DI Palestina, perlawanan tak mati-mati, tapi kemenangan bisa dibilang hanya bisa diraih inci demi inci. Kenapa? Tentara Arafat terkesan kurang disiapkan menghadapi militer Israel yang terlatih dan bersenjata canggih. Dan ini tampaknya tak berubah sejak konflik pertama Palestina-Israel setelah Perang Dunia II lahir, lebih dari setengah abad lalu.
Lihat saja, suasana markas Preventive Security Services (PSS), organ Palestinian Authority (PA) yang paling bertanggung jawab atas keamanan Palestina, tak mencerminkan sebuah markas di tengah perang. Wartawan TEMPO yang berkunjung ke markas itu menemukan bangunan kantor yang lengang tanpa penjagaan berarti, seolah ini zaman damai. Sesekali tentara berseragam atau seseorang berpakaian dengan pistol menggantung di ikat pinggangnya tampak berlenggang.
Zaman damai memang belum tiba. Yang ada baru gencatan senjata, sejak dua pekan lalu. Itu berkat campur tangan Direktur CIA George Tenet. Tapi sebenarnya tak ada alasan buat Jibril Rajoub, komandan PSS, untuk tak selalu waspada. Beberapa hari memasuki masa gencatan senjata, enam orang Palestina dan empat orang Israel tewas. Gencatan senjata hanya berlaku di kertas, laiknya. Dan Kamis pekan lalu, di Ramallah, ratusan orang melayat Mohammed Nafe, yang tewas oleh tentara Israel.
Begitulah, perang tak mati-mati. Dan menurut Rajoub, Palestina adalah pihak yang lemah. "Kami hanya punya pistol dan Kalashnikov," ujarnya, "Sedangkan Isreal punya nuklir, tank, pesawat tempur, helikopter, artileri, dan semuanya." (lihat "Kami Hanya Punya Pistol").
Kekuatan militer Israel memang jauh memadai, baik dari segi personel maupun senjata. Hampir semua warga Israel, yang jumlahnya hampir enam juta, terkena wajib militer. Tapi kekuatan militer Israel yang sebenarnya sangat dirahasiakan.
Kesenjangan kekuatan militer di antara dua negara tersebut memang terasa benar dalam kenyataan sehari-hari. Bila di markas Jibril Rajoub saja sepi, apalagi di kota-kota Palestina: jauh dari simbol militer. Sebaliknya, di Israel, tentara bersenjata lengkap hampir selalu tampak di depan mata, terutama di kota besar seperti Yerusalem atau Tel Aviv. Dan di kamp pelatihan tentara Israel, di Tsrifin, tak jauh dari Tel Aviv, perlengkapan militer itu begitu modern.
Di pihak Palestina, modal besarnya adalah semangat. Itulah yang melahirkan intifadah atau perlawanan dengan batu beberapa tahun lalu. Tentara reguler Palestina, tentu saja, berhak memiliki peralatan militer komplet. Namun, jumlah mereka tak lebih dari 36 ribu personel.
Cuma, di samping tentara reguler, di pihak Palestina ada kelompok sipil bersenjata. Mereka ini dipersenjatai?menurut pihak Israel?dengan senjata selundupan. Menurut pihak Palestina, membeli senjata dari tangan pihak Israel tidak sulit. "Senjata tersedia di Tel Aviv seperti tersedianya tomat," tutur Rajoub.
Pengakuan Rajoub ini mendapat dukungan dari analis independen Israel, Joshua Teitelbaum, dari Tel Aviv University. Menurut dia, ada elemen-elemen kriminal di Israel, baik Yahudi maupun Arab Israel, yang menyelundupkan senjata untuk orang Palestina. Dan sesungguhnya justru kelompok sipil bersenjata itulah yang ditakuti Israel.
Dan kata Rafowicz, kelompok-kelompok bersenjata itu membuat Palestina bak seekor gurita. Kepala guritanya adalah pemerintah Palestina. Sedangkan delapan tangan gurita itu adalah Tanzim, Hamas, Islamic Jihad, PFLP atau Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, dan Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina?kelompok-kelompok sipil bersenjata itu.
Tapi kenapa Israel dengan nuklir dan persenjataan modernnya tak bisa melumpuhkan sang gurita?
Tampaknya, baik omongan Rajoub maupun ucapan sang juru bicara Angkatan Bersenjata Israel hanya retorika. Bila yang terjadi hanyalah Israel melawan Palestina, mungkin tak sampai satu minggu Palestina bakal tak berdaya. Masalahnya, sejak di awal konflik, Israel memang setengah menahan diri. Di belakang Palestina ada negara-negara Arab, dan Israel tak ingin dikeroyok oleh negara Arab, yang berarti perang besar. Apalagi, semasa masih zaman Perang Dingin, tentulah Uni Soviet tak bakal banyak pikir untuk berpihak kepada Palestina dan Arab. Setelah Perang Dingin usai, dan Soviet berkeping-keping menjadi sejumlah negara yang tak lagi superpower, ancaman datang dari sisi lain: aksi blokade dan bantuan negara-negara berkembang di luar Timur Tengah. Israel tak akan mengambil risiko sebesar itu, sejauh konflik besar masih bisa dihindarkan.
Di sisi lain, sebenarnya negara-negara Arab tak berani langsung mendukung Palestina. Amerika Serikat, yang punya kepentingan di Timur Tengah (sebagai sumber minyak dan pasar yang besar), tentu tak bakal diam. Berpihaknya secara aktif AS kepada Israel bakal mengancam negara-negara Arab, misalnya AS menghentikan pembelian minyak dari negara-negara Arab dan mengalihkan pembelian ke Venezuela. Atau, setelah Perang Dingin usai, bisa saja Amerika membeli minyak dari Cina.
Berbagai pertimbangan dan kepentingan itulah yang menjadi faktor tersembunyi yang membuat konflik Palestina-Israel seolah abadi?karena perang itu hanya separuh hati, hingga tak kunjung ada yang kalah dan menang.
Lantas, sampai kapan situasi mirip stalemate ini akan bertahan? Bila terjadi guncangan di salah satu faktor itu, terbuka kemungkinan suatu perang menentukan antara Palestina dan Israel bakal pecah. Bagi yang percaya kepada ramalan Nostradamus, itulah awal Perang Dunia III, perang yang akan menyebabkan sebagian besar dunia luluh-lantak.
Yang pasti, perang terbuka antara Palestina dan Israel memang bisa memicu krisis dunia karena sebagian besar bahan bakar minyak datang dari Timur Tengah dan sebagian energi dunia masih mengandalkan minyak. AS tentu tak ingin tiba-tiba New York gelap dan lift macet karena tak ada minyak. Jadi, diupayakanlah sekuat tenaga perdamaian itu. Tapi upaya ini pun terasa setengah hati. Di zaman damai, pedagang senjata bakal bangkrut.
Dengan kata lain, adalah lingkaran setan itu yang membuat militer canggih Israel sulit melumpuhkan tentara dan sipil bersenjata Palestina yang terlihat kurang profesional. Sampai nanti sebuah guncangan terjadi?.
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini