Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Tubir Perang Saudara

Pengejaran dan penahanan atas kelompok yang dilabeli pro-Al-Ikhwan al-Muslimun oleh militer hanya sebagian dari penyumbang memburuknya kondisi Mesir. Ekonomi buruk dan instabilitas regional mendorong ke arah perang saudara.

26 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eka Wahyu, mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo, kaget ketika kamera pada laptopnya tiba-tiba menyala saat dia bersama rekannya mengakses salah satu situs simpatisan Al-Ikhwan al-Muslimun yang memberitakan penyerangan militer, Sabtu dua pekan lalu. Kursor mendadak mogok, tak bergerak. Merasa ada yang tak beres, pemuda 23 tahun yang mengambil Jurusan Syariah Islamiyah itu buru-buru mencabut catu daya untuk mematikan laptopnya.

"Sampai sekarang saya tidak berani menghidupkan lagi laptop itu. Menonton saja dari televisi," katanya melalui hubungan telepon kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Bujang asal Bojonegoro, Jawa Timur, itu meyakini keanehan tersebut ada kaitannya dengan usaha militer yang melacak dan mencari para pendukung Al-Ikhwan. "Kalau ketahuan berhubungan dengan Al-Ikhwan, bisa ditangkap," ujarnya.

Setelah militer mengkudeta kepemimpinan Presiden Muhammad Mursi, yang diusung Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Al-Ikhwan al-Muslimun) pada 3 Juli lalu, tekanan militer terhadap Al-Ikhwan semakin keras. Tempat Mursi ditahan tak dibuka hingga kini. Pada 4 Juli, pemerintah transisi Mesir, yang sebagian besar dirancang Menteri Pertahanan Letnan Jenderal Abdul Fattah al-Sisi, mengeluarkan perintah penangkapan beberapa pentolan Al-Ikhwan dan Partai Kebebasan dengan alasan mereka mendalangi kerusuhan dan mengganggu keamanan negara.

Apalagi sejak insiden pembubaran demonstran pro-Al-Ikhwan di Lapangan Rabaah al-Adawiyah dan Bundaran Nahda di Giza, Kairo, Rabu dua pekan lalu, yang menewaskan sekitar 800 orang (meski tak pernah ada data pasti), Mesir kian mencekam. Terutama di Kota Nasr—pusat aksi demonstrasi—militer menempatkan personelnya hampir di setiap sudut wilayah yang dianggap basis pergerakan Al-Ikhwan. Eka mencontohkan, empat akses ke Masjid Rabaah al-Adawiyah kini dijaga dua panser dan enam tentara bersenjata lengkap.

Pengamanan ini juga berlapis hingga jalan utama Kota Nasr, Jalan Raya El Nasr, dan Jalan El Tayaran. Mereka mengawasi dan mengecek orang yang keluar-masuk kawasan tersebut dengan meminta bukti kependudukan dan paspor. Bukan hanya itu, mereka juga akan memeriksa semua barang bawaan jika orang tersebut dicurigai. Militer telah diberi wewenang oleh Kementerian Pertahanan untuk menangkap bahkan menembak di tempat orang yang dicurigai. "Pengawasannya sangat ketat," kata Eka.

Militer tak main-main. Mursyid atau pemimpin spiritual Al-Ikhwan, Mohammed Badie, ditangkap pada Selasa pekan lalu. Pria 70 tahun ini didakwa menyulut kekerasan dan pembunuhan delapan demonstran anti-Al-Ikhwan di luar kantor pusat gerakan tersebut di Kairo, Juni lalu. Penangkapan ini mengejutkan karena, selama tiga dekade Al-Ikhwan dilabeli kelompok terlarang, pemerintah Mesir tak pernah menyentuh pemimpin tertingginya, yaitu pemimpin spiritual. Inilah untuk pertama kalinya tokoh spiritual Al-Ikhwan ditangkap sejak 1981.

Gehad el-Haddad pun menjadi senyap. Penasihat senior dan juru bicara media kelompok Al-Ikhwan al-Muslimun, yang rajin berkicau melalui Twitter tentang perkembangan di Mesir, itu tiba-tiba hilang bak ditelan bumi sejak 19 Agustus. Akunnya tak lagi aktif. El-Haddad dan petinggi Al-Ikhwan lainnya memilih "menghilang" seiring dengan surat penangkapan yang ditujukan kepada kelompok tersebut. Mereka harus berganti lokasi setiap 24 jam, menghindari tampil di muka umum, mematikan telepon seluler agar tak terlacak, serta tak lagi aktif di jejaring sosial Facebook atau Twitter. "Kami mendekati pemusnahan seperti ketika di bawah Nasser, tapi kondisi saat ini lebih buruk," kata El-Haddad dalam cuitan terakhirnya. Ia mengacu pada upaya mantan presiden Gamal Abdel Nasser menghancurkan kelompok ini ketika berkuasa pada 1954.

Tak ada yang tahu pasti jumlah petinggi, anggota, dan simpatisan Al-Ikhwan yang sudah ditahan. Wakil Badie, Mahmoud Ezzat, kepala departemen strategi Khairat el-Shater, dan juru bicara Ahmad Arif sudah masuk penjara. Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan Mohamed el-Katani dan pertinggi partai, Rashad al-Bayoumi, juga sudah menghuni bui. Juru bicara Partai, Mourad Ali, belakangan ditangkap di bandar udara Kairo saat mencoba terbang ke Roma, Italia. Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan pihaknya telah menahan lebih dari 1.000 orang. Al-Ikhwan, yang tiga bulan lalu masih berkuasa bersama Mursi, kini berantakan. "Struktur organisasi kini seperti orang yang tengah sekarat," kata seorang pemimpin Al-Ikhwan yang tidak disebutkan namanya, seperti dilansir New York Times.

n n n

Situasi Kairo setelah penyerangan militer ke distrik Kota Nasr pada Rabu dua pekan lalu bisa dikatakan normal. Eka Wahyu menceritakan jalan-jalan di Nasr sudah dipadati warga sejak pukul 06.30 sampai 08.00 waktu setempat untuk berangkat ke kantor. Namun angkutan umum hanya beroperasi sebagian, sekitar 30 persen, dari jumlah angkutan sebelum Mursi digulingkan. Warga terkadang harus berganti-ganti angkutan hingga tiga kali untuk menempuh jarak dua kilometer. "Kalau terlambat pulang akan sulit mendapat angkutan. Hanya ada taksi, dengan harga yang berlipat," ujarnya.

Militer memang menetapkan jam malam mulai pukul 19.00 hingga 06.00. Namun perkantoran, bank, dan pertokoan sudah beroperasi, meski bank hanya membuka kantor selama tiga jam dan perkantoran umum beroperasi hingga sore. Sejumlah warung makan telah ramai dikunjungi warga, dengan harga makanan naik 10-20 persen. Kebutuhan hidup, seperti air, listrik, dan bensin, semua normal. Bahkan, menurut Eka, distribusi air, listrik, dan bahan bakar lebih baik dibanding masa Mursi berkuasa. Dia mencontohkan, akhir tahun lalu hampir setiap hari terjadi pemadaman bergilir di semua distrik. Rata-rata setiap hari listrik padam satu jam, tapi sekarang tidak pernah.

Tapi kekhawatiran warga akan masa depan Mesir tampak jelas. Dalam kejadian sehari-hari hal itu tampak dari aksi memborong bahan kebutuhan pokok karena takut akan pecah perang saudara. "Saya dan Ibu terpaksa memborong barang. Saya sangat khawatir, penangkapan mursyid Ikhwanul itu bisa memicu konflik lebih berdarah-darah," kata Nadia Abbas, mahasiswi Universitas Al-Azhar, di Supermarket Sharif, Kairo. Hal serupa disampaikan Rasha Metwally, wanita setengah baya, di pasar tradisional Rabaa. "Saya harus membeli banyak barang kebutuhan pokok, karena perang saudara sudah di depan mata," ujarnya. Hal itu diperburuk dengan kejahatan di jalanan, yang semakin menjadi-jadi setelah kerusuhan. Banyak preman bersenjata yang menjambret dan menodong di tempat umum.

Ancaman perang saudara benar-benar menjadi perhatian penduduk Mesir. Jenderal Sisi memang telah melibatkan semua unsur kekuatan politik—minus Al-Ikhwan—dalam pemerintah transisi yang dinakhodai Adli Mansour, Kepala Pengadilan Tinggi Konstitusional, dan menyusun langkah "demokratis" ke depan. Namun kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Menurut laporan International Crisis Group (organisasi nirlaba internasional yang meneliti konflik internasional dan memberi rekomendasi penyelesaian), tidak ada satu pun kubu yang monolitik. Suara Al-Ikhwan terpecah. Di satu pihak ada yang menganggap Mursi sudah kelewat batas dan siap berunding dengan pihak lain, sedangkan pihak lain tetap defensif mendukung Mursi. Kelompok kedua ini berharap kekerasan militer yang meningkat bisa menjadi bumerang bagi institusi keamanan negara.

Partai Salafi al-Nour, yang secara resmi mendukung Mursi, juga pecah. Para petingginya "berselingkuh" dengan kelompok non-Islam melawan Al-Ikhwan, tapi banyak kader yang duduk bersama kekuatan pro-Al-Ikhwan dalam berdemonstrasi. Sedangkan para syekh Al-Azhar—perguruan Islam terkemuka di Mesir—malah berpihak ke militer, tapi kelompok intelektual perguruan itu sebatas ingin Mursi lengser. Lalu kelompok-kelompok non-Islam, yang sejak Partai Kebebasan dan Keadilan menang pemilihan umum sudah menjadi oposisi Mursi, malah banyak yang mengutuk kekerasan yang dilakukan militer.

Yang pasti, konflik antarkelompok di dalam negeri membuat transisi damai semakin sulit, dan memberi kesempatan kepada militer untuk tetap perkasa, masih ditambah instabilitas regional. Gejolak di Suriah yang tak kunjung usai, kekerasan di Palestina, serta konflik di negara-negara lain di kawasan Timur Tengah membuat berbagai bentuk keterlibatan negara lain, seperti Amerika Serikat dan Eropa, semakin sulit.

Selain itu, kondisi perekonomian dan sosial di Mesir kritis. Cadangan devisanya, menurut data Juli 2013, hanya US$ 14,9 miliar atau sekitar Rp 164 triliun. Itu hanya setengahnya yang likuid, dan hanya cukup untuk tiga bulan impor. Cadangan gandum hanya memadai untuk kebutuhan tiga bulan. Inflasi mencapai 10 persen per tahun dan pengangguran usia muda mencapai angka tertinggi, hingga 40 persen. Sementara itu, bantuan senilai US$ 12 miliar yang dijanjikan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait (baru US$ 3 miliar yang diberikan), menurut pejabat Dana Moneter Internasional (IMF), hanya akan membantu Mesir bertahan maksimal satu tahun.

BB, Raju Febrian, Eko Ari Wibowo (BBC, AHRAM, NEW YORK TIMES, WASHINGTON POST)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus