Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di salah satu kelas di sebuah sekolah menengah di Gaza, Palestina, seorang guru mengisahkan bangsa Arab yang memboikot bisnis Yahudi pada 1929. Sang guru kemudian bertanya kepada sekitar 40 siswa apakah mungkin dewasa ini orang-orang Palestina bersedia memboikot produk Israel. Semua siswa langsung menjawab, "Ya!"
Pemandangan semacam itu kini dapat dijumpai sedikitnya dua kali dalam sepekan di kelas-kelas sekolah menengah di Gaza. Gerakan Hamas, yang menguasai Jalur Gaza sejak 2007, secara intensif menebar benih perlawanan Palestina terhadap Israel melalui pendidikan.
Selasa pekan lalu, pemerintah Hamas menyatakan telah menambahkan mata pelajaran khusus ke kurikulum untuk memupuk perlawanan terhadap Israel. Mata pelajaran itu diajarkan di semua sekolah di Gaza. "Untuk memperkuat hak-hak warga Palestina dan menambah pelajaran tentang hak asasi manusia," kata Menteri Pendidikan Gaza Muetassem al-Minaui.
Hamas telah menerbitkan buku teks pelajaran baru yang berisi materi perlawanan terhadap Israel. Sampul buku itu bergambar Masjid Al-Aqsa di Yerusalem dan Gua Para Leluhur di Hebron—dua situs lokasi bentrokan antara umat Islam dan Yahudi.
Buku yang berisi politik dan sejarah Palestina ini secara tegas tidak mengakui negara Israel. Pendiri Hamas, Ahmed Yasin, dalam buku ini disejajarkan dengan pahlawan nasional Yasser Arafat. Sejarah mutakhir juga dicantumkan, seperti serangan militer Israel ke Jalur Gaza pada musim dingin 2008-2009 dan November 2012.
Materi pelajaran dilengkapi foto-foto warga Palestina yang tewas serta berbagai bangunan yang hancur akibat serangan Israel. "Semua wilayah Palestina, dari Laut Mediterania sampai Sungai Yordan, adalah milik kita," demikian salah satu isi buku itu.
Materi pelajaran baru ini hanya diajarkan di sekolah milik pemerintah Hamas, tidak di sekolah milik Perserikatan Bangsa-Bangsa. Materinya merujuk pada kurikulum Otoritas Palestina.
Di seluruh Gaza tercatat ada 463 ribu pelajar. PBB mengelola sekitar 250 sekolah untuk kelas 1-9. Sedangkan Hamas menjalankan 400 sekolah, termasuk 46 sekolah swasta. Sebelumnya, Hamas sudah menyisipkan materi pelajaran militer dengan fokus perlawanan terhadap Israel.
Upaya edukasi perlawanan melalui buku ini dinilai sangat efektif. Sebab, menurut Daniel Bar-Tal, seorang profesor di Tel Aviv University, ketika seorang pemimpin berpidato, tak ada jaminan semua orang mendengarkan. Sebuah buku teks pelajaran pasti diserap siswa. "Ini adalah kartu terkuat," kata Bar-Tal, koordinator tim peneliti buku teks Israel dan Palestina.
Khalayak yang menjadi target buku ini juga luas. Seiring dengan rencana pengajaran, buku ini bakal menjangkau sedikitnya 55 ribu siswa di kelas 8, 9, dan 10. Sebagian besar siswa menyambut hangat buku pelajaran itu. Ahmed Mohamed, 15 tahun, misalnya, mengaku bersemangat mempelajari sejarah Palestina, bukan sejarah Mesir atau Yordania. "Sebelumnya, Palestina yang saya tahu hanya Gaza dan Tepi Barat," ujarnya.
Tapi ada pula yang kritis. Anound Ali, siswa kelas 10 di sebuah sekolah di Gaza, merasa prihatin karena buku itu bisa memecah belah Palestina. Materi pelajaran yang militan ini dikhawatirkan memperuncing persaingan antarfaksi di Palestina, antara Hamas di Jalur Gaza dan Fatah di Tepi Barat.
Di tataran bawah, konflik antarfaksi ini dikhawatirkan mengganggu kekompakan 1,7 juta warga Palestina di Jalur Gaza dan 2,5 juta warga di Tepi Barat. "Buku pelajaran sekolah adalah hal terakhir yang mempersatukan kita dengan Tepi Barat, sekarang kita mempelajari sesuatu yang berbeda," kata Ali.
Apa pun alasannya, Israel dibuat gerah oleh aksi gerilya Hamas ini. "Palestina telah mengembangkan suatu sistem penipuan," kata Yosef Kuperwasser, pejabat senior Israel.
Harun Mahbub (Al-arabiya, BBC, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo