Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUBUNGAN Amerika Serikat dengan Eropa sedang memasuki babak baru. Sejak Donald Trump dilantik sebagai presiden, beberapa kebijakannya telah membuat Eropa khawatir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintahan Trump "menyerang" Uni Eropa dalam hal perdagangan, teknologi, dan kebebasan berpendapat. Yang terbaru, Trump bernegosiasi dengan Rusia tanpa melibatkan Ukraina. Tak satu pun negara Eropa diundang. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalagan Eropa mengenai keandalan AS sebagai sekutu lamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut analisis European Union Institute for Security Studies, pengabaian terhadap Eropa memunculkan beberapa skenario. Di satu sisi, Trump mungkin melihat pengabaian sebagai tujuan kebijakan: Program “America First” membuat AS harus mengalihkan fokus ke pertahanan tanah air AS, dan tantangan yang ditimbulkan oleh Cina. Kedua hal ini mengakibatkan pengurangan pasukan AS secara progresif di Eropa.
Di sisi lain, Trump dapat menggunakan ancaman pengabaian sebagai alat tawar-menawar untuk memaksa sekutu membelanjakan lebih banyak uang untuk persenjataan AS, atau untuk mendapatkan konsesi di bidang-bidang lain seperti perdagangan dan standar teknologi. Hal ini dapat mengakibatkan bilateralisasi dan fragmentasi hubungan pertahanan antara Washington dan ibu kota Eropa.
Bagaimana Tanggapan Pemimpin Eropa?
Pada Minggu, 16 Februari 2025, Keith Kellogg, utusan Trump untuk Ukraina, mengumumkan bahwa Eropa tidak akan hadir dalam negosiasi perdamaian Ukraina. Sebelumnya, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengatakan bahwa keanggotaan di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk Ukraina "tidak realistis".
Sejalan dengan retorika Trump bahwa Eropa harus meningkatkan pengeluarannya untuk NATO, Hegseth mengindikasikan bahwa Eropa harus meningkatkan tanggung jawab keuangan dan militernya di Ukraina. Ia juga mengesampingkan penempatan pasukan AS di Ukraina setelah kesepakatan apa pun ditandatangani dengan Rusia. Wakil Presiden AS JD Vance menegaskan hal yang sama: Brussels harus "meningkatkan kemampuannya untuk menyediakan pertahanannya sendiri".
Nada dan pesan dari para pembantu utama Trump, para pemimpin Eropa seperti terbangun dari mimpi. Presiden Prancis Emanuelle Macron mengundang para timpalannya ke Paris untuk menyusun langkah berikutnya. Pemimpin dari Jerman, Denmark, Polandia, Italia, Spanyol, dan Belanda, bersama dengan para pejabat dari NATO dan Uni Eropa memenuhi undangannya.
"Siap dan bersedia," Kepala NATO Mark Rutte memposting di X pada Senin, seperti dikutip Al Jazeera.
Negara-negara Eropa telah meningkatkan kontribusi mereka ke Kyiv dalam beberapa tahun terakhir, memberikan hampir $140 miliar dalam bentuk bantuan Ukraina. Jumlah ini lebih banyak daripada AS, yang telah menghabiskan sekitar $120 miliar sejak perang meletus pada Februari 2022.
Menurut Ash dari Chatham House Eropa kini "menyadari bahwa AS adalah mitra yang tidak dapat diandalkan". Pendekatan Trump terhadap Putin dilihat oleh beberapa orang sebagai pengkhianatan oleh sekutu utama.
Ketakutan utama Eropa adalah agresi Rusia di luar Ukraina. Washington telah menjadi penjamin keamanan Eropa selama beberapa dekade melalui aliansi NATO. Namun, Trump telah menuntut agar Eropa memikul lebih banyak tanggung jawab atas keamanannya. Menurut laporan media, AS ingin menarik sebagian pasukannya dari Eropa.
Pada 2014, negara-negara anggota NATO berjanji untuk menyumbangkan setidaknya dua persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka untuk pertahanan, tetapi lebih dari 10 tahun kemudian, hanya 23 dari 32 anggota yang telah memenuhi komitmen mereka. Trump ingin mereka meningkatkan pengeluaran pertahanan menjadi lima persen dari PDB.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Senin, 17 Februari 2025, memposting di X, mengatakan "kita membutuhkan lonjakan pertahanan di Eropa".
Apakah Ini Berarti Trans-Atlantik Telah Retak?
Tanda-tanda keretakan hubungan trans-Atlantik yang dulu harmonis makin terlihat. Trump mengancam akan memberlakukan tarif di Eropa, menyebut hubungan ekonomi dengan Uni Eropa sebagai "kekejaman".
Para pemimpin Eropa telah mengatakan bahwa mereka akan membalas jika Trump meluncurkan perang dagang. Trump telah menerapkan tarif yang tinggi pada beberapa negara, termasuk Cina.
Trump mengatakan bahwa Uni Eropa dan negara-negara lain memiliki surplus perdagangan yang bermasalah dengan Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa produk-produk negara-negara tersebut akan dikenakan tarif atau ia akan meminta mereka untuk membeli lebih banyak minyak dan gas dari AS, meskipun kapasitas ekspor gas AS sudah mendekati batasnya.
Komisi Eropa, seperti dikutip Reuters, mengatakan pada Jumat, 14 Februari 2025, bahwa mereka akan bereaksi "dengan tegas dan segera" terhadap kenaikan tarif yang diakibatkan oleh kebijakan perdagangan "timbal balik" yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Mereka mencap langkah AS sebagai kebijakan perdagangan yang tidak dapat dibenarkan dan merupakan langkah ke arah yang salah. "Uni Eropa mempertahankan beberapa tarif terendah di dunia dan tidak melihat ada pembenaran untuk meningkatkan tarif AS pada ekspornya," kata sebuah pernyataan dari Komisi, yang mengkoordinasikan kebijakan perdagangan untuk Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara.
Bagaimana Nasib Ukraina?
Pemerintahan Trump menginginkan Eropa untuk mengambil posisi terdepan dalam menegakkan keamanan di Kyiv, karena AS memiliki prioritas lain, seperti keamanan perbatasan.
Anatol Lieven, direktur Program Eurasia di Quincy Institute for Responsible Statecraft, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ada beberapa masalah utama yang hanya dapat dinegosiasikan oleh Washington dan Moskow. "Itu termasuk, tentu saja, keanggotaan NATO karena NATO, yang dipimpin oleh AS, mengundang anggota-anggota baru," kata dia.
Namun, Lieven menambahkan, "Dalam hal rekonstruksi Ukraina dan keanggotaan Ukraina di Uni Eropa, hal ini akan menjadi tanggung jawab Ukraina dan Eropa untuk memutuskan."
Pada pertemuan di Paris, para pemimpin Eropa gagal menyepakati apakah pasukan harus dikirim ke Ukraina setelah kesepakatan damai. "Tidak ada yang muncul dari pernyataan-pernyataan publik dari pertemuan Paris yang menunjukkan bahwa Eropa semakin dekat untuk mengusulkan, apalagi mengimplementasikan, sesuatu," kata Keir Giles, seorang konsultan senior di Chatham House, kepada Al Jazeera.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer telah melontarkan ide untuk mengirim pasukan Inggris ke Ukraina dan juga Swedia. Namun Kanselir Jerman Scholz menyebut diskusi untuk mengerahkan pasukan sebagai sesuatu yang "terlalu dini".
Giles menambahkan bahwa dalam hal pengerahan pasukan ke Ukraina, "Militer kelas berat Eropa terlalu ragu-ragu seperti Jerman atau mereka memahami bahwa hal ini membahayakan keamanan mereka sendiri, seperti Finlandia."
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana – dan dari mana – pasukan semacam itu akan dibentuk. "Meskipun Scholz telah menulis bahwa pembicaraan ini terlalu dini, hal ini perlu dilakukan untuk memahami apa tujuan Eropa," kata Giles kepada Al Jazeera.