Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Soehartonomics

Trilogi pembangunan berhasil meningkatkan perekonomian nasional. sejak awal pjpt i presiden soeharto mengusahakan agar semua komponen dalam masyarakat memperoleh hak dan peluang berprestasi maksimal.

1 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie menolak adanya dikotomi Widjojonomic dan Habibienomic. Ia lebih menekankan peranan Pak Harto. Seperti halnya di Amerika ada Reaganomics, Nixonomics, dan Clintonomics, yang lebih laik memperoleh kredit untuk keberhasilan PJPT I dan menyongsong PJPT II adalah Pak Harto, atau Soehartonomics. Dan di Indonesia itu disebut Trilogi Pembangunan: stabilitas politik, pertumbuhan, dan pemerataan. Saya rasa Trilogi Pembangunan mempunyai dimensi universal, sebab semua negara tentu hanya bisa membangun jika politiknya stabil. Setiap negara tentu ingin pendapatan rakyat per kapita dan produk nasional bruto meningkat, sekaligus mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan fisik. Mengenai dikotomi teknokrat dan teknolog atau Widjojonomics dan Habibienomics, sebenarnya Presiden Soeharto sejak awal PJPT I telah mengusahakan agar semua komponen dalam masyarakat memperoleh hak dan peluang untuk berprestasi maksimal. Para ekonom yang mahir pada instrumen moneter dan pengelolaan ekonomi makro diberi keleluasaan untuk mengembangkan suatu rezim ekonomi yang stabil, dengan pola industri substitusi impor selama satu generasi, yang diproteksi secara across the board melalui DSP (daftar skala prioritas) dan DNI (daftar negatif investasi). Para teknolog juga sudah diberi peranan sejak awal melalui jalur Pertamina dan kemudian dilanjutkan melalui BPPT dan BPIS, untuk membuktikan kebolehan dengan proteksi dan subsidi. Selain dengan kekuatan yang bertumpu pada instrumen moneter para teknokrat dan teknolog, Pak Harto juga mengembangkan kekuatan ekonomi mikro dalam bentuk kekuatan bisnis para pengusaha, yang dalam waktu satu generasi tumbuh menjadi konglomerat Indonesia. Pak Harto sadar bahwa birokrasi kadang-kadang menghambat atau lamban karena inertia dan watak amtenar. Karena itu, kekuatan bisnis swasta yang mempunyai akses langsung ke pusat kekuasaan dikerahkan untuk mengatasi birokrasi dan menciptakan kekuatan ekonomi di sektor riil. Tidak heran bila Soehartonomics terkadang muncul dengan gebrakan nonkonvensional yang barangkali tidak ada dalam texbook ilmu ekonomi. Delapan jalur pemerataan, penyisihan saham konglomerat, dan laba BUMN untuk koperasi, proteksi, dan tata niaga untuk beberapa komoditi yang dianggap strategis, baik kepada Bulog maupun ke beberapa unsur swasta nasional, merupakan kiat unik Soehartonomics sebagai suatu jalan pintas menerobos birokrasi dan mekanisme pasar bebas substitusi impor. Dengan kata lain, Soehartonomics ingin mengoreksi mekanisme pasar melalui tata niaga dan monopoli penunjukan oleh negara. Sedangkan di AS dulu mekanisme pasar yang melahirkan monopoli dikoreksi dengan UU Antimonopoli. Sejarah akan menilai mana yang lebih efektif. Sistem tata niaga dan proteksi monopolistis itu telah melahirkan beberapa konglomerat sekaligus juga merupakan rekayasa sosial untuk mengatasi kesenjangan historis antara kelompok pribumi dan nonpribumi. Soehartonomics dengan demikian secara sadar menumbuhkan kelas pengusaha nasional pribumi melalui proteksi dan monopoli. Sebab, dalam pertarungan pasar bebas tanpa proteksi, pengusaha yang mengejar dari belakang pasti akan selalu ketinggalan. Masalahnya menjadi krusial jika jangka waktu proteksi itu menjadi permanen dan tidak jelas kapan konglomerat yang diproteksi itu dapat mentas menjadi pelaku ekonomi mandiri yang siap bertempur di pasar bebas nasional maupun mampu menembus pasar ekspor global. Semua industrialis lokal kita memang telah menikmati proteksi selama satu generasi. Hasilnya telah kita lihat sendiri bahwa kita masih berpusar pada industri ekstraktif dan perakitan serta kelas tukang jahit. Belum mampu menciptakan full manufacturing yang mengandalkan nilai tambah teknologi. Sementara itu, kelompok industri strategis seperti IPTN dan Krakatau Steel juga belum menampakkan hasil sesuai dengan yang ditargetkan menurut jadwal jangka menengah. Dalam dialog antara ''ekonom vokal'' dan Habibie, 12 April lalu, terungkap bahwa tidak ada yang keberatan Indonesia membangun industri canggih seperti IPTN, sepanjang proses pengelolaan dilakukan secara transparan dan accountable. Saya waktu itu mengatakan bahwa IPTN dan BPIS sudah telanjur merupakan bagian dari aset nasional yang diputuskan oleh Soehartonomics dalam rangka mengembangkan kekuatan nasional di bidang industri canggih. Demikian pula seluruh industri substitusi impor, yang sekarang ini kurang mampu berdaya saing, adalah akibat proteksi yang memanjakan sebagian terbesar mereka, sehingga perlu deregulasi dan liberalisasi. Masalah IPTN dan BPIS memang bukan masalah seorang Habibie, tapi masalah nasional, sebab pembiayaan dan survival serta eksistensinya adalah tanggung jawab kita semua. Menurut laporan yang diperoleh PDBI, assets IPTN adalah Rp 3,2 trilyun, tapi omzet penjualan hanya Rp 180 milyar dan piutang dagang malah lebih dari Rp 191 milyar. Ini berarti IPTN secara teknik mampu berproduksi tapi kurang bisa menjual produknya. Karena IPTN sudah berumur 17 tahun, seperti diuraikan Anwar Nasution, IPTN memerlukan pakar keuangan dan jago pemasaran agar bisa mengatur strategi pemasarannya. Ini dengan assumsi bahwa produknya laik terbang dan dipercaya oleh calon konsumen di dalam maupun di luar negeri. Di seluruh dunia, menjual pesawat memang harus memakai paket pembiayaan yang canggih dan rumit. Jika semua pihak sepakat bahwa IPTN sudah menjadi aset nasional yang harus diefisienkan, menurut saya, dalam semua putusan tentang industri strategis yang harus diproteksi harus ada keterbukaan data dan informasi tentang jangka waktu dan biaya proteksi yang harus dikeluarkan oleh negara. Setelah kita hidup bersampingan dengan IPTN dan BPIS, tidak ada gunanya mengomel dan mengeluh atau memprotes. Lebih berguna jika kita mengajukan jalan keluar yang objektif positif bagi kepentingan nasional. IPTN dan BPIS sekarang ini sudah tidak mungkin lagi ditangani secara one man show oleh Prof. Habibie. Transformasi organisasi IPTN dan BPIS menjadi organisasi modern, multidivisi, dan melembaga perlu segera dilakukan. Habibie cukup menduduki puncak strategis selaku Menristek, Ketua BPPT, dan Kepala BPIS. Semua jabatan mikro di bawahnya harus segera didelegasikan kepada profesional. Sayang sekali kalau jabatan itu masih dirangkap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus