Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Shalom Ouaki, Prancis adalah tanah air, la patrie, yang pernah dikenalnya. Dia memang tidak lahir di sana. Ouaki menginjak negeri itu sejak kanak-kanaksetelah orang tuanya meninggalkan Tunisia, tempat nenek-moyangnya pernah menumpang hidup. Tumbuh di Paris, Ouaki menganggap kota itu mirip surga. Anak-anaknya yang masih kecil diajari semboyan Revolusi Prancis yang masyhur itu di sekolah mereka: la liberte, l'egalite, la fraternitekebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Apa daya, dua pekan silam satu insiden berbau rasisme kembali menodai Paris. Seorang nona berdarah Yahudi, Marie Leonie, dianiaya enam pria di kereta api. Selain merampok, berandal-berandal itu juga "melukis" gambar swastika (lambang Nazi) di perut gadis itu. Kabar tersebut bukan hanya memboyakkan keyakinan Shalom Ouaki pada kesetaraan hak yang dijanjikan Prancis. Tapi juga membikin Perdana Menteri Jean Pierre Raffarin marah besar.
Belakangan, Leonie mengaku kepada sebuah televisi setempat bahwa cerita itu cuma rekaannya sendiri. Tapi akibatnya sudah merembes jauh. Perdana Menteri Ariel Sharon naik darah sampai ke ubun-ubun. Pekan lalu, dia menyerukan "saudara-saudaraku yang keturunan Yahudi segeralah keluar dari Prancis".
Efeknya mudah diduga. Presiden Prancis, Jacques Chirac, ganti menghardik. Katanya, sebelum Sharon "bisa memberikan penjelasan yang patut", Prancis tak sudi menerima kunjungannya. Jadwal silaturahmi Sharon yang sudah diancar-ancar, dicoret. Singkat kata, Tel Aviv dan Paris sama-sama cemberut sembari bertukar kata-kata pedas. Di hadapan sejumlah warga Amerika keturunan Yahudi di Yerusalem, Sharon menuding, "Gerakan anti-Semit telah menyebar." Itu urusan di tingkat negara.
Di tingkat lokal, lebih runyam lagi. Warga Prancis berdarah Yahudi macam Shalom Ouki dan kawan-kawan praktis selalu menuai getah saban kali isu rasisme anti-Semit mencuat. Hampir setiap hari keluarga Ouki diteror, bahkan oleh tetangganya sendiri. Anaknya yang masih kecil dipukul di tengah jalan. Kippa (topi khas pemeluk Yahudi) yang dia kenakan dicopot tanpa permisi. "Saya terpaksa berkompromi dengan semua penghinaan," katanya.
Cerita Ouaki hanya satu contoh kecil dari "kembalinya gerakan anti-Semit" di Eropa, khususnya Prancis. Ratusan warga keturunan Yahudi dianiaya dalam kurun enam bulan terakhir. Kementerian Dalam Negeri Prancis mencatat ada 300 warga Yahudi mengalami pelecehan fisik dan 67 rumah milik mereka dirusak. Jumlah itu meningkat tajam dibanding periode yang sama tahun lalu.
Namun harus dicatat bahwa pelecehan terhadap ras minoritas di Prancis bukanlah monopoli Yahudi. Masih ingat heboh soal jilbab di Prancis? Pada awal Februari silam, Prancis mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan di sekolah. Termasuk di dalamnya kerudung bagi siswi muslim. Aturan yang dinilai berbau ras itu menuai kecaman umat Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kaum muslim Prancis dikabarkan babak-belur juga dalam enam bulan terakhir. Mereka mengalami sekitar 95 kali serangan fisik. Selama empat tahun terakhir, aksi kekerasan terhadap warga muslim dan Yahudi di Prancis cenderung meningkat. Saat ini, dari 60 juta penduduk Prancis, terdapat sekitar 5 juta warga muslim. Pemeluk Yahudi kurang-lebih 600 ribu orang.
Dalam satu ulasannya pada edisi 4 April 2002, mingguan The Economist menulis, tindakan Israel terhadap Palestina ikut menyumbang meningkatnya aksi anti-Yahudi di Eropa, termasuk Prancis. Jajak pendapat di negara-negara Uni Eropa mencatat hasil yang lebih edan: Israel dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap kehidupan di atas jagat. Dan data yang tercatat sejak 2002 menunjukkan satu hal menarik. Yakni, semakin keras Israel melibas gerakan intifadah Palestina, semakin kerap pula serangan menimpa sinagoga di seantero Eropa: fenomena yang mengingatkan kita pada ajaran lama dari para leluhur kaum Yahudi: mata ganti mata, gigi ganti gigi.
Johan Budi S.P. (CNN, BBC, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo