapat digunakan secara logistik. Pemerintah Bangladesh mencegah Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan penilaian seperti itu,” ucapnya kepada Tempo, Kamis, 28 Mei lalu.

Selain itu, kata Robertson, ada keraguan serius tentang kelayakan ekonomi di pulau tersebut tanpa dukungan berkelanjutan dari pemerintah Bangladesh. “Jadi apa yang akan terjadi jika ada masalah dengan pasokan dari pemerintah? Orang tidak bisa menanam padi di sawah salin,” ujarnya. “Bangladesh harus membatalkan gagasan mengirim pengungsi Rohingya ke Bashan Char.”

Kegusaran Bangladesh ini juga karena merasa harus menanggung sendirian masalah Rohingya. Abdul Momen mengatakan semua negara dan badan hak asasi manusia melihat ke Bangladesh setiap kali ada orang Rohingya yang terkatung-katung di Laut Andaman atau Samudra Hindia. “Seolah-olah karena kita telah melindungi 1,1 juta orang Rohingya, maka kita juga harus memberikan perlindungan kepada yang lain,” katanya. Dia menegaskan bahwa Bangladesh tidak memiliki tempat untuk menampung lebih banyak orang Rohingya dan negara-negara lain juga punya tanggung jawab ikut menanggung beban tersebut.

Saat rapat daring (online) dengan delegasi negara Eropa, Rabu, 20 Mei lalu, Abdul Momen berusaha meyakinkan mereka bahwa pemerintah akan selalu melindungi kaum Rohingya. Namun ia menekankan bahwa menyediakan tempat tinggal bagi orang Rohingya bukan tanggung jawab Bangladesh saja. Dia juga menyampaikan soal kesepakatan dengan Myanmar untuk memulangkan mereka sejak tiga tahun lalu, tapi hingga kini belum ada satu pun orang Rohingya yang kembali ke rumahnya. Ia mengimbau Uni Eropa memberikan lebih banyak tekanan agar ada repatriasi yang aman ke Myanmar.

Nay San Lwin mempersoalkan sikap lembek dan tidak responsifnya masyarakat internasional atas kekejaman terhadap Rohingya di Myanmar. Ia memberi contoh soal gugatan terhadap Myanmar yang hanya dilakukan Gambia, negara kecil di Afrika. “Yang paling mendesak adalah mengambil tindakan terhadap Myanmar. Sanksi sangat diperlukan oleh setiap negara untuk mengakhiri genosida Rohingya. Boikot Myanmar akan memperbaiki sikap para penjahat di Myanmar, baik pemerintah maupun militer,” ujarnya.

Phil Robertson juga mendesak Bangladesh menekan Organisasi Kerja Sama Islam bersikap tegas dan mengeluarkan resolusi soal ini. Ia juga mendesak ASEAN dan pemerintah negara lain meningkatkan tekanan kepada Myanmar untuk mempertanggungjawabkan apa yang terjadi terhadap orang Rohingya. “Tatmadaw dan kaki tangan mereka dalam pemerintahan sipil yang dipimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) saat ini tidak memiliki niat untuk mengizinkan kembalinya Rohingya ke Rakhine. Komunitas dunia harus menemukan tuas yang tepat untuk mengatasi sikap keras kepala Myanmar ini,” katanya.

ABDUL MANAN (DHAKA TRIBUNE, AL JAZEERA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus