Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALI ini Paris adalah segala yang diutarakan Malcolm McLaren: “Jazz is Paris and Paris is jazz”. Tak ada Menara Eiffel, tak ada turis yang berkerumun di Louvre, apalagi di Champs-Élysées. Dengan gaya dokumenter, kamera Eric Gautier bergerak menyorot sebuah pub jazz di 13th arrondissement, Paris, milik seorang musikus jazz legendaris, Elliot Udo (André Holland) dan Farid (Tahar Rahim). Pada episode pertama, kita diperkenalkan kepada sosok Elliot yang bukan hanya pemimpin band jazz yang idealis—sangat menekankan kemurnian bunyi—tapi juga sosok yang didera berbagai persoalan. Elliot sudah lama tak bermain instrumen musik apa pun di depan publik karena didera sebuah tragedi, tapi ia selalu saja menekankan kemurnian jazz sembari tetap menciptakan komposisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambil memimpin band dan sesekali mengurus pub, Elliot menyembunyikan masalah pribadi yang menyangkut anak gadisnya, perceraian dengan istrinya, hingga persoalan keuangan yang menggerogoti kelangsungan hidup mereka. Itu semua terus-menerus mencabik-cabik perhatiannya, terutama setelah terjadinya kematian di dalam pub sehingga mereka semua diperiksa polisi.
Amandla Stenberg dalam The Eddy. IMDB
Bagi yang sudah menyaksikan trailer mini seri yang terdiri atas delapan episode ini, apalagi dengan nama sutradara La La Land sebagai salah satu sutradara dari seluruh tim, yang terbayang adalah sebuah cerita yang menyenangkan dengan musik jazz, asap rokok, Paris, dan anggur yang berlimpah. Tapi tidak. Protagonis serial ini, Elliot Udo, sejak awal adalah seorang lelaki penuh tragedi. Kehilangan besar dalam hidupnya menyebabkan dia membuat pelbagai keputusan kacau, termasuk bagaimana ia menangani putri remajanya, Julie (Amandla Stenberg), yang lebih suka menyerahkan kekacauan hidupnya pada seks dan narkotik, juga mengacaukan segala yang perlahan dibangun bapaknya dan band yang berada di tubir perpecahan.
Setiap episode diberi subjudul dengan nama tokoh dalam serial ini, misalnya “Elliot”, “Julie”, “Maya”, dan seterusnya. Setiap episode akan memfokuskan pada nama-nama tokoh tersebut sekaligus mendorong plot utama: bagaimana mempertahankan kehidupan musik (sekaligus keluarga dan cinta); bagaimana mereka keluar dari lilitan utang dan teror para preman sekaligus meniupkan roh pada jazz yang mereka cintai itu. Semua digambarkan dengan gaya cinéma vérité, sebuah realitas dalam realitas tanpa kosmetik dan kekenesan Paris. Ini adalah orang-orang Paris yang berbeda, migran kulit putih bercampur baur dengan kulit berwarna. Bahasa Prancis bercampur dengan bahasa Inggris dan Arab. Semua perbedaan itu tak ada arti karena yang menyatukan mereka adalah musik jazz dan cinta.
Dari sisi ide dan sinematografi, serial ini adalah karya yang serius dan magnetik. Siapa yang tak akan tersedot kisah dengan setting Paris, jazz, dan cinta? Tapi problem terbesar dari serial ini justru karakter tokoh-tokohnya, terutama Julie dan Elliot. Tentu saja kita paham bahwa Elliot, sang komponis legendaris, seperti para maestro umumnya, adalah seorang lelaki ambisius yang sangat memikirkan dirinya sendiri. Kita juga mengenalnya sebagai seorang bapak yang mengalami tragedi keluarga yang mendalam dan sukar disembuhkan oleh apa pun. Tapi perlakuan jalan cerita dan bangunan karakter Elliot tak kunjung membuat kita bersimpati, apalagi menyayanginya.
André Holland (kiri) dan Tahar Rahim dalam The Eddy. IMDB
Tokoh Julie lebih menjengkelkan lagi. Dia digambarkan sebagai remaja perempuan tak terkendali. Bahwa dia anak yang terluka karena merasa ditolak ibunya dan tak diperhatikan ayahnya, lantas lari ke sana-kemari mencari seks dan narkotik, adalah sebuah jalan keluar yang klise. Tapi persoalannya bukan jalan keluar klise itu, melainkan karena tokoh Julie tak sedikit pun menampilkan sesuatu yang menarik. Sulit untuk bersimpati kepada Julie karena pada akhirnya, di sepanjang delapan episode, dia lebih tampak seperti anak orang kaya yang manja dan bodoh.
Kelemahan dan cacat dalam karakter adalah sesuatu yang manusiawi, tapi karakterisasi Julie sedemikian menyebalkan sehingga sangat sulit untuk meneruskan tontonan seandainya tak ada tokoh lain yang memberikan janji jalan cerita yang lebih menarik. Hal lain: untuk apa memperkenalkan Julie dan alat musik klarinet dalam episode awal jika pada akhirnya tak ada lanjutan nasib klarinet dan bakat musiknya itu? Julie satu-satunya tokoh yang tak berkembang dan tak diperlakukan dengan serius oleh para pencipta cerita.
Musik dalam serial ini adalah salah satu yang diaransemen dengan serius dan menjadi daya tarik utama. Memang serial ini ternyata bukan sebuah karya musical fantasy seperti halnya La La Land atau bahkan drama musik seperti Whiplash (keduanya adalah karya Damien Chazelle sebelumnya yang membuat namanya melejit). Namun membuat cerita yang realis tak berarti harus menyajikan problem demi problem yang tak kunjung selesai. Para tokoh dan penonton membutuhkan jeda, waktu bernapas, dan sedikit keriaan.
Dan keriaan itulah yang tak kunjung muncul kecuali ketika pada menit-menit terakhir serial ini.
LEILA S. CHUDORI
IMDB
THE EDDY
Sutradara: Damien Chazelle, Houda Benyamina, Laïla Marrakchi, Alan Poul
Penulis skenario: Jack Thorne, Rachel De-Lahay, Rebecca Lenkiewicz, Hamid Hlioua
Penata musik: Glen Ballard
Pemain: André Holland, Amandla Stenberg, Joanna Kulig, Tahar Rahim, Leïla Bekhti, Randy Kerber
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo