Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dongeng Hitam dari Sudan

Pemerkosaan massal menjadi "senjata" dalam perang lokal di Sudan. Isu genosida itu melahirkan intervensi dunia internasional

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecantikanlah yang mendatangkan malapetaka bagi Khadija. Berasal dari suku Fur—salah satu etnis di Sudan—wanita rupawan berusia 35 tahun itu dicomot dari rumahnya pada suatu pagi. Empat lelaki serta-merta merenggutnya ke balik semak-semak, memerkosanya berganti-ganti. Perbuatan bejat itu berlangsung non-stop selama 10 hari. Khadija kemudian dilempar ke tepi jalan tanpa busana, sebelum para begundal itu kembali meronda kampung demi kampung untuk mencari korban berikutnya.

Enam belas bulan tragedi kemanusiaan ini menghitamkan udara di negeri itu. Pekan lalu, aib yang ditutup-tutupi ini menjadi terang-benderang setelah Amnesti Internasional secara resmi melaporkan pemerkosaan massal tersebut. Pelakunya adalah milisi Arab-Janjaweed yang pro-pemerintah Khartoum. Pemerkosaan itu disebutkan menjadi "senjata" untuk melemahkan lawan mereka—antara lain kelompok Sudan Liberation Army serta Justice and Equality Movement.

Demi mencapai tujuan itu, ribuan wanita diperlakukan seperti binatang: diseret, ditelanjangi, diperkosa di hadapan suami, anak, dan sanak-kerabat mereka. "Mereka melakukan itu sembari bernyanyi-nyanyi," ujar seorang korban yang tak mau dibuka identitasnya. Perang pemerintah Sudan yang bertempat di Khartoum melawan kelompok-kelompok milisi penentang telah berlangsung satu setengah tahun lebih. Sekitar 10 ribu nyawa sudah lenyap dan satu juta manusia dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka.

Di tengah situasi yang chaotic inilah gelombang pemerkosaan massal kian menggila. Korban paling banyak jatuh di Darfur, sebelah utara Sudan. Laporan Amnesti setebal 35 halaman berjudul Rape as a Weapon of War in Darfur memuat wawancara dengan 250 perempuan korban pemerkosaan. Interviu itu dilakukan sepanjang Mei lalu di berbagai kamp pengungsi Darfur, termasuk wilayah Chad. Di sana, para korban dan 170 ribu pengungsi lain berlindung dari amuk milisi bersenjata Janjaweed.

"Dalam banyak kasus, Janjaweed memerkosa perempuan di depan umum untuk mempermalukan, mengontrol, dan menanamkan ketakutan," begitu bunyi sebagian laporan.

Pollyanna Truscott, Koordinator Krisis Amnesti International di Darfur, menuturkan salah satu kasus sebagai berikut: "Ada seorang gadis 17 tahun diperkosa enam pria di depan rumahnya, disaksikan ibunya. Saudara laki-lakinya diikat dan dilempar ke api." Bejatnya perilaku para pemerkosa ini dicatat pula oleh Satuan Tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Darfur. Dibuat pada Maret 2004, catatan itu menuliskan: "Survei Dana Anak PBB di Tawila membenarkan pemerkosaan terhadap 41 pelajar dan guru perempuan, pemerkosaan anak-anak oleh 14 pria."

Kisah yang memiriskan dari Darfur itu membuat Kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang menetapkan krisis Darfur sebagai genosida atau pembersihan etnis secara sistematis. Setelah resolusi domestik itu, pemerintah Bush diminta mengajukan rancangan tersebut ke Dewan Keamanan PBB. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Colin Powell, dan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, belum berani menyebut kasus Darfur sebagai genosida.

Harap maklum, status genosida punya konsekuensi legal: PBB harus segera beraksi dengan pasukan multinasional. Belakangan, Annan yakin Dewan Keamanan PBB akan mendukung rancangan yang disponsori Amerika. "Reaksinya cukup positif," ujar Annan.

Isyarat itu membuat panas-dingin pemerintah Khartoum. "Kami tidak butuh resolusi PBB. Resolusi Dewan Keamanan PBB justru membikin masalah makin rumit," kata Menteri Luar Negeri Sudan, Mustafa Othman Ismail. Ismail ganti menuduh Washington dan London menghambat upaya negosiasi pemerintah dengan pemberontak yang disponsori Uni Afrika.

Apa reaksi Khartoum ketika pemerintah dituduh menutup mata pada perbuatan biadad Janjaweed? Pemerintah mengakui dukungannya pada milisi-milisi "yang membela diri", tapi bukan pada Janjaweed. Siapa pun pelakunya, penyiksaan dan pemerkosaan di Darfur sulit dipercaya dengan mata telanjang. Sampai-sampai seorang petugas Amnesti menyebutnya "dongeng hitam" dari Sudan.

Yanto Musthofa (AI, BBC, IPS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus