INI zaman ketika soal politik boleh mengalah dulu pada urusan fulus. Lihat saja ke Singapura. Di sana pekan ini berlangsung pertemuan antara utusan pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) dan Republik Cina atau Taiwan. Walau masih terbatas pada pejabat lembaga nondepartemen, ini merupakan pertemuan resmi pertama yang mendudukkan para pejabat kedua negara itu dalam satu meja. Padahal sampai saat ini kedua pemerintah negara itu saling mengklaim sebagai pemerintah Cina yang sah. Itu terjadi setelah pada tahun 1949 kaum nasionalis pimpinan Chiang Kaishek, yang memerintah Cina ketika itu, dikalahkan pasukan Mao Zedong yang komunis. Chiang Kaishek dan pengikutnya mengungsi ke Pulau Formosa, lalu memproklamasikan Republik Cina. Kini rupanya sudah waktunya kedua seteru itu berbaikan kembali. Kedua pemimpin legendaris mereka Mao Zedong dan Chiang Kaishek sudah lama tiada. Namun, yang mendorong pertemuan ini jelas motif ekonomi: meningkatnya perdagangan antara keduanya dan meroketnya investasi Taiwan di RRC, yang kini sedang gencar menarik modal asing. Untuk pertemuan pertama ini, tampaknya kedua pemerintah masih malu-malu, maka soal ekonomi masih terlalu dini untuk dibicarakan secara terbuka. Maka, pertemuan ini hanya membahas pembentukan suatu lembaga resmi untuk bertukar pikiran. Kabarnya, kedua pihak akan sepakat badan itu nantinya bertemu setiap tiga bulan. Selain itu, ada dua naskah yang akan ditandatangani. Naskah pertama mengenai pelacakan dan pembayaran ganti rugi atas surat-surat pos antara dua negara yang hilang ketika hubungan memburuk. Yang kedua adalah naskah kerja sama untuk pertukaran dokumen pribadi. Rupanya, sejak kontak orang Taiwan dan Cina Daratan terbuka, perkawinan maupun adopsi di antara orang-orang satu nenek moyang yang terpisah secara geografis dan politis ini sering terjadi. Dalam dua tahun terakhir ini, misalnya, ada 5.000 permohonan dari orang Taiwan yang ingin membawa pasangannya dari daratan RRC ke Taiwan. Dokumen autentik juga penting untuk urusan warisan mengingat banyak keluarga yang terpisah saat negara itu terbelah. Tapi mudah ditebak, yang lebih penting nantinya dari pertemuan seperti ini adalah urusan ekonomi. Bayangkan, sejak 1979 ekspor Taiwan ke RRC via Hong Kong meningkat terus. Pada tahun 1991 saja nilai ekpsor Taiwan ke RRC mencapai US$ 4,4 miliar atau sekitar 6% dari total nilai ekspor Negeri Pulau itu. Menurut lembaga penelitian Ekonomi Taiwan, perekonomian Taiwan akan terganggu jika Cina memboikot barang-barang ekspor dari Taiwan. Belum lagi dihitung investasi tak langsung Taiwan di RRC yang saat ini sudah mencapai US$ 5,5 miliar. Diperkirakan kini terdapat sekitar 3.000 perusahaan Taiwan yang beroperasi di RRC. Dalam kondisi seperti ini boleh jadi berbagai ganjalan politis nantinya akan melumer juga. Memang sejumlah soal mendasar masih mengganjal: RRC belum mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, selain kebijaksanaan RRC untuk merebut Taiwan dengan kekuatan senjata masih belum dicabut. Wajar kalau Lee Chingping, Sekjen Lembaga Perdagangan Selat Taiwan, berkata, ''Kami masih jauh sekali dari hubungan-hubungan yang bersifat langsung.'' Kedua pihak memang masih membutuhkan waktu, tapi yang penting mereka telah memulainya. LPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini