SALAH satu hal yang menyebabkan kebanyakan orang Amerika memilih Clinton menjadi presiden, karena ia menjanjikan akan memfokuskan diri pada masalah ekonomi "setajam sinar laser." Dan kini, orang Amerika boleh senang. Setelah setahun berkuasa, presiden AS ke-42 ini memang mengantarkan negerinya ke keadaan ekonomi yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu mencapai 2,9%, persentase pengangguran turun satu poin, defisit turun 40%, dan inflasi bertahan 3%. Persoalannya sekarang, bagaimana mempertahankan pertumbuhan ekonomi ini. Salah satu jawabnya, menaikkan ekspor produk AS. Sulitnya, keadaan pasar utama produk AS sedang lesu. Jepang masih bergulat dengan dampak kempisnya "gelembung ekonomi"- nya. Eropa pun, kecuali Inggris, masih belum bangkit dari resesi. Maka, sasaran pun beralih ke kawasan Asia Pasifik, yang pertumbuhan ekonominya masih terus menggebu-gebu. Inilah antara lain yang menyebabkan Clinton akhirnya mencabut embargo ekonominya atas Vietnam, pekan lalu. Ini juga mengindikasikan, Presiden Clinton telah membuat keputusan atas dilema yang selama ini dihadapinya: memperjuangkan hak asasi manusia dan demokratisasi, atau memastikan bahwa ekonomi AS terintegrasi dengan ekonomi Asia Pasifik. Pilihan kebijakan AS mulai terlihat sejak September lalu. Itulah saat Clinton memutuskan mengubah kebijakan "konfrontasi" dengan RRC, negeri yang disebut-sebut paling tinggi angka pelangaran hak asasinya, menjadi "hubungan yang diperluas". Kesediaan Clinton tak membicarakan hak asasi manusia dalam pertemuan informal kepala negara APEC di Seattle, November lalu, juga menjadi indikator. Dan Januari lalu, duta besar AS di Beijing, Stapleton Roy, membuat pernyataan mengejutkan. Ia menunjukkan bagaimana hebatnya kesejahteraan rakyat RRC dibandingkan tahun 1970-an, dan bagaimana hal tersebut juga membuat dampak positif terhadap keadaan hak asasi manusianya. Pernyataan Roy yang segera dikutuk kelompok liberal AS ini ternyata didukung oleh Robert Rubin, kepala penasihat ekonomi Presiden Clinton. "Dalam berhubungan dengan Cina, memang ada persoalan hak asasi manusia dan penyebarluasan persenjataan," katanya. "Namun, juga ada persoalan ekonomi yang sangat besar." Selain kepentingan ekonomi, kepentingan keamanan juga menyebabkan Clinton terpaksa melunakkan sikap kerasnya. Ada yang bilang, AS memerlukan jasa Beijing untuk menekan Korea Utara agar menyurutkan niatnya membuat bom nuklir. "Persoalan hak asasi manusia di RRC adalah soal penting," kata calon menteri pertahanan AS, William Perry. "Tapi tak ada apa-apanya dibandingkan ancaman bom atom Korea Utara." Jadinya, ada kesan, kebijakan luar negeri AS di masa pasca-Perang Dingin ini seperti kehilangan arah. Semula pemerintahan Clinton mengeluarkan doktrin "perluasan demokrasi" sebagai pengganti doktrin "menahan" komunis. Belakangan doktrin ini layu. Sebab, seperti dikatakan kolumnis liberal Michael Kinsley, tak ada jaminan bahwa demokrasi akan mengamankan segalanya. "Perang di kawasan bekas Yugoslavia adalah perang antarnegara demokrasi," kata Kinsley. Maka, kini mulai dilontarkan doktrin yang diperbarui, "perluasan demokrasi pasar". Tapi jangan salah menafsirkan. Bukannya lalu, karena itu, Clinton tak akan memperhatikan hak asasi manusia. "Hanya porsinya lebih disesuaikan dengan kepentingan yang lain," kata seorang pejabat AS yang tak mau disebut namanya. Secara resmi, Menteri Keuangan Loyd Bentsen mengatakan, "Kepentingan ekonomi dan kepentingan hak asasi manusia tak harus bertentangan, bahkan dapat saling memperkuat." Bahwa soal hak asai manusia masih tetap dianggap penting, hal itu dapat dilihat dari laporan tahunan setebal 3.400 halaman yang dikeluarkan kementerian luar negeri AS, pekan lalu. Kendati secara faktual isinya tak banyak berubah dibandingkan dengan yang dikeluarkan di zaman pemerintahan Partai Republik, "Bahasanya tahun ini lebih kasar, seperti laporan LSM saja," komentar seorang diplomat Indonesia. Dan ini diterapkan di semua negara, baik yang dianggap "teman" seperti Israel maupun yang dianggap "musuh" seperti Irak. Uniknya, panjang laporan terhadap negara sahabat seperti Turki bisa dua kali lipat laporan negara seperti Irak. "Panjang laporan memang tak mencerminkan apa-apa, selain menyatakan kami mempunyai informasi lebih banyak," kata John Shatuck, asisten menteri luar negeri urusan hak asasi manusia. Ini seolah menunjukkan telah terjadi pemisahan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan hak asai manusia. Contoh yang memperkuat dugaan ini adalah kebijakan AS terhadap Vietnam. Pada saat Washington mencabut embargo ekonominya terhadap negara berpenduduk 70 juta jiwa ini, Kongres AS memberikan penghargaan Raoul Wallenberg Human Rights Award kepada Nguyen Dan Que, warga Vietnam pertama yang menjadi anggota Amnesti Internasional di tanah airnya. Que divonis penjara 20 tahun tiga tahun lalu, karena kegiatannya. Keberaniannya itu rupanya disetarakan dengan bekas presiden Ceko-Slovakia Vaclav Havel atau pemimpin Tibet, Dalai Lama atau aktivis hak asasi di Cina, Chai Ling dan Li Lu, yang telah menerima penghargaan itu sebelumnya. Duta besar Indonesia untuk AS, Arifin Siregar, pun mulai memantau perubahan sikap Washington ini. "Tapi saya rasa masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan," katanya berhati- hati. "Saya tetap beranggapan, persoalan hak asasi manusia akan selalu muncul di masa depan."Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini