Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mantra Perlawanan Anak Punk

Menentang kekerasan terhadap warga muslim dan melawan penguasa. Targetnya mempengaruhi orang sekitar.

26 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teriakan anak-anak punk menyelinap di antara riuhnya kekerasan sektarian di Myanmar. Melalui lagu-lagunya, mereka menentang aksi kekerasan terhadap warga muslim ketika mayoritas penduduk mendukungnya atau setidaknya diam. Anak-anak muda di kisaran usia 20 tahun dengan atribut khas punk—rambut mohawk, celana ketat, jaket kulit berpaku—berkampanye melawan para biksu Buddha yang menyulut aksi kekerasan itu. "Kalau mereka biksu sejati, saya akan diam. Tapi mereka bukan biksu sejati," kata vokalis utama band Rebel Riot, Kyaw Kyaw, Selasa tiga pekan lalu.

Rebel Riot baru saja merilis album dengan tema utama kemunafikan biksu dan toleransi terhadap sesama. "Saya tahu tak ada yang ingin mendengar, tapi inilah kebenaran," ujar pria 24 tahun ini.

Seperti dilaporkan Der Spiegel beberapa waktu lalu, Rebel Riot sempat menggelar konser di sebuah restoran yang terbengkalai di pusat Kota Yangon, kota terbesar di Myanmar. Kyaw Kyaw berteriak serak di depan mikrofon, "Perlawanan! Perlawanan! Perlawanan!" Penggebuk drum mulai beraksi ketika gitar meraung. "Tak ada ketakutan! Tak ada keraguan! Marah kepada sistem para penindas!" Kyaw melolong.

Sekitar 50 punker—sebutan untuk anak-anak punk—berjingkrak-jingkrak di depan panggung, melompat liar, dan mengempaskan badan ke lantai. Mereka mengenakan kaus bertulisan "Fuck Capitalism" atau "Sex Pistols". Usia mereka rata-rata tak lebih dari 25 tahun.

Seruan serupa dikumandangkan No U Turn, kelompok punk terpopuler di kalangan anak muda Myanmar. Mereka melansir lagu berjudul Human Wars beberapa saat setelah tragedi berdarah pecah di Negara Bagian Rakhine tahun lalu. Konflik antara warga mayoritas Buddha dan warga muslim Rohingya itu menewaskan sedikitnya 192 orang dan menyebabkan 140 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal.

"Silakan pelajari ajaran Buddha, apakah kebencian dan kekerasan terhadap minoritas diajarkan?" kata Ye Ngwe Soe, 27 tahun, pemimpin kelompok itu. Dia masygul, setiap kali melakukan perjalanan ke daerah-daerah, ia mendengar pembicaraan tentang Gerakan 969, kebencian terhadap muslim, dan kekerasan. "Seharusnya tidak begini."

Gerakan 969 yang dia maksud adalah kelompok nasionalis yang menentang berkembangnya umat Islam di negara yang mayoritas penduduknya Buddha itu. Angka 969 melambangkan kebajikan Buddha, amalan umat Buddha, dan komunitas umat Buddha.

Para biksu radikal berada di baris terdepan gerakan melawan penduduk muslim, yang hanya empat persen dari 60 juta jiwa penduduk Myanmar. Perlawanan dipimpin Wiseitta Biwuntha atau Biksu Ashin Wirathu dari biara Kota Ma Soe Yein. Kekerasan terhadap warga muslim Rohingya meluas sejak pemerintah sipil berkuasa pada Maret 2011.

Kampanye kekerasan itu seakan-akan mendapat dukungan dari penguasa. Presiden Thein Sein, yang dinilai reformis oleh kalangan internasional, menyatakan 969 hanyalah simbol perdamaian dan Wirathu adalah putra Buddha. Presiden juga melarang peredaran salah satu edisi majalah Time yang memajang foto Wirathu di sampulnya.

Sejak tahun lalu gerakan itu meluas. Pengikut Wirathu kian bertambah. Dia berkeliling negeri untuk menyerukan pemboikotan toko milik warga muslim. Dia juga menentang pernikahan antara perempuan Buddha dan lelaki muslim. Menurut dia, pertambahan populasi muslim merupakan ancaman bagi masa depan Myanmar.

Bertil Lintner, jurnalis Swedia yang telah menulis beberapa buku mengenai Myanmar, meyakini banyak warga Myanmar menolak kekerasan tapi tak berani mengutarakannya secara terbuka. Sebab, mereka akan diserang kelompok nasionalis dan fanatik jika berani berbicara. Mereka akan dituduh dekat dengan kelompok muslim. "Ini situasi yang sulit," ujarnya.

Bahkan tokoh oposisi Aung San Suu Kyi tak berani terang-terangan menegur kelompok radikal Buddha. Sejumlah analis menilai posisinya akan melemah menjelang pemilihan umum 2015 jika terkesan anti-Buddha.

Arker Kyaw, seniman grafiti, mengakui kondisi psikologis umum itu. Dia dan teman-temannya dari berbagai latar belakang agama kerap meluncurkan video musik yang mengekspresikan solidaritas. Namun, soal melawan Gerakan 969 secara frontal, ia angkat bahu. "Ini sangat rumit. Saya kira lebih baik menjadi penonton."

Dalam pembiaran dan ketakutan, suara perlawanan kelompok punk jadi mencolok. "Walaupun tidak bisa mengubah dunia, Myanmar, atau bahkan Yangon, kami setidaknya bisa mempengaruhi orang di sekitar," kata Kyaw Kyaw.

Sikap dan aksi perlawanan punk sebenarnya sudah muncul sejak militer mencengkeram negeri itu. Ketika kebanyakan rakyat diam, kelompok punk berani mengecam kekerasan oleh militer dan menggugat kesenjangan ekonomi yang menganga antara pejabat dan rakyat. "Aparat bisa menangkap, tapi kami siap," ujar Kyaw Kyaw.

Menurut pemerhati Asia Tenggara dan Asia-Pasifik dari The University of Sydney, Jonathan Bogais, punk menjadi sarana pemberontakan dan kemarahan. "Di setiap lagunya selalu ada mantra perlawanan," tutur Bogais. Dia mencatat, sejak berakhirnya junta militer pada 2010, masyarakat belum memperoleh kebebasan politik sepenuhnya.

Dari sisi ekonomi, kata dia, kesenjangan kian lebar. Sebagian kecil mendapat keuntungan dari investasi asing, sementara kebanyakan pekerja mendapat upah hanya sekitar Rp 21 ribu per hari. "Myanmar masuk negara miskin di Asia Tenggara," ujar Bogais seperti dikutip Quartz.

Kemiskinan juga dialami Kyaw Kyaw. Dia tinggal di rumah kecil beratap seng bersama ayah, ibu, dan dua saudaranya. Kamar tidur dan ruang tamu hanya dibatasi partisi. Makanan sehari-hari dimasak di atas dapur batu bata.

Bila tak sedang menggelar konser, dia bekerja di pabrik tekstil dengan upah sekitar Rp 700 ribu sebulan. "Untuk ini, saya harus menabung setahun penuh," tuturnya sambil menunjuk jaket kulit berpaku miliknya.

Hidup dalam kemiskinan membuat penduduk Burma frustrasi. Kemarahan meledak ketika mereka menyaksikan gaya hidup para elite penguasa, yang menyimpan mobil mewah di vila-vila mereka di ibu kota negara, Naypyidaw. "Pemerintah sengaja membuat penduduk tetap miskin," kata Scum, 30 tahun, sambil meludah ke tanah.

Scum adalah salah satu pemimpin komunitas punk di Yangon. Dia tinggal di apartemen satu kamar. Di sudut kamar, ada kotak berisi buku-buku berbahasa Inggris. Scum belajar sastra, tapi dia memilih menjual lotere ilegal. Dia menolak mencari pekerjaan legal dengan alasan itu merupakan dukungan bagi pemerintah.

Di Myanmar, punk lebih dari sekadar tiruan dangkal komunitas serupa di negara-negara Barat, bukan pula sekadar gaya hidup, melainkan benar-benar aksi pemberontakan melawan rezim otoriter. Punk memberi kesempatan secara simbolis kepada anak muda meludahi wajah pemerintah yang dibenci. "Kami menjadi punk untuk memprotes situasi politik dan ekonomi di negara kami," kata Kyaw Kyaw.

Aliran punk mulai terkenal di Myanmar pada pertengahan 1990-an, setelah Ko Nyan—kini pengelola pergelaran punk—menjual cakram padat dan aksesori punk di Yangon. Dia masuk komunitas punk pun setelah membaca artikel tentang band legendaris punk asal Inggris, Sex Pistols, dari sebuah majalah musik yang diperolehnya di kedutaan Inggris.

Banyak anak muda kemudian menjadi punker meski polisi kerap menangkap mereka tanpa alasan jelas. "Polisi memasukkan kami ke penjara dan memotong rambut kami," kata Darko, penyanyi band Side Effect.

Sejak itu, pendukung punk bermunculan. Menurut Kyaw Kyaw, kini ada sekitar 200 punker di Yangon dan ratusan lainnya di Mandalay, kota terbesar kedua. "Kami miskin, lapar, dan tak punya pilihan."

Harun Mahbub (AP, Der Spiegel, BBC, VICE, VoA, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus