Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bandar udara di Niamey, ibu kota Niger, empat pria warga Prancis mendapat sambutan besar-besaran. Dalam seremoni pada Selasa dua pekan lalu itu tampak hadir di landasan Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius, Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian, dan Presiden Niger Mahamadou Issoufou. Ini memang acara spesial. Keempat orang itu, setelah tiga tahun, bebas dari penculiknya, kelompok Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM).
Pierre Legrand, Daniel Larribe, Thierry Dol, dan Marc Feret merupakan bagian dari tujuh orang yang diculik AQIM pada 16 September 2010. Karyawan pertambangan uranium milik Prancis, Areva, itu diculik di Arlit, di wilayah utara Niger. Tiga orang lainnya yang diculik pada saat bersamaan, Francoise Larribe, istri Daniel Larribe; seorang warga Togo; dan seorang warga Madagaskar, lebih dulu dibebaskan pada Februari 2011. "Situasi kami sangat sulit, tapi itulah ujian hidup kami," kata Thierry Dol, 32 tahun, yang tampak kurus.
Selang dua hari kemudian, surat kabar Times menulis di halaman depan: "Prancis membayar AQIM 25 juta euro (sekitar Rp 377,3 miliar) untuk melepaskan empat sandera." Judul senada dilansir harian Le Monde. Keduanya menulis AQIM yang dipimpin Abu Musab Abdel Wadoud itu awalnya menculik mereka sebagai barter agar Prancis menarik tentaranya dari Afganistan pada 2011. Belakangan, alasan itu berganti: demi uang.
Paris langsung membantah headline tersebut. Istana Elysee, kantor Presiden Prancis, mengatakan tak pernah menggunakan uang rakyat untuk menjamin pembebasan keempat warganya. "Kami tidak menjalankan permainan itu," ujar Menteri Laurent Fabius ketika ditanya soal uang tebusan. Presiden Niger Mahamadou Issoufou juga mengelak ketika ditodong dengan pertanyaan yang sama. Secara diplomatis ia menjawab, "Saya berpikir seharusnya kita bersukacita karena para sandera yang menghadapi percobaan sulit dan terisolasi selama berbulan-bulan dari keluarga mereka kini telah bebas."
Banyak pihak tak percaya alasan itu. Tanpa aksi militer dalam pembebasan sandera, seperti diklaim Prancis, sulit membayangkan para penculik mau menyerah dan melepaskan tawanan mereka tanpa imbalan apa pun.
Perusahaan analisis pertahanan yang berbasis di Texas, Amerika Serikat, Stratfor, mengungkapkan awalnya kelompok militan, besar ataupun kecil, memulai penculikan serupa itu dengan perampokan wisatawan atau pekerja asing sekitar 10 tahun lalu. Namun mudahnya negara asal atau perusahaan tempat korban bekerja "menyerah" dan membayar uang tebusan dalam jumlah besar membuat perampokan tumbuh menjadi bisnis penculikan. "Ideologi sudah menjadi nomor dua setelah uang. Semua kelompok, radikal Islam, bandit biasa, penyelundup obat bius, penyelundup manusia, termotivasi finansial," kata analis Yayasan Asia-Pasifik, Sajjan Gohel.
Pembayaran biasanya dilakukan tunai melalui pihak ketiga. Gohel mengatakan, semasa era Muammar Qadhafi, Libya kerap menjadi saluran. Khusus pembebasan empat sandera Prancis bulan lalu, BBC menyebutkan adanya keterlibatan perantara top Niger, Mohamed Akotey, mantan pemberontak Tuareg. Penggunaan uang tunai dan perantara membuat uang tebusan sulit dilacak. Sistem ini setidaknya memudahkan pemerintah dan perusahaan menyangkal keterlibatan mereka.
Stratfor memperkirakan, dengan pembayaran terbaru ini, AQIM telah menerima US$ 116 juta (sekitar Rp 1,3 triliun) uang tebusan sejak 2003. "Kami telah melihat pembayaran uang tebusan oleh pemerintah Spanyol, Italia, Prancis, Kanada, dan Austria untuk membebaskan warganya dari penyanderaan," kata Wakil Presiden Stratfor wilayah Afrika, Mark Schroeder.
Pelaku dan wilayah menyebar hampir di seluruh Afrika. AQIM, yang beroperasi di Mali utara dan timur, Aljazair selatan, serta Niger bagian barat, hanya salah satu kelompok yang diduga menjalankan aksi penculikan demi uang tebusan. Yang lain adalah ada Boko Haram di utara Nigeria; Lord's Resistance Army di perbatasan Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, dan Republik Demokratik Kongo; Al-Shabaab di Somalia; Movement for Unity and Jihad in West Africa (Mujao) di Mali utara; serta kelompok baru, Signed-in-Blood Battalion, di Aljazair.
Intelijen Amerika mengatakan organisasi-organisasi militan telah menerima US$ 120 juta (sekitar Rp 1,35 triliun) uang tebusan selama satu dekade terakhir. David Cohen, wakil untuk urusan terorisme dan intelijen keuangan Amerika, mengatakan penculikan untuk tebusan terjadi khususnya di Sahel, wilayah sabuk yang membentang 5.400 kilometer antara Samudra Atlantik dan Laut Merah. Kawasan ini mencakup hampir selusin negara termiskin di dunia, seperti Gambia, Senegal, selatan Mauritania, Mali tengah, Burkina Faso, selatan Aljazair dan Niger, utara Nigeria dan Kamerun, Chad tengah, selatan Sudan, utara Sudan Selatan, serta Eritrea.
Penculikan menjadi cara tercepat untuk mendapatkan uang. Yang kian meresahkan, tebusan rata-rata naik secara konsisten selama bertahun-tahun dan berada di kisaran US$ 5 juta per pembayaran. "Banyak negara menjadi sumber keuangan kami," ucap Omar Ould Hamada, komandan salah satu kelompok di bawah Mujao, di Mali, kepada The New York Times.
Tak semua penculikan berakhir gembira. Pada Sabtu pekan lalu, dua wartawan Prancis dibunuh di Mali. Wartawan Radio France Internationale (RFI), Ghislaine Dupont, 57 tahun, dan teknisi suara Claude Verlon, 55 tahun, diculik dan dibunuh di Kidal. Dupont dan Verlon sebelumnya berangkat ke Kidal pada Sabtu untuk mewawancarai juru bicara kelompok separatis Tuareg, National Movement for the Liberation of Azawad (MNLA), sebelum diculik di luar rumah sang juru bicara.
RFI, mengutip juru bicara MNLA, Ambery Ag Rhissa, menyatakan mendengar keributan di luar dan melihat kedua wartawan itu digelandang menuju sebuah kendaraan roda empat setelah sesi wawancara selesai. "Itu saat terakhir para wartawan terlihat masih hidup," kata Marie-Christine Saragosse, Kepala Eksekutif France Media Monde, perusahaan pemilik RFI, di Paris. Patroli militer Prancis menemukan jenazah keduanya di dekat mobil mereka sekitar 12 kilometer sebelah timur Kidal, kurang dari dua jam setelah diculik. AQIM mengaku sebagai kelompok yang bertanggung jawab.
Menggiurkannya bisnis penculikan dilaporkan Badan Urusan Obat-obatan dan Kejahatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNODC), Bank Dunia, dan Interpol. Dalam laporan berjudul "Jejak Bajak Laut" (Pirate Trail) disebutkan bajak laut di Somalia dan Tanduk Afrika menghasilkan US$ 339-413 juta tebusan dalam tujuh tahun terakhir. "Besarnya jumlah uang yang dikumpulkan oleh bajak laut dan fakta bahwa mereka hampir tidak ada kendala dalam beroperasi membuat mereka tumbuh besar tak hanya di laut, tapi juga di darat," ujar Kepala Bagian Implementasi Dukungan dalam Kejahatan Terorganisasi dan Perdagangan Gelap UNODC Tofik Murshudlu.
Apa yang terjadi dengan uang yang dikumpulkan melalui tebusan masih menjadi misteri. UNODC menemukan uang tebusan diinvestasikan untuk membeli senjata baru; peralatan tambahan, seperti jip four-wheel drive; bahan bakar; dan sistem navigasi GPS. Sebagian diduga untuk menyuap penjaga perbatasan dan pejabat lain serta iming-iming bagi para pemuda untuk bergabung dengan kelompok mereka. Bahkan sebagian untuk investasi di berbagai sektor yang sah. Tak mengherankan jika gemerincing uang bisnis ini kian menyuburkan bisnis penculikan di Sahara.
Raju Febrian (BBC, Foreign Policy, Al-Jazeera, All African)
Peta Penculikan Warga Asing di Sahara Sejak 2003
Selama 10 tahun, setidaknya tercatat 22 kasus penculikan terhadap lebih dari 90 warga Barat, sebagian besar turis Eropa, pekerja asing, atau relawan, sejak awal 2003. Warga Prancis kerap menjadi sasaran. Banyak warga Prancis bekerja di negara-negara bekas jajahan mereka.
Mantan kepala polisi Prancis, Frederic Pechenard, mengingatkan bahwa warga Prancis menjadi target penculikan. "Entah kenapa Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM) selalu membidik warga Prancis," katanya. BBC melansir saat ini setidaknya tujuh warga asing, tiga di antaranya dari Prancis, masih disandera di tiga tempat berbeda di Sahara.
Berkah di Tanduk Afrika
POSISI menentukan segalanya. Kalimat ini pas untuk menggambarkan Republik Djibouti. Meski luasnya hanya 23 ribu kilometer persegi, lebih kecil daripada Provinsi Jawa Barat dan, menurut Bank Dunia, memiliki populasi 859.652 jiwa atau hampir sama dengan jumlah penduduk Provinsi Bengkulu, Djibouti berperan penting dalam perekonomian dan keamanan dunia.
Dari sisi perekonomian, negara di Afrika Timur ini sebenarnya tidak memiliki sumber daya alam. Satu-satunya andalan adalah pertambangan garam berkapasitas 4 juta ton per tahun di Danau Assal. Namun Djibouti punya posisi strategis: menjadi aset perdagangan dunia karena persis berada di mulut Teluk Aden, pintu masuk menuju Laut Tengah, yang menjadi jalur pertemuan Samudra Hindia dengan Laut Mediterania. Diperkirakan 60 persen kapal komersial dunia menggunakan jalur ini karena merupakan rute terpendek yang menghubungkan Asia dengan Eropa.
Port of Djibouti, pelabuhan utama negara itu, menjadi terminal penghubung dan tempat pengisian bahan bakar kapal-kapal trans-samudra. Pajak dan sewa menjadi pemasukan besar bagi negara yang merdeka pada 27 Juni 1977 itu. "Kami memiliki hak istimewa karena berada di posisi strategis," kata Presiden Ismail Omar Guelleh.
Perang Ethiopia dengan Eritrea kian menguntungkan Djibouti. Ethiopia, yang biasanya menggunakan Eritrea sebagai pintu keluar, kini beralih ke Port of Djibouti. Pada 2009, Djibouti dan Dubai Ports World meresmikan Doraleh Container Terminal bernilai US$ 396 juta. Pelabuhan ini nantinya akan sanggup melayani 1,5 juta unit kontainer per tahun.
Walhasil, pelabuhan membuka pundi-pundi keuangan negara itu. Catatan Bank Dunia menunjukkan Djibouti memiliki produk domestik bruto sebesar US$ 2,377 miliar, tumbuh rata-rata 4,8 persen setiap tahun, plus pendapatan per kapita US$ 2.676. Adapun menurut laporan Global Edge, Universitas Michigan, sejak 2001, Djibouti menjadi bidikan investor. Setidaknya US$ 200 juta dana segar masuk setiap tahun.
Banyak perwakilan negara lain dan organisasi dunia membuka kantor di negara yang berada di Tanduk Afrika itu. Posisi Djibouti kian penting pasca-serangan 11 September 2001. Negara itu menjadi satu-satunya pangkalan militer Amerika Serikat di Benua Afrika. Djibouti menjadi menara untuk memantau wilayah Afrika dan Timur Tengah.
Lokasi ini menjadi markas Gugus Tugas Gabungan Tanduk Afrika (CJTF-HOA) dari Komando Amerika di Afrika (USAFRICOM), yang dioperasikan Angkatan Laut Amerika Wilayah Eropa, Afrika, dan Asia Barat Daya. Sekitar 2.000 tentara Amerika bermarkas di Kamp Lemonier, fasilitas yang pernah digunakan Prancis, di dekat Bandar Udara Djibouti-Ambouli. Di lokasi ini, Amerika menempatkan pengebom F-15E Strike Eagle, pesawat kargo C-130, dan pesawat khusus PC-12.
Kamp ini juga digunakan sebagai basis unmanned aerial vehicle atau pesawat tanpa awak jenis MQ-1 Predator dan MQ-9 Reaper. Dari sinilah Badan Intelijen Amerika (CIA) melancarkan serangan dengan sasaran pimpinan Al-Qaidah di Yaman dan Semenanjung Arab serta kelompok Al-Shabaab di Somalia. Untuk menyewa tempat ini, Abang Sam harus merogoh kocek US$ 38 juta per tahun. Jenderal Carter Ham, mantan Kepala Komando Afrika, menyebutkan Lemonnier adalah lokasi kunci keamanan dan proyeksi kekuatan Amerika.
Angkatan Laut Amerika juga memanfaatkan akses Port of Djibouti. Satu gugus tugas yang mengawasi operasi anti-terorisme di wilayah Tanduk Afrika bermarkas di kapal USS Mount Whitney, yang memiliki 400 personel, di pelabuhan ini. Gugus tugas ini bertanggung jawab untuk wilayah operasi di Somalia, Eritrea, Ethiopia, Kenya dan Sudan, serta Djibouti dan Yaman.
Situs Foreign Policy menulis, dengan lokasi pelabuhan terbaik lainnya di Mombasa, Kenya—berjarak sekitar 1.700 mil—Amerika, NATO, dan Uni Eropa tak punya pilihan selain menggunakan Djibouti sebagai pangkalan. "Afrika menjadi garda terdepan bagi Pentagon. Artinya, Lemonier adalah ujung tombak," ucap Rudolph Atallah, mantan direktur kontra-terorisme untuk Afrika di Departemen Pertahanan Amerika dan kini direktur eksekutif lembaga penelitian keamanan White Mountain Research.
Selain Amerika dan Prancis, negara seperti Rusia, Jerman, Jepang, dan Spanyol bergantung pada Djibouti. Mereka antara lain berkepentingan mengawal kapal-kapal yang melalui jalur Teluk Aden. "Meski negara kecil, kami memegang peran kunci dalam keamanan internasional, terutama di wilayah Afrika," kata Ilyas Moussa Dawaleh, Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Perencanaan Djibouti. Lokasi akhirnya membawa berkah bagi Djibouti.
RF (The Economist, LA Times, Foreign Policy, All Africa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo