Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski belum pernah merasakan pahitnya pemecatan, Syamsul Bahri Hasibuan bersama delapan kawannya mengajukan uji materi Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun2003 yang mengatur perihal "posisi" buruh kala perusahaan pailit. Pada pertengahan September lalu, setahun setelah uji materi undang-undang itu didaftarkan, Mahkamah pun mengetukkan palunya: mengabulkan sebagian permohonan Syamsul.
Inti putusan tersebut membuat Syamsul tersenyum lebar. Majelis menyatakan penafsiran pasal itu adalah upah seorang buruh mesti didahulukan pada kasus perusahaan dinyatakan pailit. "Ini tonggak sejarah perburuhan di Indonesia. Pembayaran upah buruh menjadi hak istimewa," kata Syamsul sumringah.
Uji materi pasal 95 ayat 4 itu diajukan Syamsul dan kawan-kawan yang merupakan anggota Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI). Selain Syamsul, mereka adalah Otto Geo Diwara Purba, Eiman, Robby Prijatmodjo, Macky Ricky Avianto, Yuli Santoso, Joni Nazarudin, Piere J. Wauran, dan Maison Des Arnoldi. Kesembilan orang itu menyatakan sebagai pihak yang potensial dirugikan jika pasal tersebut berlaku. "Faktanya, banyak perusahaan swasta dan BUMN yang dilikuidasi," kata Syamsul.
Bunyi pasal yang mereka gugat itu berbunyi, "Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya."
Nah, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa "didahulukan pembayarannya" ditafsirkan pelunasannya mendahului semua jenis kreditor. Selama ini ada tiga jenis kreditor yang mendapatkan jaminan saat perusahaan pailit, yakni kreditor separatis (istimewa), kreditor preference, dan kreditor konkuren.
Menurut kuasa hukum pemohon, Janses E. Sihaloho, ketentuan pasal 95 ayat 4 itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya penafsiran yang tegas. "Akibatnya, timbul pengingkaran atau pelanggaran atas hak-hak para pekerja ketika perusahaan pailit," kata Janses.
Selama ini pelaksanaan putusan pailit mengacu pada Undang-Undang Perpajakan dan Usaha Perasuransian. Akibatnya, menurut Janses, pembayaran hak buruh dilakukan setelah tagihan terhadap hak negara, kantor lelang, dan badan hukum yang dibentuk pemerintah. Hal itu, kata dia, merugikan para pekerja.
Dalam pertimbangannya, majelis menilai permohonan memiliki kesamaan substansi dengan pengujian beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada putusan 23 Oktober 2008, Mahkamah mengemukakan bahwa pernyataan pailit oleh hakim merupakan satu peletakan sita umum (algemene beslag) terhadap seluruh kekayaan seorang debitor.
Mahkamah Konstitusi berpendapat hak buruh didahulukan dari kreditor separatis karena alasan aspek subyek hukum yang melakukan perjanjian, obyek, dan risiko. Dari aspek hukum, berbagai perjanjian, seperti gadai, hipotek, fidusia, dan perjanjian tanggungan lainnya, merupakan perjanjian antara pengusaha dan pemodal.
Menurut majelis, perjanjian antara pengusaha dan pemodal secara sosial ekonomis dalam posisi yang sama. Adapun hubungan pengusaha dengan buruh tidaklah sejajar. "Karena buruh secara sosial ekonomis berkedudukan lebih lemah dan rendah dibanding pengusaha dan hak-hak buruh dijamin UUD 1945, undang-undang harus memberikan jaminan perlindungan bagi hak buruh," kata ketua majelis hakim Hamdan Zoelva.
Adapun dari aspek obyek, berbagai perjanjian, seperti gadai, hipotek, fidusia, dan perjanjian tanggungan lainnya, yang menjadi obyeknya adalah properti. Sedangkan pada perjanjian kerja, yang menjadi obyeknya adalah tenaga atau keterampilan dengan imbalan jasa. "Upah pekerja atau buruh sesungguhnya adalah utang pengusaha kepada pekerja atau buruh yang seharusnya dibayar sebelum kering keringatnya," demikian bunyi putusan Mahkamah.
Kendati putusan itu sangat berpihak kepada pekerja, Janses tetap menyayangkan Mahkamah yang tidak memasukkan pembayaran pesangon bagi buruh sebagai prioritas. Menurut dia, prioritas pembayaran pesangon ini penting karena, ketika buruh di-PHK dan tak dapat lagi bekerja di perusahaan lain, pesangon merupakan modal utama untuk melanjutkan hidup.
Dalam hal pesangon, Mahkamah merujuk pada Pasal 28-D ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Mahkamah, hak upah buruh diatur secara konstitusional dalam pasal itu. Adapun hak-hak lain, termasuk pesangon tadi, tak memiliki kedudukan sama dengan upah.
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo