Hampir dua tahun perang dan pembersihan etnis berlangsung di Bosnia. Selama itu pula Sarajevo terkepung dan selalu dihujani meriam dan roket. Kematian demi kematian berlangsung terus, tiap hari, tiap jam. Dan upaya dunia internasional untuk menghentikan perang itu tampaknya tak kunjung datang. Berikut petikan tulisan Zlatko Dizdarevic, anggota redaksi Oslobodjenje, harian Sarajevo yang terus berupaya terbit, tentang suara mereka yang terkepung, diindonesiakan dari edisi Inggrisnya di International Herald Tribune. KAMI bergurau seperti anak-anak, tentang berapa banyak kaca jendela pecah saat mesin berkekuatan raksasa itu turun dari surga dan berdengung keras melintas di atas kepala kami. Beberapa hari lalu, saya melihat seorang wanita tua mematahkan sebatang ranting dari sebatang pohon yang masih tertinggal. Begitu mendengar gelegar mesin Phantom, apa pun nama pesawat itu, si nenek mengacung-acungkan rantingnya ke langit dan memaki, "Pulang sana, pengecut! Pecahkan kaca ibumu sendiri!" Kami mencoba tetap bertahan dengan sisa-sisa harapan yang ada. Bahkan, mereka yang berani dan optimistis, yang menyeberangi jalan dengan tenang tanpa rasa takut, kini mulai merasa terancam. Dalam beberapa minggu terakhir ini, pecahan peluru meriam menyinggahi para korbannya: bayi yang tidur di ranjang, wanita muda yang membenahi meja untuk pesta perkawinannya, lelaki tua yang minum teh di dapur, dan satu keluarga yang terdiri dari enam orang. Dan itu semua masih berlangsung, kata demi kata, cerita demi cerita, kematian demi kematian. Di dekat kuburan Ayah, yang saya kuburkan 10 Januari lalu, tiga hari kemudian muncul 56 kuburan baru. Ayah termasuk beruntung. Ia meninggal secara wajar. Kaum Yahudi Sarajevo sudah lama meninggalkan kota. Di sini mereka sudah tinggal sejak 500 tahun silam di sinilah rumah mereka, dan mereka punya hak sebagaimana yang lain-lain. Mereka dulu didesak keluar oleh para pejabat di Beograd dan Zagreb. Para pejabat itu yakin, bila Yahudi, satu dari empat pilar yang mendukung Sarajevo, yang menjadikan Sarajevo berwarna, runtuh, satu per satu akan runtuh pula pilar yang lain. Pilar lain adalah masyarakat muslim, Serbia, dan Kroasia. Akhirnya, runtuhlah pilar yang tersisa yang menyangga kemanusiaan, toleransi, dan kehidupan kosmopolitan. Tapi, sebelum saat itu tiba, Sarajevo akan terus bertahan, seperti yang dilakukannya selama ini. Kesebelasan sepak bola kami mengadakan pertandingan persahabatan dengan pasukan perdamaian PBB yang akan ditarik pulang. Para serdadu itu sudah cukup lama di sini, dan mereka mulai mengerti dengan baik semua yang terjadi di kota ini. Sementara itu, penggantinya mulai berdatangan -- serdadu yang bingung karena berpikir bahwa "ketiga pihak" sama-sama harus dikecam atas terjadinya semua kegilaan ini dan bahwa ini adalah perang saudara, bukan pembersihan etnis. Kesebelasan Sarajevo merasa tak enak mengalahkan kesebelasan PBB dalam pertandingan mereka yang terakhir ini. Meski biasanya kesebelasan Sarajevo menang, mereka membiarkan pertandingan persahabatan itu berakhir seri. Warga Sarajevo seperti kami ini sudah kenyang dengan segalanya sebagaimana mereka. Kehidupan kami, bantuan kemanusiaan, pesawat-pesawat yang menjatuhkan bom, semuanya kami terima. Dunia luar, di luar dinding-dinding kami, bukan dunia yang inspiratif. Itulah sebabnya kami bertahan di Sarajevo, kota yang tak akan kami lepaskan. Kami tak membenci kalian, hai semua yang ada di luar Sarajevo. Kami hanya merasa kasihan kepada mereka yang membiarkan bentuk terakhir totaliterisme menghancurkan peradaban menjadi sampah. Sangat mungkin, kami akan mati bersama, dalam cinta, di Sarajevo. Kaum fasis akan meninggal sendirian, dalam kebencian. Ini bukan perbedaan yang kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini