Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUK di tengah meja panjang bertaplak putih, Paus Fransiskus memimpin doa, lalu membuka santap siang itu. Ditemani perwakilan pemuda Katolik dari 15 negara Asia, termasuk Indonesia, makan siang berlangsung di Seminari Tinggi Daejeon—sekitar 170 kilometer dari Seoul. Pertemuan tersebut adalah bagian dari acara Asian Youth Day (AYD) keenam pada 13-17 Agustus 2014 dan Korea Selatan menjadi tuan rumah. Acara tiga tahunan ini menghimpun kaum muda Katolik dari seluruh Asia. Fransiskus adalah paus pertama yang menghadiri AYD sejak acara ini bermula di Hua Hin, Thailand, pada 1999.
Bukan hanya pemeluk Katolik yang menyerap momentum ini di Korea Selatan. Dalam perbincangan dengan Tempo pekan lalu di Gwangju, Lim Myung-gyu, non-Katolik dan kandidat doktor filsafat dari Universitas Nasional Chonnam, menegaskan bahwa pemerintah Korea Selatan perlu memetik esensi penting dari kehadiran Paus di tanah Korea. "Ini kunjungan pemimpin dunia yang sudi mendengarkan orang-orang kecil tanpa interes pribadi," ujarnya.
Pria 31 tahun itu menambahkan, kehadiran Paus adalah lonceng pengingat gereja-gereja Korea Selatan agar kembali ke peran sejatinya melayani kaum papa. "Yang terjadi sekarang, gereja-gereja Korea justru lebih dekat dengan uang dan kekuasaan," ucapnya. Apa yang diprihatinkan ilmuwan muda ini sejatinya dibahas di antara berbagai agenda kunjungan Paus.
Fransiskus tampaknya sadar betul betapa Gereja memerlukan kaum muda sebagai pilar masa depan. "Wake-up," ujar Paus. Dia menyerukan tema AYD itu dalam khotbahnya di hadapan 10 ribu anak muda pada 15 Agustus lalu di Puri Haemi untuk mengenang para martir Korea. "No one who sleeps can sing, dance or rejoice. Barangsiapa yang tidur, tak dapat menyanyi, menari, dan bersukacita."
Dia meminta anak-anak muda se-Asia mencemplungkan diri dalam karya kemanusiaan dan sosial,dan bukan berkutat pada kegiatan evangelis belaka. Seruan ini ia tekankan pula di Seminari Daejeon.
Willem Turpijn, perwakilan Indonesia yang duduk semeja dengan Paus, melukiskan suasana "histerikal" melanda tamu saat bekas Uskup Agung Buenos Aires itu tiba. "Dari jendela ruang makan, kami melihat dia menenteng tas hitamnya, muncul, lalu menyapa setiap orang seraya tersenyum," ujarnya kepada Tempo.
Berlangsung selama dua jam, makan siang bersama Paus diisi dengan diskusi, bertukar informasi, dan menikmati aneka hidangan. "Paus mencicip sejenis bihun Korea dan tampak menyukainya," kata Sekretaris Eksekutif Rektorat Universitas Katolik Atma Jaya itu. Di sela toast anggur merah ditemani salmon asap, irisan melon segar dibalut smoked beef, dan steak domba muda, Paus mengajak anak-anak muda itu menyampaikan urgensi dari tanah airnya masing-masing.
Dia mendengarkan dengan saksama masukan dari Korea, Indonesia, dan Malaysia, antara lain. Misalnya tekanan terhadap kebebasan berkeyakinan dan tindak kekerasan yang mengusung nama Tuhan. Fransiskus menegaskan, "We cannot use the God's name to make war! We only can use the God's name to make peace! Kita tak dapat menggunakan nama Tuhan untuk perang, tapi untuk perdamaian."
Larut dalam suasana guyub bersama Paus, Esther Park, perwakilan AYD Korea Selatan, bertanya, "Apakah kita bisa makan lagi di lain waktu?" Paus menyahut dengan ramah, "Sure. You can come every Wednesday and lunch together." Pada setiap Rabu, bila tak sedang bepergian, Fransiskus beraudiensi dengan umat dari seluruh dunia di Lapangan Santo Petrus, Kota Vatikan.
Selama lima hari di Korea Selatan, Paus "meriung" sepenuhnya dengan kaum muda. Dia memilih cara komunikasi yang pas dengan umat yang jauh lebih muda. Dalam makan siang di Daejeon, Paus berbicara begini seraya melambai-lambaikan teks pidatonya: "Jangan berbicara dengan kaum muda melalui kertas-kertas, dekati mereka secara spontan dari hati."
Tatkala menerima buah tangan dari perwakilan Indonesia, Fransiskus terkesima melihat tenun ikat yang telah dijahit menjadi stola dan kasula—baju misa padri Katolik—yang indah. Kepada Willem Turpijn, Paus berjanji, "...mendoakan Indonesia secara khusus, pada hari kemerdekaannya."
KIM Jung-in, ibu rumah tangga asal Seoul, memberi pengakuan ini kepada Tempo dalam percakapan pekan lalu, "Kami tak terlalu menghormati misionaris Barat di Korea Selatan. Tapi Fransiskus bukan dari Barat." Jung-in agaknya lupa, Fransiskus—yang menurut dia "amat dihormati di Korea"—dilahirkan dari puak Bergoglio yang asli Italia. Perempuan 30 tahun ini mengaku lama terkenang pada Paus yang melintasi jalanan di Kota Seoul dalam mobil Korea paling murah buatan KTX, Korean Trade Express.
Jenis mobil ini digunakan kaum ekonomi lemah. "Paus, yang bepergian hanya dengan sedikit pengawalan di negeri kami, menuai popularitas di mana-mana," kata Jung-in. Hankyoreh, harian independen Korea Selatan yang kritis, mengingatkan warga Korea Selatan agar tidak mudah terharu oleh popularitas atau berpikir bahwa 100 jam kunjungan Paus akan berhasil mengubah banyak hal.
Salah satu seruan Fransiskus yang merenggut perhatian para ekonom Korea Selatan adalah perlunya menggeser pendekatan globalisasi kapital ke globalisasi solidaritas. Dia mendesakkan penolakan model ekonomi yang tak manusiawi (inhuman economic models).
Desakan ini ibarat "tantangan" terbuka terhadap Korea Selatan, yang dikenal sebagai salah satu naga ekonomi Asia—yang amat "mendewakan pertumbuhan". Pesan ini menjalar cepat melintasi di seantero Korea dan menjalar di negeri-negeri naga Asia lain, seperti Cina dan Jepang.
Hankyoreh menulis sejumlah politikus bahkan tersengat betul oleh kunjungan Fransiskus. Umpamanya Ahn Hee-jung, Gubernur Provinsi Chungcheong Selatan. "Saya betul-betul malu. Para politikus dan birokrat tak mampu membereskan konflik sosial. Sampai-sampai masyarakat berpaling ke arah Paus," ujarnya.
Fransiskus mengajak anak-anak muda itu menghadirkan falsafah, budaya, dan tradisi Asia yang amat kaya guna memperkuat Gereja universal. "Wake-up, bangunlah," dia menyerukan semboyan AYD keenam berulang kali. Tepuk tangan membahana, menyobek udara langit musim panas, menggeletarkan puri tempat Misa Kudus dipersembahkan.
Paus menantang anak-anak muda agar berani membawa keyakinan dan iman mereka ke setiap aspek kehidupan sosial dalam komunitas masing-masing.
Indonesia, negeri dengan mayoritas muslim terbesar di muka bumi, adalah wilayah penting dalam peta Gereja mondial. Masuk lima besar penyumbang terbesar misionaris Katolik di dunia selama satu dekade terakhir, para misionaris Indonesia kini tersebar di Eropa, Afrika, Amerika Serikat, dan negeri-negeri Amerika Latin. Posisi itu seakan-akan diteguhkan kembali saat Kardinal Osward Gracias dari India mewartakan berita ini pada akhir Asian Youth Day di Daejeon: Indonesia menjadi tuan rumah AYD ketujuh pada 2017.
Perhelatan Asian Youth Day keenam telah mereda. Namun Korea Selatan rupanya belum kelar dengan urusan tanda mata. Negeri itu mengabadikan kunjungan Paus Fransiskus melalui "alat ekonomi"—sektor yang dikritik keras oleh penguasa Takhta Vatikan.
Sejak awal September ini, Bank Korea mengedarkan seri koin baru. Di atas uang perak dan perunggu itu tercetak salib dan beberapa lambang Vatikan. Di baliknya, terkembang gambar mugunghwa atau mawar Sharon yang elok—bunga nasional Korea.
Hermien Y. Kleden (Jakarta), Leonardus T. (Daejeon), Seulki Lee (Gwangju)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo