Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Audit Badan Pemeriksa Keuangan menaksir kerugian impor ini mencapai Rp 20 miliar.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan tiga tersangka dugaan korupsi impor daging ini.
Pengusaha Indra Hasan disebut dalam audit BPK.
SEPANJANG tujuh bulan lalu, Agus Andiyani mondar-mandir di kantor Unit III Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi V Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Direktur Utama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) periode Juli 2016-April 2020 itu menjadi saksi dugaan korupsi penjualan karkas sapi segar impor asal Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada penyidik, ia menceritakan duduk perkara bisnis daging sapi segar asal Australia antara PT PPI dan kongsinya, perusahaan berinisial PT ANSM, yang berlangsung sejak Oktober 2016 hingga awal 2017. PT PPI membeli karkas impor seharga Rp 68 ribu per kilogram dari Negeri Kanguru. “Saya menjelaskan semua kepada penyidik,” kata Agus, Kamis, 28 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas cargo memeriksa kontainer berisi daging sapi impor dari Australia yang didatangkan oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) setibanya di kawasan Cargo Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (17 Juni 2016). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/16
Alih-alih menerima laba, penjualannya malah di bawah harga modal. Perusahaan pelat merah itu menjual karkas tersebut Rp 40 ribu per kilogram. Total transaksi mencapai Rp 33 miliar. Namun, hingga kini, PT ANSM belum membayar penuh transaksi tersebut. Polisi menduga negara merugi akibat jual-beli ini.
Selain Agus, puluhan saksi lain diperiksa. Setelah mengumpulkan keterangan, penyidik menerbitkan surat perintah penyidikan bernomor Sprin.Sidik/1212/IV/RES.3.3/2020/Ditreskrimsus pada 14 April lalu. Penyidik menetapkan Direktur Komersial PT PPI berinisial TAS dan anggota staf manajer berinisial TF sebagai tersangka.
EJJB, Direktur Utama PT ANSM, turut menjadi tersangka. Agus tak terjerat. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus belum mengetahui alasan penyidik. “Saya masih mencari info. Direkturnya baru ganti, jadi belum tahu juga soal kasus ini,” ujar Yusri.
•••
KORUPSI daging di PT Perusahaan Perdagangan Indonesia diduga berlangsung sejak di hulu. Penyelewengan diduga terjadi saat pengajuan kuota dan proses impor karkas sapi. Majalah Tempo pada Juni 2016 menuliskan PT PPI seakan-akan menerima “durian runtuh” karena pemerintah mendadak memberi jatah impor 29.500 ton daging sapi pada tahun itu.
Pada masa itu, masyarakat tengah bersiap menyambut Lebaran. Harga daging sapi melonjak hingga dua kali lipat. Sementara itu, stok daging dalam negeri menipis. Kementerian Perdagangan memutuskan menambah jatah impor sebagai salah satu cara meredam harga daging membubung di pasar.
Kementerian Pertanian pernah menolak mengeluarkan surat rekomendasi impor karena PT PPI tak mengantongi sertifikat nomor kontrol veteriner. Surat ini menjadi syarat utama importir agar tercatat di sistem importasi Kementerian Pertanian. Kebijakan ini menyebabkan jatah impor PT PPI sebelumnya sebesar 10 ribu ton beralih ke Perusahaan Umum Bulog.
Kementerian diduga berubah pikiran karena lobi seorang petinggi di lembaga telik sandi. Ia disebut mengundang sejumlah pejabat Kementerian Pertanian ke kantornya di Jakarta Selatan pada Mei 2016, tiga pekan sebelum PT PPI menerima surat rekomendasi impor 29.500 ton daging sapi.
Dalam laporan Tempo waktu itu, petinggi lembaga intelijen tersebut disebut meminta Kementerian Pertanian mengeluarkan izin impor karena PT PPI akan menerima suntikan modal Rp 800 miliar dari PT Ficorp. Perusahaan ini milik Indra Hasan, pengusaha yang dikenal memiliki jaringan peternakan sapi di Australia. Indra akan menggunakan “bendera” PT PPI saat mengimpor daging.
Belakangan, nama PT Ficorp muncul dalam laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan. Tim Auditorat Utama Keuangan Negara VII memeriksa pengelolaan pendapatan, pengendalian biaya, kegiatan investasi, dan pengelolaan aset tetap PT PPI tahun 2015 dan 2016. “Laporan kami selesai pada 2017,” kata anggota BPK, Achsanul Qosasi, pada Kamis, 28 Mei lalu.
Auditor menemukan kejanggalan dalam pelaksanaan impor tersebut. PT PPI menjalin kerja sama impor daging sapi sebanyak 29.500 ton dengan PT Ficorp melalui perjanjian yang diteken pada 10 Juni 2016. Direksi PT PPI diduga menunjuk langsung PT Ficorp. “Padahal PPI itu punya lisensi impor, semestinya bisa langsung tanpa melalui calo Ficorp,” ujar Achsanul.
Laporan BPK juga menyebutkan Direktur Utama PT PPI kala itu, Dayu Padmara Rengganis, beralasan memilih PT Ficorp sebagai pemasok lantaran perusahaan tersebut berpengalaman dalam impor daging sapi dan memiliki peternakan di Australia. “Akan tetapi Direktur Utama PT PPI tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung terkait dengan hal tersebut,” tulis laporan audit BPK.
Dayu tak merespons panggilan telepon dan pesan WhatsApp Tempo soal proses kerja sama impor daging ini hingga Sabtu, 30 Mei lalu. Ia juga tak membalas surat permohonan wawancara yang dikirim lewat nomor WhatsApp miliknya pada Kamis, 28 Mei lalu.
Laporan audit BPK menyebutkan jangka waktu kontrak kerja sama PT PPI dengan Ficorp berlangsung tujuh bulan. Namun batas pemberian kuota impor daging sapi dari Kementerian Perdagangan hanya sampai 31 Desember 2016. Walhasil, selain dinilai ganjil, kontrak tersebut melebihi batas waktu pemberian izin kuota. Dalam kontrak itu juga tidak terdapat harga yang mengikat antara PT PPI dan Ficorp.
BPK juga menemukan fakta bahwa PT PPI tidak menyusun studi kelayakan dan tidak profesional saat berbisnis dengan Ficorp. BPK berpendapat perusahaan pengimpor daging sapi dari Australia seharusnya meminta rekomendasi ke Kementerian Pertanian. PT Ficorp tidak tercatat sebagai salah satu pemasok di daftar importir Kementerian.
Persoalan lain juga muncul. Sebagai pemegang izin impor, PT PPI tak memesan daging langsung dari produsen. Ini salah satu alasan yang menyebabkan PT PPI berurusan dengan penyidik Polda Metro Jaya. Karena kadung terikat kontrak, PT PPI memesan daging sapi segar lewat Ficorp sebanyak 1.000 ton senilai Rp 68,2 miliar, dari total kontrak daging sebanyak 29.500 ton.
Berdasarkan pesanan tersebut, Ficorp menerbitkan invoice pada 13 Juni 2016. PT PPI membayar seluruh tagihan melalui transfer di Bank Mandiri pada 14 Juni 2016. Namun PT PPI belum menerima kiriman daging. “Pembayaran atas kerja sama pemasokan daging yang dilakukan sebelum daging diterima berpotensi merugikan PT PPI,” tulis dokumen BPK.
Ficorp mengirimkan karkas segar secara bertahap menggunakan pesawat mulai 17 Juni 2016. Berdasarkan invoice yang diperoleh Tempo, Ficorp memasok daging dari salah satu perusahaan pengelolaan karkas asal Queensland, Australia. Perusahaan ini juga mengeluarkan invoice yang ditagihkan kepada PT PPI. Keberadaan dua invoice ini menjadi salah satu materi penyidikan polisi.
Pengiriman tak berlangsung mulus. Hingga akhir Juli 2017, PT PPI menerima 17 kali pengiriman dengan total 249 ton atau senilai Rp 16,9 miliar. Sisa daging yang belum dikirim berjumlah 751 ton. Belakangan, PT PPI menunda permintaan karkas segar dari Ficorp dengan alasan hendak mengevaluasi pelaksanaan proyek.
Seorang pegawai PT PPI yang mengetahui proses impor daging itu mengatakan penghentian impor terjadi lantaran penjualan daging karkas tersebut bermasalah. PT PPI bekerja sama dengan salah satu koperasi untuk menjual daging impor itu.
Koperasi tersebut sempat menjual daging milik PT PPI pada masa awal proyek. Mereka hanya berhasil menjual karkas senilai Rp 2,5 miliar. Hasil penjualan itu pun tak disetorkan kepada PT PPI. Kerja sama akhirnya berantakan.
PT PPI menemui pihak koperasi dan mengajak pedagang lain membahas harga daging. Mereka berkumpul di kediaman Indra Hasan di Jalan Bina Lindung 11, Jati Cempaka, Bekasi, Jawa Barat.
Pertemuan tak membuahkan hasil. Mereka tak menyepakati harga jual karkas segar. Para pedagang enggan membeli daging milik PT PPI karena dianggap terlalu mahal. Pegawai PT PPI yang mengetahui proses impor daging itu menyebutkan Indra Hasan berada di belakang koperasi dan para pedagang tersebut.
PT PPI menawarkan harga pokok pembelian daging senilai Rp 68 ribu per kilogram. Padahal perusahaan pengimpor daging lain menawarkan harga jual Rp 40 ribu per kilogram. Akibat penjualan yang mandek, daging sapi segar yang tak laku menumpuk di salah satu gudang penyimpanan di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara. Berbeda dengan daging beku, daya tahan karkas di lemari pendingin agar tetap segar hanya berlangsung tujuh hari dalam suhu 0-5 derajat Celsius. Ratusan ton daging PT PPI berangsur berjamur dan membusuk.
Pegawai PT PPI itu mengatakan perusahaan kebingungan karena daging-daging tersebut tak kunjung laku. Mereka akan rugi besar jika semua daging membusuk dan tak layak jual. Saat itu, semua tenaga pemasaran hingga pihak direksi dikerahkan untuk mencari rekanan pengganti buat menjual daging.
PT PPI mengganti jajaran direktur pada Juli 2016. Nakhoda perusahaan yang sebelumnya dikendalikan Dayu Padmara Rengganis beralih kepada Agus Andiyani. Menurut pegawai PT PPI itu, Agus kemudian memperkenalkan tim daging PT PPI kepada dua pengusaha. “Kami mencari cara agar daging ini terjual. Sebagian besar sudah berjamur dan membusuk. Sisanya yang masih bagus harus kami selamatkan,” kata pegawai itu.
Satu dari dua pengusaha ini mundur karena harga jual dari PT PPI senilai Rp 68 ribu per kilogram itu dianggap terlalu mahal. Pengusaha berinisial EJJB lewat PT ANSM akhirnya mau membeli daging sapi milik PT PPI sesuai dengan harga penawaran.
Awalnya, EJJB menolak tawaran itu. Meski membeli karkas segar senilai Rp 68 ribu per kilogram, PT PPI diduga menjual harga daging sapi itu senilai Rp 40 ribu. Namun PT ANSM tetap membayar sesuai dengan penawaran.
Agus Andiyani dituduh mengiming-imingi sejumlah proyek lain di PT PPI kepada EJJB untuk menutup kerugian dari selisih pembelian. Ia membantah tudingan ini. “Saya masuk belakangan, tidak tahu proses impornya,” ujar Agus.
Perjanjian buntung itu tak membuat PT PPI kapok. Mereka kembali meminta Ficorp mengirimkan karkas segar pada 7 November 2016. Ficorp mendatangkan daging dari Sydney dan Perth sebanyak 114 ton atau senilai Rp 7,8 miliar.
Sampai Desember 2016, Ficorp hanya memasok daging ke PT PPI sebanyak 669,08 ton. Dengan demikian, sisa daging yang belum terkirim dan berpotensi menjadi kerugian sebanyak 300,9 ton atau senilai Rp 20,5 miliar.
Achsanul Qosasi mengatakan timnya sudah beberapa kali mengundang Indra Hasan ke BPK untuk meminta penjelasan soal impor daging ini. “Dia tidak kooperatif, tidak pernah datang,” kata Achsanul.
Direktur Utama PT Perdagangan Indonesia (PPI) Dayu Padmara Rengganis di kawasan Cargo Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (17/6). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ia pun memerintahkan tim audit mendatangi kediaman Indra Hasan di Jalan Bina Lindung, Bekasi. “Rumahnya terkunci rapat, kosong,” ujarnya.
Padahal, menurut Achsanul, kalau menghadiri undangan BPK, Indra memiliki kesempatan menjelaskan hal yang terjadi berdasarkan versinya. Dalam kesimpulan audit itu, BPK meminta Ficorp mengembalikan uang sisa kewajiban yang tidak mereka laksanakan.
Namun Ficorp bergeming hingga kini. “Kayaknya tim sudah melaporkan soal ini ke aparat penegak hukum. Tapi yang diusut penjualannya saja,” kata Achsanul.
Tempo mendatangi kediaman pengusaha asal Ende, Nusa Tenggara Timur, tersebut pada Kamis sore, 28 Mei lalu. Rumah dua lantai seluas sekitar seribu meter persegi di Jalan Bina Lindung, Jati Cempaka, Bekasi, itu tampak sepi. Dipanggil-panggil dari balik pagar, tak ada penghuni rumah yang keluar.
Pagar berkelir abu-abu yang menjulang dua meter itu terkunci rapat. Di samping kiri rumah terdapat jalan selebar satu meter yang menuju ke masjid. Tiga orang terlihat sedang berbenah di dalam masjid.
“Pak Haji ada di dalam, tapi kalau ada pesan titipkan ke saya saja,” ujar Sidik, salah seorang yang mengaku pengurus masjid. Hingga Sabtu, 30 Mei lalu, Indra Hasan tak merespons permintaan wawancara tersebut.
LINDA TRIANITA, RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo